Asal Linge Awal Serule Dalam Kajian Rasa

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Bisa jadi kita tertawa terkekeh-kekeh ketika mengetahui hakikat sesuatu karena selama ini kita terlanjur mensakralkannya. Sebaliknya pada saat yang lain kita merasa bodoh dengan sesuatu yang sederhana, lalu kita menganggapnya sepele, padahal masalahnya berat nian. Demikianlah keadaan kita dipermainkan oleh “panggung sandiwara” kehidupan ini.

Pada masa lalu, di negeri kita pernah demam batu batu cincin. Jenis batu giok; di antaranya neprit dan solar. Adapun jenis batu akik; bacan, kalimaya, Sulaiman, tapak jalak, black opal dan batu-batu “bertuah” lainnya. Ada lagi jenis batu permata; zamrud, blue safir, ruby, Daud dan lain-lain.

Prosesnya pencarian dari bongkahan baru sampai pembuatannya sangat panjang. Kalaulah kita tahu prosesnya, rasanya kita tidak tega menawar murah harga batu cincin yang sudah jadi.

“Musim batu” telah berlalu, kini sebagian masyarakat kita mulai beralih memanfaatkan sumber daya mineral dengan menambang emas. Sebagai mana proses batu cincin, emas pun kalau kita lihat perjuangan untuk mendapatkannya, tidak tega juga kita memprotesnya.

Paling mungkin adalah mempengaruhi pemerintah membuat regulasi yang ketat untuk eksploitasi karena berkaitan dengan lingkungan dan keselamatan manusia.

Dalam waktu bersamaan dengan emas, mulai lagi “demam bunga” yang sebelumnya sudah mulai redup dan bergairah kembali setelah populer bunga “janda bolong” dan bunga jenis tanaman keladi hias.

Tidak menutup kemungkinan pada masa akan datang, kita atau anak cucu kita mulai menambang Thorium mengingat potensinya banyak di negeri kita karena harganya ribuan kali lipat dari dibandingkan bahan tambang lainnya.

Musim batu, emas dan bunga semua adalah “petunjuk hidup” yang tergabung dalam “Ayat Kauniyah” atau ciptaan Allah berupa alam semesta beserta isinya. Kenyataan-kenyataan alam dan sosial itu adalah petunjuk yang paling dekat dengan siapa saja yang mau mengkajinya.

Tanpa “berilmu pengetahuan” tentang asal usul, manfaat dari batu, emas dan bunga serta tujuan apa dibalik semua itu, bagi para koletornya tidak lebih dari mengkoleksi sampah pada dirinya dan itulah yang disebut “najis” atau dalam bahasa Aceh “ada jin, iblis, setan” dalam tubuhnya.

Kajian ilmu kalam tidak sampai kepada apa tujuan dibalik semua peristiwa di atas. Oleh karenanya diperlukan satu metode lama, yakni “kajian rasa” yang tidak pernah berbohong.
Kalau kajian kita masih berkutat pada ilmu kalam atau ilmu bercakap-cakap; Snouck Hurgronje dan ilmuwan dari barat, jauh lebih pandai dan cukup mempunyai catatan kaki dan bukti dibandingkan sejarawan dan ahli adat kita sekalipun.

Bahkan kita sendiri harus berpedoman kepada. Padahal yang dicatat dalam buku mereka hanya mencakup satu atau dua dimensi atau sebatas “syariat” dan “tarikat” yang masih terbuka ruang untuk diperdebatkan.

Sebagai contoh; seluruh orang Gayo punya tali temali dengan ungkapan “Asal Linge Awal Serule” yang pemaknaannya dalam kajian “ilmu bercatatan kaki” menurut polan dan polin terlalu banyak versi. Terlalu banyak dongeng sebelum tidur yang tidak kena kepada sasarannya. Sehingga orang Gayo sendiri tidak bisa mengambil “ibrah” dari ungkapan populer itu.

Pemaknaan melalui kajian rasa bahwa “Asal Linge Awal Serule” adalah “suara yang diserukan” yang bermakna “dakwah” yang syariatnya menyerukan kalimat Thayyibah “Lailahaillallah” atau Kalimat Tauhid yang tertulis pada batu nisan “Reje Genali”.

Tidak berhenti di situ, pemaknaan “Tiada Ilah selain Allah” tetapi “ia-nya” bersembunyi pada kata “tauhid” itu sendiri, yakni “tahu diri” sesuai dengan kalimat “Man arafa nafsahu, faqad arafa Rabbahu” atau “Siapa mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya”.

Begitulah cara nenek moyang kita menyembunyikan jalan kebenaran dalam kata dan kalimat agar anak cucunya selalu “Iqra” atau “IQ Rotation” atau “memutar otaknya” untuk mencari kebenaran itu sendiri agar tidak tersesat.

Keadaan kita sekarang, bagai tiga butir telor yang diberi tanda dengan angka 1, 2 dan 3, lalu dipecahkan dan diaduk-aduk menjadi satu, sehingga kita tidak mampu lagi mengurai mana telor yang ke satu, kedua dan ketiga.

Demikian sulitnya untuk mencari dan mengembalikan ingatan “tahu diri” karena sesungguhnya kita hanya orang yang dititipkan, bukan menitipkan. “Dititipkan”, kita tidak punya hak menentukan nasib diri, sebaliknya “menitipkan” berarti punya hak prerogatif untuk cepat atau lambat, kapan dan di mana ditititpkan kembali.

Siapapun berhak mengaku “Keturunan Reje Linge” dan siapa pun berhak membantahnya. Paling penting sebenarnya “Benarkah mereka manusia?” Yang bisa saja “test keorisinilannya” hidup satu kandang dengan macan lapar. Kalau di matanya kita manusia, maka pada keesokan harinya, kita tidak menjadi kotorannya.

Ketika Raja dan Ratu “berhubungan” belum tentu “bibit hidupnya” dititipkan ke dalam rahim ratu, seketika itu bisa dititipkan kepada pembantunya. Sebaliknya tukang kebun dan pembantu “berhubungan” bisa jadi “bibit hidupnya” dititipkan kepada kepada rahim ratu. Itu yang disebut “Suka-sukanya Allah Ta’ala” bagi kita yang tidak “tahu diri”.

Sehingga kita tidak heran dengan ungkapan “Anak ni reje mera mujadi kude“ sebagai cobaan menjalani hidup dalam “neraka diri”.
Proses kejadian manusia itulah yang membuat kita tidak boleh rasis. Kita tidak tahu persis sejatinya dari siapa? Bisa jadi orang yang sangat kita benci, tetapi hakikatnya dialah yang menitipkan hidup kita. Begitupun bisa jadi orang yang kita cintai ternyata secara hakikat tidak ada kaitan dengan kita.

Begitupun kalau ada saudara kita yang meninggal, sebenarnya yang kita tangisi, ketidaktahuan kita kapan dan di mana dititipkan “hidupnya”? Apakah di “telaga berhud”? Di gunung atau di laut? Atau di ka’bah?

Demikian itu hanya sekelumit kajian tentang “tahu diri” sebagai ujung dari “Asal Linge Awal Serule” yang sebenarnya salah satu bentuk kasih sayang nenek moyang kita berupa petunjuk jalan kebenaran yang pada dasarnya tidak mau membuat anak cucunya tersesat.

(Mendale, 25 Januari 2021)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.