Selamat Pagi Pak Kacabdin! (Catatan Kecil Pendidikan SMA, SMK dan SLB di Aceh Tengah)

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Di kota Takengen yang dingin, hiduplah satu keluarga besar, 32 anaknya. Walau banyak anak, tetap rukun dan damai. Hartanya melimpah ruah, sampai menghitungnya pun hampir susah. Anak-anak mulai tumbuh besar dan hidup tersebar pada di seluruh kecamatan di Aceh Tengah.

Dalam perjalanan selanjutnya, si ayah ternyata pilih kasih. Dia hanya mendatangi anak yang paling sulung, padahal sudah mandiri. Sistem sudah terbangun dengan baik dalam rumah tangganya. Sedangkan masih ada 31 anak lagi yang tersebar di pelosok-pelosok yang perlu mendapat bimbingan dari sang ayah.

Sikap sang ayah kadang agak berlebihan kepada anak sulungnya. Segala fasilitas ditumpahkan ke sana. Kadang kala seperti menebar garam di laut atau perbuatan sia-sia! Padahal semua anaknya perlu mendapatkan kasih sayang yang manja dari sang ayah.

Ketika saudara-saudaranya atau atasan sang ayah datang selalu membawanya dan memperkenalkan anak sulungnya. Anak sulungnya yang lahir sejak “zaman Belanda” dianggap sebagai prestasi sang ayah atau mungkin malu membawa kepada anak lainnya karena rasa takut kelemahannya terbongkar.

Anak-anak lainnya, bukan tidak faham dengan sikap ketidakadilan ayahnya, tetapi hanya tidak mau atau tidak kuasa untuk protes kepada sang ayah. Salah-salah bisa tidak diakui sebagai anak. Lebih parah lagi bisa dicap sebagai anak durhaka.

“Jangan karena kebencianmu, engkau bersikap tidak adil,” nasehat rekan sejawatnya.

Tampaknya nasehat demi nasehat tidak merubah sikapnya. Memang susah kalau sudah menjadi karakter, apapun nasehat masuk kuping kanan dan keluar dari kuping kanan.

“Dalam keadaan sehat walafiat, punya pangkat, kekuasaan dan uang, orang masih hormat, tetapi kalau pensiun dan sakit-sakitan, kalau tidak pernah menanam budi baik, maka engkau akan dilupakan. Bisa-bisa dijadikan bahan hinaan,” lagi nasehat rekan sejawatnya yang lain.

“Dunia berputar, Bung! Kemarin engkau masih punya backing. Mungkin hari ini backingmu sudah mulai tampak lemah. Karenanya berbuat baiklah pada semua anak-anakmu. Bimbinglah mereka menjadi anak-anak dewasa, mandiri dan berguna bagi nusa dan bangsa,” timpal rekan sejawat lainnya lebih keras lagi nasehatnya.

Akibat tingkah polah sang ayah, anak sulungnya menjadi kurang sopan kepada orang lain karena merasa dekat dengan ayahnya. Tidak mandiri dan kurang bisa berkomunikasi dan kurang berpengalaman serta tidak mampu menyelesaikan kalau terjadi masalah dalam keluarga.

Sesangkan anak-anak lainnya menjadi kurang improvisasi, kurang inovatif, kurang kreatif, tidak bisa kerja sama dengan orang lain, kurang disiplin, tidak menguasai lingkungannya dan lain sebagainya.

Sebagai ayah yang sepatutnya “Tut Wuri Handayani” akibatnya anak-anaknya menjadi lemah. Apalagi mengotak-atik formasi anak-anaknya yang semula sudah baik ditempatkan pada daerah yang sesuai dengan bakat dan kemampuannya.

Kalau boleh mengambil ungkapan Anang Hermansyah dalam Indonesia Idol, “Kalau aku sih, No!” dengan ayah model begitu karena anak-anak adalah masa depan kita. Tanpa anak yang cerdas hari ini, maka jangan harap negeri ini maju pada masa akan datang.

Percayalah, ayah yang baik akan selalu mendukung dan membimbing semua anaknya untuk maju, bukan hanya anak yang sulung yang lahir di zaman Belanda itu.

(Mendale, 21 Januari 2021)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.