Memperingati Hari Sedih Nasional, Haruskah?

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Dalam kalender atau daftar hari dan bulan dalam setahun beberapa tanggal baik tercatat maupun tidak, ada hari-hari penting nasional dan internasional; pertama; Hari Besar Bukan Agama, kedua; Hari Besar Agama di Indonesia.

Hari penting bukan agama, di antaranya; setiap tanggal 1 Januari memperingati Tahun Baru Masehi dan Perdamaian Dunia. Pada setiap tanggal 10 Januari diperingati Hari Lingkungan Hidup Indonesia, dan seterusnya.

Sedangkan Hari Penting Agama adalah Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, dan seterusnya. Hari-hari penting itu selalu diperingati dan juga ada yang diliburkan atau cuti bersama.
Akhir-akhir ini, kita sering dilanda musibah silih berganti.

Belum selesai musibah yang satu, sudah disusul musibah yang lainnya. Hari-hari sepanjang tahun tidak pernah sepi dari musibah yang menjadi salah satu sumber terjadinya rasa sedih. Oleh karena itu, perlu kiranya ditetapkan; “Hari Penting Bukan Agama, yakni “Memperingati Hari Sedih Nasional.

Beberapa manfaat “Memperingati Hari Sedih Nasional” di antaranya; menghargai rasa gembira, senang dan bahagia. Juga, mudah mewujudkan kasih sayang sesama makhluk Allah, dan membangun rasa empati yang bersifat kolektif jika orang, kelompok atau bangsa lain terkena bencana alam maupun bencana sosial.

Rasa sedih ada yang bersifat kolektif; akibat bencana alam dengan dampak skala luas. Misalnya pada tanggal 26 Desember 2004 terjadi gempa dan tsunami yang membuat 200 ribu warga meninggal. Peristiwa itu benar-benar membuat rasa sedih bagi seluruh warga Aceh dan di luar Aceh.

Ada juga rasa sedih yang bersifat pribadi; diputus pacar, pacarnya direbut orang, ditinggal cerai, cintainya ditolak, diselingkuhi, tidak diterima kerja, dibully, tidak naik kelas, tidak lulus ujian, dihina, dipukul, tidak dikasih uang jajan, kalah taruhan dan lain-lain.

Tidak ada manusia yang selama hidupnya tidak pernah merasakan sedih. Bahkan pelawak yang pekerjaannya menghibur orang agar senang dan gembira pun, tidak luput dari rasa sedih. Memang rasa yang tidak enak itu sudah melekat dengan manusia.

Manusia dan rasa sedih adalah sebuah teknik penarikan kesimpulan atau konklusi dengan menggunakan logika matematika, yaitu; setiap manusia pasti punya rasa sedih, Syech Sapuarang adalah manusia, Syech Sapuarang pasti punya rasa sedih.

Begitu “pentingnya” keberadaan rasa sedih dalam kehidupan manusia, sehingga sudah sepatutnya pada Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin ini ditetapkan pada setiap tanggal tertentu untuk “Memperingati Hari Sedih Nasional”.

Sebelum memasuki hari yang “bersejarah” itu, dibuat slogan di dalam spanduk, billboard, baliho, poster yang bunyinya “mengagungkan kesedihan”. Misalnya, “Tanpa rasa sedih, tidak ada peradaban dan kebudayaan”, “Hidup rasa sedih!!!”, “Rasa sedih adalah kebahagiaan yang tertunda”, “Rasa sedih menyatukan hati kita” dan sebagainya.

Bermacam cara rasa sedih itu diperingati. Misalnya, beramai-ramai se-Indonesia pergi ke dalam hutan dengan pakaian dan makanan seadanya. Sepanjang perjalanan membayangkan rasa sedih yang pernah dialami, sehingga rasa sedih dalam diri menjadi-jadi, sampai meneteskan air mata dan menangis tersedu-sedu.

Pada hari “Peringatan Hari Sedih Nasional” juga dilaksanakan perlombaan yang pemenangnya mampu “menghadirkan” rasa sedih yang paling dalam. Lomba lagu sedih, syair sedih, sebuku dan acara “reality show” yang juga membuat orang merasa sedih

(Mendale, 19 Januari 2021)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.