Gayo Hidup dari Biji Kopi (Catatan Menjelang November Kopi Gayo 2020)

oleh

Oleh : Hammaddin Aman Fatih*

Masyarakat Gayo yang merupakan penduduk asli yang pertama kali mendiam wilayah paling ujung pulau Sumatra. Hal ini entah kebetulan atau tidak, singkatan GAYO = Generasi Aceh Yang Orsinil, seakan-akan ikut membenarkan bahwa orang Gayolah yang pertama mendiami bumi yang dijuluki Serambi Mekkah ini.
Kehidupan anak bangsanya tidak dapat dipisahkan dengan kopi (People of the Coffee).

Hal tersebut dikarenakan Lebih kurang 80 persen masyarakatnya menggantung hidup dari biji kopi (The citizen of the place get income from coffee).

Gayo adalah kopi dan kopi adalah Gayo, artinya Gayo tidak bisa dipisahkan dengan kopi. Lebih ekstrem cukup pantas kalau kita kuatkan, jangan bicara Gayo kalau tidak bicara kopi dan tidak afdal kalau bicara kopi tanpa dibumbui cerita Gayo.

Asal Usul Bangsa Gayo

Bangsa Gayo yang sekarang banyak mendiam wilayah dataran Tinggi tanah Gayo (Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah) dan Wilayah kabupaten Gsayo Lues dan juga sebahagian Aceh Tenggara dan Aceh Timur).

Bangsa Gayo Masyarakat ini berasal dari percampuran bangsa Veda dengan penganut kebudayaan Austronesia atau terkenal dengan sebutan Proto Melayu yang membawa kebudayaan Neolithikum.

Menurut Teori Sarasin/bersaudara, bahwa bangsa Veda awalnya mendiami wilayah Asia Tenggara dan merupakan populasi pertama yang mendiami kepulauan Indonesia dengan genotif berkulit gelap dan berpostor kecil bersifat pemalu.

Keturunan asli bangsa Veda yang ada saat ini di yakini adalah suku Kubu yang berada di Jambi. Sebahagian lagi berasimilasi (Kawin silang) dengan pendatang baru yang masuk ke pulau Sumatra (Proto Melayu). Bangsa Veda yang asli musnah, diperkirakan di sebabkan letus vulkanik gunung Krakatau purba yang memisahkan pulau Jawa dan Sumatra.

Dalam perkembangan selanjutnya percampuran genetik (Perkawinan) dan budaya antara bangsa Veda dengan kelompok manusia Austronesia adalah cikal bekal sebuah suku yang kini di sebut Gayo. Hal ini diperkuat dengan diketemukannya gerapah yang merupakan peralatan manusia kelompok Austronesia dan kapak peralatan Bangsa Veda.

Mereka pertama kali menetap di bagian pesisir pulau Sumatera. Seterusnya mereka bermigrasi menyelusuri sungai–sungai yang berada di pedalaman Aceh. Makanya setiap perkampungan kuno, yang pasti berada dipinggiran alur sungai, karena melalui sungailah mereka bermigrasi (mirip dengan perkembangan bangsa Mesir lewat sungai Nil-nya).

Secara umum, mereka masuk ke tanoh Gayo melalui jalur–jalur sungai besar, antara lain : Pertama ; dari muara sungai peusangan yang berhulu ke danau Laut Tawar. Sehingga mereka di sebut pegayon (air mata yang jernih). Hal ini juga di perkuat dengan diketemukannya kehidupan di dataran tinggi tanoh Gayo di jaman pra sejarah.

Bukti ini dapat kita lihat dari hasil penelitian Madya Bidang prasejarah Balai Arkeologi Medan yang menemukan adanya sebuah kehidupan manusia purba di Ceruk Mendale dan Loyang Putri Pukes. Bahwa proses hunian telah berlangsung dikawasan ini sejak periode mesolitik pada masa 3.580 tahun yang lalu.

Dan dalam penelitian tersebut mereka juga menemukan kerangka manusia purba yang diyakini sebagai salah satu leluhur rakyat Gayo. Hal masih dilakukan pengetesan DNA (Deoxyribonucleic Acid) untuk menguji hipotesa tersebut.

Kedua ; jalur sungai Jambu Aye kira–kira baru pada tahun 300 SM menyingkir kepedalaman wilayah Aceh. Hal ini disebabkan kedatangan Melayu Muda dari Kincir dan Kamboja. Dan juga dilatar belakangi ekonomi, yaitu karena masyarakat tersebut bermata pencaharian mencari ikan dan bercocok tanaman.

Sebahagian dari mereka untuk memperluas usaha dan menambah penghasilan, terus menyelusuri sungai tersebut, terus menyelusuri sampai ke muara sungai yang ada di pedalaman. Akhirnya ada sebahagian yang terus menetap di sana tidak pulang lagi menata kehidupan baru yang terus berkembang dari hari ke hari.

Beberapa periode kemudian (Abad Masehi) terjadi pembauran dengan pendatang-pendatang baru berikutnya yang menetap dan berkembang di tanah Gayo. Yaitu :Pertama ; ini berhubungan masuknya pengaruh budaya Islam (Aliran Syiah maupun Suni) di lingkungan kerajaan Linge. Konon kabarnya dibawa oleh oleh orang–orang keturunan Persia yang datang ke tanah Gayo.

Ada sebuah informasi yang mengatakan bahwa orang Gayo yang berada di daerah Serule merupakan keturunan mereka, yang mempunyai ciri–ciri fisik tinggi kurus dengan warna mata coklat gelap dengan hidung mancung. Mereka ini berbeda dengan bentuk fisik orang Gayo kebanyakan.

Kedua ; berhubungan dengan pelarian politik dari daerah Perlak, yaitu ketika Raja Linge mengizinkan rombongan Malik Ishak yang berjumlah 300 orang untuk tinggal dan sekaligus diberi hak untuk mendirikan kerajaan Islam di Isaq.

Ketiga : ada sebuah informasi yang mengatakan, bahwa dulunya ada rombongan pengungsi dari wilayah kerajaan Majopahit yang menetap di sekitar daerah yang sekarang di kenal dengan sebutan daerah Penarun. Raut wajah mereka lebih mirip kejawaan. Informasi ini berhubungan dengan cerita yang berkembang di masyarakat tentang “Legenda Keris Majapahit”.

Keempat ; kedatangan orang Batak Karo yang menuntut kematian saudara mereka yang datang untuk melihat ke indahan danau Laut Tawar, mereka dibunuh oleh rakyat kerajaan Bukit. Hasil negoisasi akhirnya sebahagian daerah kerajaan bukit di berikan kepada mereka. Maka berdirilah kerajaan Cik Bebesen atau mereka sering di sebut dengan sebutan Batak 27.

Versi yang lain yang berhubungan dengan hal ini adalah berhubungan dengan kedatangan orang–orang dari tanah Batak yang menuntut hak warisan sebagai keturunan Gayo yang dulunya berantau ke tanah Batak.

Hal ini diperkuat dengan penelitian Ketut Wiradanyana yang memunculkan hipotesa bahwa Orang Batak Berasal Dari Tanoh Gayo.
Kelima ; era tahun 1900-an yang itu dengan dibukanya lahan perkebunan di dataran tinggi tanah Gayo oleh Belanda.

Karena kekurangan tenaga pekerja maka pemerintahan kolonialisme Belanda mendatang pekerjanya dari daerah luar tanah Gayo, khususnya dari pulau Jawa.

Dengan perjalanan waktu (Periode) dan adanya interaksi antara mereka terjadilah pembauran (melalui jalur perkawinan). Beberapa generasi kemudian sampai sekarang.

Mereka inilah cekal bekal masyarakat Gayo yang sekarang. Masyarakat tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Sehingga muncul istilah ; Gaja (Gayo Jawa), Gapa (Gayo Padang), Gac (Gayo Aceh), Gaba (Gayo Batak), Gab (Gayo Arab), dan lain – lainnya.

Makna Kata Gayo

Kata “Gayo“, menurut beberapa informasi ; Pertama di ungkapkan oleh seorang pakar yang berasal dari Negara Brunai Darussalam, yaitu Prof. Dr. Burhanuddin, mengatakan kata Gayo dalam bahasa Melayu Brunai Darussalam dan Malaysia adalah “ Indah “ dan kata ini hanya pantas diungkapkan/dilontarkan pada saat–saat upacara tertentu saja.

Kedua yang di sampaikan secara turun temurun dari satu genarasi Gayo ke generasi Gayo selanjutnya (kekeberen/bhs Gayo). Bahwa kata Gayo berasal dari kata “Garib“ atau “Gaib“.

Hal ini dihubungkan dengan datangnya pertama kali leluhur orang Gayo ke wilayah ini, yaitu ; pemimpin rombangan yang datang tidak nampak wujudnya tapi suaranya kedengaran. Ketiga ada lagi yang menghubungkan kata Gayo dengan “dagroian“ berasal dari kata-kata “dran-gayu “ yang artinya orang Gayo.

Keempat ada juga menyebut dengan sebutan pegayon yang artinya mata air yang jernih. Kelima secara filosofis kata Gayo berasal dari dari paduan kata Linga (Keni Rawan)-Yoni (Keni Banan). Ga dan Yo menjadi kata Gayo.

Keenam Gayo artinya kemenangan. Menurut Salman Yoga ; hal ini merupakan salah satu ungkapan masyarakat di pulau Luzon dataran tinggi Coldirella Philipina saat merayakan kemenangan menentang penambang yang merusak lingkungan dengan berseru gembira sambil meneriakan kata Gayo, Gayo, Gayo, Gayo !!! (Lebih jelas lihat buku People of the Coffee terbit MujahiPress tahun 2015).

Kopi Gayo

Keunikan dari kopi Gayo ini dikenal dengan istilah “heavy body and light acidity” yakni sensasi rasa keras saat kopi ditenguk dan aroma yang menggugah semangat. Kopi yang tumbuh di subur di tanah Gayo memiliki rasa yang khas masuk kawasan “Single Origin Coffee” merupakan jenis asal kopi yang berkualitas tinggi dan banyak di campur (Blend) dengan persentasi dominan untuk mendapatkan rasa dan aroma tersendiri.

Keunikan dari kopi Gayo ini dikenal dengan istilah “heavy body and light acidity” yakni sensasi rasa keras saat kopi ditenguk dan aroma yang menggugah semangat. Kopi yang tumbuh di subur di tanah Gayo memiliki rasa yang khas masuk kawasan “Single Origin Coffee” merupakan jenis asal kopi yang berkualitas tinggi dan banyak di campur (Blend) dengan persentasi dominan untuk mendapatkan rasa dan aroma tersendiri.

Gayo dan kopi tidak dapat dipisahkan. Riwayat kopi di Jawa dikenal karena dibawa Belanda, tapi di tanah Gayo justru Belanda yang menemukan kopi saat mereka mulai masuk ke wilayah Aceh (Media Indonesia/minggu,08 September 2019).

Salah satu potensi yang sangat menjanjikan untuk dikembangkan didaerah ini adalah “Perkebunan Kopi”. Mengingat tanaman kopi yang tumbuh ditanah Gayo memiliki karakteristik terunik di dunia, memiliki karakter terbanyak dan memiliki 38 varietas.

Dan kopi Gayo juga memiliki citarasa yang khas, hasil uji citarasa yang dilakukan oleh Christopher Davidson salah seorang cupper (Ahli penilaian rasa dan oroma kopi) internasional. Ia mengatakan bahwa kopi Gayo memiliki keunikan tersendiri yang tidak tergantikan oleh jenis-jenis kopi lainnya, keunikan dari kopi Gayo ini dikenal dengan istilah “heavy body and light acidity” yakni sensasi rasa keras saat kopi ditenguk dan aroma yang menggugah semangat.

Dataran Tinggi Tanah Gayo, tanaman kopi dibudidayakan hampir diseluruh lahan yang ada di dataran tinggi itu (Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues). Keindahan alam pengunungan Gayo di hiasi dan diselimuti oleh hijauanya tanaman kopi.

Sampai saat ini ± 97.319 ha luas lahan perkebunan kopi yang dikelola ± 65.900 kepala keluarga di ketiga kabupaten tersebut. Ada pendapat yang mengatakan lahan tersebut terluas di dunia.

Sejarah membuktikan, pada tahun 1997, awal krisi multidimensi yang melanda republik ini, khususnya dibidang ekonomi, ribuan masyarakat di daerah ini mendapat berkah. Perbedaan kurs rupiah dengan dollar AS telah melambungan harga kopi.

Bukti sejarah ini ternyata belum disadari banyak orang dan mungkin juga pejabat pengambil keputusan di daerah ini sebagai basis kekuatan ekonomi kerakyatan. Alhamdulilah saat ini telah kita sadari bahwa kopi tulang punggung penggerak perekonomian masyarakat Gayo.

Dan harus diakui pula bahwa masyarakat di daerah ini sangat mandiri dalam menjalankan usaha keluarga ini, meski juga harus diakui pola yang mereka gunakan tergolong pola tradisional “apa adanya”, tanpa sentuhan teknologi, sebagaimana keharusan sebuah perkebunan modern dikelola.

Pasca bencana alam yang amat dahsyat (Gempa Bumi dan Tsunami/26 Desember 2004). Telah menghentak perhatian seluruh plosok-plosok planet bumi ini. Aceh yang semula secara politik merupakan daerah tertutup menjadi terbuka. Ribuan relawan dari berbagai mancanegara masuk ke Aceh.

Para relawan yang datang sangat menikmati minum kopi dengan oroma yang sangat khas ketika dihirup yang disajikan.

Hal diatas secara perlahan tapi pasti, akhirnya sekarang ini bermunculan penikmati-penikmat kopi dilingkungan masyarakat Aceh, masyarakat Gayo pada khususnya. Sehingga bermuncullah warung-warung kopi yang mengelola biji-biji kopi standar dunia yang memiliki kualitas tinggi.

Era New Normal

Pandemik penyebaran Corona Virus Disease 2019 atau lebih dikenal dengan sebutan Covid-19, yang sampai hari ini belum ada tanda yang menunjukan kapan akan berakhirnya, berimbas kepada harga biji kopi yang anjlok. Bukan hanya harga kopi saja yang anjlok tapi semua komoditi perkebunan dan pertanian mengalaminya penurunan harga pasaran dunia Internasional.

Menurut sebuah sumber yang layak dipercaya mengatakan bahwa trend permintaan kopi meningkat di era pandemik Covid-19. Tapi berbanding terbalik dengan harga kopi yang anjlok dipasaran hulu. Seharusnya logika ekonomi “semakin langka barang atau semakin besar permintaan , maka otomatis semakin tinggi harga barang tersebut”.

Untuk kasus harga komoditi kopi di era pandemik Covid-19 ini berbeda. Hal tersebut disebabkan pengiriman barang keluar negeri yang terbatas pengekxpornya.

Contohnya ; biasanya 20 kapal yang berangkat dalam sebulan dengan kapasitas 250 ton perkapal, sekarang hanya 5 kali keperangkatnya selama 1 bulan. Artinya dalam kondisi normal biasanya 5000 perbulan tapi sekarang era pandemik ini hanya bisa diexprot 1250 ton perbulan.

Kita sangat berharap semoga kita cepat keluar krisis ini, dunia usaha bisa kembali normal seperti bisa. Dan masyarakat dibisa bangkit menata kembali kehidupan ekonominya menuju ke yang lebih baik.

Alhamdulillah ditengah pandemik ini (antara september-November) petani Gayo seharusnya mulai bernafas lega. Komuditas unggulan asal Aceh Tengah dan Bener Meriah Aceh telah eksport kopi Gayo ke Jerman 102 ton biji kopi Arabica (USD 4,200). 11 ton Coffe Luwak global roasted beans ke Cina ( USD 3.274) dan 34 ton Arabica special thea singapura (USD 850) (Sumber: RMOL Aceh).

Event Kopi Gayo

Kopi Gayo yang telah terbukti bisa mengangkat martabat dan mensejahterakan petani kopi Gayo, maka akhirnya bisa menjadikan emas hijau dari tanah Gayo (Golden Green Bean From Gayo High Land) dan sudah sewajarnya menjadikan maskot daerah.

Kita semua, mau tak mau harus sangat mengapresiasi diadakannya event-event berbau Kopi Gayo yang bertujuan ingin mempublikasilkan kebesaran Kopi Gayo ketaran global yang merupakan andalan ekonomi masyarakat tanah Gayo.

Sembayon “Gere Ara Kupi Gere Ara Cerita” yang sekarang telah menasional dan bisa nanti bukan hanya sebuah mimpi lagi bisa menjadi go internasional : We don’t start to chat before drinking Gayo Coffee (Inggeris) Laa Yabda U Hikaayatan, Qabla Yussrabul Qahwata Gayo (Arab), Beginnen Sie Nicht Die Geschicte Wenn Sie Keinen Gayo Kaffe Gentrunke Haben (Jerman), Ju Gua Hai Mei He Gayo Cofe Wo Men Jiu bu Liau Dien (Cina) dengan arti Gere Ara Cerite, Ike Gere Minum Kupi Gayo (Gayo), Tidak ada cerita kalau belum minum kopi Gayo (Indonesia).

Kebesaran nama Kopi Gayo yang telah mendunia, semoga memberikan harapan yang besar bagi kemakmuran petani kopi. Jangan sampai terjadi koro mungoro kocing si mangan kero (kerbau yang membajak sawah tapi kucing yang makan nasi).

Kita berharap kesungguhan semua pihak untuk terlibat menjaga kebesaran nama kopi asal tanah Gayo. Bukan hanya sekedar ultimatum yang hampa perwujudan kata atau sekedar retorika yang bias makna.

Semoga bisa dari adanya banyak kegiatan itu, terutama kegiatan November Kopi Gayo 2020 yang akan diadakan pada tanggal 11 November 2020 secara virtual di Taman Budaya Gayo Arboretum Bener Meriah nanti, bisa memberikan perubahan signifikan pada ekonomi petani kopi di dataran tinggi tanah Gayo.

Sehingga kebesaran nama Kopi Gayo di dunia bukan hanya propaganda atau hanya sekedar retorika yang meninabobokan petani kopi Gayo.

Petani kopi di dataran tinggi tanah Gayo harus mempunyai kekuatan yang dapat membawa daerah ini ke hari depan yang penuh tantangan yang hanya dapat petani Kopi Gayo atasi dengan selamat dengan sebesar mungkin sikap ilmiah, rasional, keterbukaan untuk menerima perubahan menuju kearah yang lebih baik dalam rangka meningkat tarap kehidupan petani Gayo dan bisa mengembangkan skill pengelola lahan pertanian yang lebih efektif dan efesien yang akan dituntut di masa yang akan datang agar bisa bersaing dalam tataran global.

Kita sangat berharap, suatu saat nanti mereka petani kopi Gayo mempunyai kekuatan sebagai penentukan kebijakan, bukan penerima kebijakan tentang harga kopi. Karena mempunyai posisi tawar yang kuat dengan mengelola perkebunan kopi secara professional sesuai dengan tuntutan zaman.

*Antropolog dan petani kopi biasa


Ikuti channel kami, jangan lupa subscribe :

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.