Politik Macam Apa Itu?

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

“Saya orang paling setia kepadanya?” kata salah seorang politisi kepada salah seorang kerabatnya.

Kerabat politisi itu membawa sebuah “curriculum vitae” salah seorang saudara politisi itu yang hendak minta jabatan. Faktanya, politisi itu jauh dari kata setia.

Ungkapan “setia” hanya karena saudaranya ingin punya jabatan dalam pemerintahan.
Politisi yang duduk sebagai pengurus di pusat,

tentu punya pengaruh terhadap kebijakan dalam organisasinya. Namun ketika, salah seorang anggota organisasinya ingin memakzulkan orang punya kuasa menjadikan saudaranya menjadi pejabat, politisi itu justru membiarkan dan mendukungnya.

“Politik macam apa itu?” siapapun wajar dan patut mempertanyakan gaya politisi seperti itu.
Politik itu kompromistis! “Take and give”.

Tidak ada yang abadi kecuali kepentingan. Jangan mentang-mentang politisi, lalu menganggap semua orang lugu. Justru kalau menerima saudara politisi sebagai pejabat, itu baru disebut lugu.

Gaya politisi seperti ini, jauh lebih parah dari ribut-ribut selama ini, ternyata hanya soal jatah yang “volumenya” kurang dari harapan. Setelah semua dibagi-dibagi, plus biaya kenakalan, tidak ada ribut-ribut lagi.

Rakyat sudah tahu, kok! Ternyata “yang itu tu” yang menjadi pokok masalahnya. Judul tulisan bisa sama, tetapi bukan politisi namanya kalau tidak pandai membangun narasi berlika-liku, yang bagaimana pun muara ceritanya tetap kepada yang satu itu.

Adalagi yang malu-malu kucing dan ragu-ragu karena takut kehilangan konstituen. Secara fisik tidak tampak ambil jatah, sehingga bebas bicara apa saja, seolah bersih dari yang begitu itu. Jelas yang demikian itu bukan “politik” tetapi “licik”.

Padahal, sebagai ilmu pengetahuan bersama, politik itu salah satu sifat Nabi Muhammad SAW, apa yang kita hafal sejak kecil, yakni “fathonah” dalam bahasa Arab, “cerdik” dalam bahasa Melayu dan “politic” dalam bahasa Inggris. Dengan begitu boleh kita sebut orang yang tidak mau berpolitik, berarti tidak “mengikuti” sifat Nabi.

Bedakan “politik” dengan “licik” yang bermakna banyak akal buruk, curang, culas dan pandai menipu. Politik berkiblat pada keyakinan akan kebenaran.

Orang yang berbuat yakin akan kebenaran dan ternyata salah, maka dia dapat satu “pahala keyakinan” dan jika dia yakin berbuat dan ternyata benar, maka dia mendapat dua pahala sekaligus; “keyakinan” dan “kebenaran”.

Contoh tokoh Licik adalah Abdullah Bin Saba’ yang menyebabkan “Perang Jamal” antara sahabat Ali Bin Abi Thalib RA dengan Aisyah RA. Padahal keponakan dan istri Rasulullah SAW itu, keduanya telah dijamin masuk surga, tetapi masih juga berperang karena menjadi korban kelicikan turunan Yahudi itu.

Semoga negeri kita bersih dari orang-orang yang bersifat seperti Abdullah Bin Saba’ yang licik dalam mewujudkan impiannnya. Sehingga anak cucu kita kelak tidak mempertanyakan sejarah yang kita bangun, “Politik macam apa itu?”

(Mendale, 13 Desember 2020)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.