Berburu Burung Pepil, Perkebunan Kopi Kehilangan Predator Hama

oleh

Oleh : Syah Antoni*

Dataran Tinggi Gayo sudah lama dikenal dengan Kopinya. Kualitas kopi Arabika yang dinilai oleh pasar specialty sebagai kopi ekspor dengan kualitas baik. Sebagian besar masyarakat Gayo bahkan menggantungkan hidup pada tanaman kopi sebagai penunjang utama perekonomian keluarga, selain bercocok tanam jenis tanaman palawija.

Untuk meningkatkan produktifitas kopi Gayo, petani kopi melakukan berbagai upaya seperti perawatan, pemupukan, atau pengendalian hama kopi. Pengendalian hama kopi lazimnya dilakukan dengan menggunakan bahan kimia.

Namun pada dasarnya, selain menggunakan bahan kimia untuk membasmi hama kopi berupa jenis ulat daun, ulat buah dan serangga dapat diminimalisir dengan menghadirkan predator alaminya yaitu burung.

Salah satu jenis burung yang sering dijumpai di perkebunan kopi adalah burung Pepil, atau dalam bahasa Indonesia biasa disebut Ciblek atau Prenjak. Burung dengan nama ilmiah Primia Familiaris Horsfield dari suku Cisticolidae atau Sylvidae sangat aktif berburu ulat dan serangga di sekitaran perkebunan kopi.

Di Indonesia, ada beberapa jenis burung Ciblek atau Prenjak, diantaranya : Ciblek Biasa, Ciblek Kristal, Ciblek Semi, dan Ciblek Gunung. Burung yang memiliki ciri ekor panjang, hijau zaitun, kekuningan, atau kecokelatan di punggung ini mencari makanan mulai dari permukaan tanah sampai seluruh bagian tanaman kopi atau beberapa jenis palawija yang acapkali di tanam oleh petani Gayo.

Menjelang magrib, Ciblek atau Pepil mulai mencari dahan atau ranting pohon pendek kemudian menghabiskan malam secara berkelompok, hal tersebut bertujuan menghindari hewan predator sekaligus mengurangi rasa dingin. Persebarannya endemik, karena hanya bisa dijumpai di pulau Jawa, Sumatera, Bali, dan beberapa wilayah Pulau Kalimantan.

Di Indonesia, sejak tahun 1990, perburuan burung Ciblek mulai gencar dilakukan para penghobi burung yang berujung pada berkurangnya jumlah populasi Ciblek di alam bebas. Ciblek termasuk spesies yang mudah stres, acapkali berujung kematian setelah ditangkap atau dipelihara oleh manusia.

Pada 17 Juni 2020 BKSDA Sumatera Utara berhasil menggagalkan penyelundupan 1700-an lebih burung Ciblek di Bandar Udara Kuala Namu, dengan hampir 500 burung ciblek ditemukan mati.

Penulis bisa membayangkan, dengan jumlah 1700-an lebih burung Ciblek tersebut, tentu saja bisa meminimalisir beberapa hektar kebun kopi bila dibiarkan hidup di alam bebas. Namun, ini hanya jumlah yang terpublikasi.

Daniel Karp, salah satu akademisi bidang Biologi dari Stamford University dalam makalahnya menyebutkan bahwa keberadaan burung mampu meningkatkan hasil pemasukan petani kopi mulai 75 dolar Amerika sampai 310 dollar Amerika. Penelitian tersebut ia lakukan dibeberapa perkebunan petani kopi Kosta Rika, Amerika Tengah. Petani kopi disana menyediakan habitat tempat hidup bagi burung – burung liar yang mereka ketahui dapat membantu mengurangi hama kebun kopi mereka.

Lalu bagaimana keadaan burung – burung pemakan hama kopi di Gayo ?

Jauh dari kata baik. Semakin hari populasi mereka semakin berkurang, senapan angin paling mendominasi dan berperan atas berkurangnya jumlah burung pemakan hama. Saat ini status konservasi burung Ciblek atau Pepil memang masih dalam skala resiko rendah. Tapi tidak tertutup kemungkinan beberapa tahun kedepan status tersebut akan berubah, jika tidak ada pemahaman serta tindakan pelarangan berburu.

Tentu sangat disayangkan jika benar terjadi demikian. Mengingat keberadaannya sangat memberikan manfaat dan berkontribusi dalam menangani masalah hama di perkebunan kopi.

Gayo sebagai salah satu daerah penghasil kopi arabika terbesar dan terbaik, harusnya memiliki pemahaman serta mengambil tindakan nyata dalam melestarikan kehidupan jenis burung-burung yang diketahui memiliki kontribusi positif terhadap perkebunan kopi.

Seperti misalnya pemerintah membuat lembaga pengawasan atau regulasi khusus terkait perlindungan satwa (burung) pemakan hama kopi. Dalam hal ini, burung Pepil adalah salah satunya.

Selain sebagai predator hama, kotorannya juga dapat berguna sebagai pupuk alami. Serta keberadaanya diperkebunan kopi juga menjadi indikator atau syarat dinyatakannya perkebunan tersebut mendapat pengakuan Organik dan layak uji kualitas organik.

Sebagai petani Kopi yang perduli akan kualitas dan paham pentingnya menjaga habitat hidup dari perkebunan kopi, sudah sepantasnya menghentikan kebiasaan membunuh burung yang jelas- jelas memberi manfaat pada perkebunan kopi itu sendiri.

Bahkan hal sederhana yang dapat dilakukan oleh para petani adalah dengan melakukan hal-hal kecil, seperti menulis plang larangan menembak di kebun pribadi para petani. Serta diharapkan untuk cakupan luas atau skala besar adanya peran serta oleh pemerintah daerah dengan adanya upaya memberikan fasilitas dalam berbagai bentuk publikasi larangan berburu atau peredaran senapan angin.

Hal ini menjadi kontribusi positif dalam mengikuti langkah Daniel Karp sebagai bahan pembanding, sampel, juga media edukasi bagi masyarakat.

Penulis berharap, kebun-kebun kopi di Gayo tidak berupaya menandingi pemakaman-pemakaman umum. Tentu akan sangat aneh, bila perkebunan kopi lebih hening dibandingkan pemakaman yang seyogyanya hidup tanpa suara serta riuh tingkah para satwa.

Stop hama dengan stop berburu burung pepil.

Penulis adalah petani Gayo, menetap di Bener Meriah

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.