Kupi Bako E

oleh

Oleh : Hammaddin Aman Fatih*

“Engon ko so tanoh Gayo. Simegah mureta dele, rum batang nuyem si ijo kupi bako e. Nti daten bur keliyeten mongot pudederu. O ya le rahmat ni tuhen kin ko bewenemu………” /

“……..Lihatlah itu tanah Gayo, yang megah dengan harta melimpah dengan pinus hijau kopi dan tembakau, jangan biarkan gunung Keliyeten menangis menderu , itulah rahmat Tuhan untuk kalian semua………”. (Syair Gubahan AR Moese 1956).

Hamparan wilayah tanah Gayo yang dulu membentang dari Belangkejeren sampai kawasan Cut Panglima Bener Meriah bukan hanya terkenal dengan kopi, teh dan pinusnya.

Tapi ada lagi yang selama ini kalah publikasi dengan kopi Gayo pasca tsunami Aceh tahun 2004, yaitu tembakau atau orang Gayo menyebutnya “Bako”.

Kemegahan tembakau yang ditumbuh didataran tinggi tanah Gayo mengilhami seorang musisi tanah Gayo, yaitu AR. Moese pada tahun 1956 menciptakan sebuah lagu dengan judul “Tawar Sedenge”. Lagu ini dinyanyikan dengan kidmat diberbagai kesempatan dan menjadi sugesti bagi putra-putri tanah Gayo untuk segera bangkit.

Tanaman ini pernah menjadi primadona unggulan dari tanah Gayo. Dahulunya pedagang tembakau dari tanah Gayo telah banyak melakukan transaksi perdagangan dengan berbagai daerah.

Tembakau adalah salah satu komoditi unggulan tanah Gayo dari zaman dahulu. Pedagang yang terkenal dari tanah Gayo adalah yang berprofesi menjual tembakau.

Mungkin selama ini kalau kita mendengar kata Gayo, otomatis kita akan langsung terbayang kopinya (Gayo adalah Kopi, Kopi Adalah Gayo).

Tapi, ada lagi yang sebenarnya bukan terlupakan, yaitu “Bako Gayo” (Tembakau Gayo) mempunyai cita rasa yang berbeda dengan tembakau dari daerah lainnya yang ada di nusantara ini yang terkenal dengan zamrud hijau khatulistiwa.

Malahan ada yang mengatakan aromanya mirip ganja. Mungkin, biasa saja karena pengaruh ketinggian, iklim, konstruktur tanah dan cara prilaku pengolahan yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Hingga banyak muncul cerita-cerita konyol dari luar daerah yang cukup pantas kita kata menyedihkan, karena kasus salah tangkap atau mungkin karena pengetahuan minim yang dimiliki aparat hukum dilapangan, dan mungkin juga karena bentuk tanamannya mirip atau aroma tembakau Gayo dengan danau ganja. Yang jelas tembakau asal tanah Gayo tidak terkandung senyawa yang memabuk didalamnya, maka tidak termasuk katagori narkoba.

Tembakau adalah produk pertanian semusim yang bukan termasuk komoditas pangan, melainkan komoditas perkebunan. Produk ini dikonsumsi bukan untuk makanan tetapi sebagai pengisi waktu luang atau hiburan, yaitu sebagai bahan baku rokok dan cerutu.

Tembakau juga dapat dikunyah bersama daun sirih (Nginang atau Nyusur:Jateng). Di tanah Gayo selain sebagai rokok dan cerutu juga dilumuri digiginya usai menggunakan sirih (Mangas;Bhs Gayo).

Proses pengolahaan tembakau Gayo sangat rumit. Daun yang telah dipetik segera diproses atau diolah menjadi tembakau rajangan.

“Pengolahan tembakau di tanah Gayo terdiri beberapa tahapan kegiatan yang dilalui sampai proses penjualan, yaitu Nyerlak (ngambil daun dari batang), Mumeram (Pemeraman), Monyobek (Memilih daun yang bagus atau menyortir), Munulen (Mengambil tulang daun), Muneles (memotong kecil-kecil), Netir (diangkat terus dijatuhkan sedikit-sedikit dalam proses penjemuran), Mulipet (Dilipat), Mumbungkus (Dibungkus)”.

Bahan baku tembakau pada umumnya sering dijadikan sebagai rokok (biasanya tembakau yang dirajang lalu dibungkus dengan kertas) dan Cerutu (Cerutu adalah gulungan tembakau yang dibungkus dengan daun tembakau sendiri).

Malahan ada yang mengatakan “karena begitu rumit dan susah proses pengolahan tembakau Gayo yang dilakukan, bila gagal sering terjadi perceraian dulunya di tanah Gayo”.

Hal ini terjadi sebagai wujut pelampiasan kekesalan mereka (petani tembakau) dalam mengolah tembakau menjadi tembakau yang terbaik menjadi sebuah kegagalan, seperti terkena hujan waktu dalam proses penjemuran, dan lain sebagainya.

Kita harus sangat mengapresiasi munculnya kembali nama tembakau Gayo akhir-akhir ini yang sudah dalam bentuk olahan (prodak), salah satunya “Cerutu Gayo” dan telah memiliki merek dagang Gayo Mountain Cigar (GMC) di Galeri Kopi Indonesia, Kayu Kul, Pegasing dan telah membuat sajian dengan memiliki varian rasa nangka, alpukad, kopi dan lain sebagainya.

Sebuah torobosan yang mengikuti perkembangan dunia global berbasis digital harus diterapkan agar keunikan tembakau Gayo bisa dikenal dunia. Publikasi sangat penting agar tembakau Gayo bisa mendunia. Prinsip berangkat dari yang asli tapi diberi baju baru harus kita terapkan.

Keterlibatan dan dukungan pemerintah daerah sangat penting untuk mensport pengusaha-pengusaha yang menekuni profesi pengusaha tembakau Gayo, mulai dari pembibitan (Agronomi), pengolahan (Agroteknologi) dan pemasaran (Agrobisnis). Kita yakin tembakau Gayo bisa menjadi patner kembaran produksi unggulan tanah Gayo (kopi dan Tembakau Gayo) dalam proses perkembangannya. Mencicipi kopi Gayo tidak terasa afdal tanpa hisapan dan hempusan tembakau Gayo (Kupi Bako e).

Kita sangat berharap dan harus berusaha jangan sampai tembakau (bahan Baku) kita kirim keluar tapi harus berbentuk olahan (prodak jadi). Sehingga masyarakat kita (Petani tembakau) bisa mendapat posisi tawar yang bagus dan bisa meningkat tarap kehidupan mereka dan tidak selalu menjadi korban permain para tengkulak.

*Antropolog dan penulis buku People of the Coffee.

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.