Soal Pelecehan Nabi : Antara Macron dan Kita

oleh

Oleh : Johansyah*

Saya teringat dengan ceramahnya KH. Zainuddin MZ, soal bagaimana adab bertetangga. Sedikit kita petik kalimatnya dengan nada kocak dan menyindiri; ‘radio radio gua, yang beli gua, uangnya pakai uang gua, gua mau mutar keras mau enggak, terserah gua!

Lalu tetangganya juga ngomong; rumah, rumah gua, yang dengar gua, kuping, kuping gua, kenapa suara radio lo masuk ke kuping gua? Begitu kira-kira beliau menggambarkan tetangga yang egois, hanya ingin menang sendiri.

Kita pun teringat lagi dengan ulah presiden Prancis, Emmanuel Macron yang tidak melarang pelecehan nabi Muhammad melalui kartun maupun karikatur dengan dalih kebebasan berekspresi.

Menurutnya tidak masalah karena itu adalah hak orang untuk melakukannya, tidak harus dipersoalkan.

Begitulah, negara yang sudah kita anggap sangat mapan dan memiliki pengaruh besar di Eropa, tapi ternyata belum mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya.

Soal menghargai orang atau kelompok lain yang berbeda keyakinan, ternyata mereka masih sangat primitif sekali dan jauh dari standar kemajuan meskipun di bidang lain, terutama pembangunan fisik mereka jauh di depan.

Persoalan intinya apalagi kalau bukan sentimen keagamaan. Entahlah, mungkin pula ada kekhawatiran sang Presiden bahwa di Prancis sendiri kian banyak orang yang memeluk agama Islam.

Di abad ini salah satu populasi muslim terbesar di negara Eropa adalah di Prancis. Sehingga bisa jadi sikap sang Presiden adalah ekspresi kekhawatiran terhadap perkembangan Islam di sana.

Presiden Prancis, Macron terjebak dengan konsep kebebasan berekspresi yang dia dengungkan. Ketika Dia berlindung di balik logika kebebasan berekspresi soal kartun nabi Muhammad, itu hanya logika membela diri yang kemudian berbalik arah menyerangnya.

Lantas kalaulah itu kebebasan berekspresi, kelompok lain juga akan berekspresi bebas melakukan apa saja tanpa batas etika.

Minsalnya, salah satu koran di Iran membuat gambar Marcon mirip iblis dengan telinga lebar, mata melotot, hidung memanjang, dan kulit muka mengerut. Atau seperti di Lybia, gambar Macon di jadikan alas kaki sebagai penanda jaga jarak di sebuah lobi hotel.

Mereka pun kemudian menyatakan bahwa mereka bebas untuk berkspresi. Akhirnya terjawablah sendiri logika kebebasan berkespresi sang presiden. Senjata makan tuan.

Demikian halnya ketika Marcon menganggap protes dunia terhadapnya berlebihan. Orang-orang dengan sangat mudah pula mengatakan bahwa itu juga hak dan kebebasan mereka untuk melakukannya. Persis seperti cerita pemilik radio yang disentil oleh KH. Zainuddin MZ di atas.

Untuk itulah konsep kebebasan itu tidak dapat diterjemahkan secara sepihak tanpa mempertimbangkan pihak lain. Kita memiliki hak untuk melakukan apapun dan di manapun dengan dalih kebebasan berekspresi. Kalau begitu sama, orang lain juga berhak melakukan apa saja.

Makanya kebebasan berekspresi itu harus dibingkai dengan asas mempertimbangkan kenyamanan orang lain, asas menghargai dan menghormati keberadaan mereka.

Selama ekspresi kebebasan itu didasarkan atas asas ini, selama itu pula ekspresi kebebasan itu tidak akan mendapatkan kritikan, sikap penolakan, atau perlawanan dari orang maupun kelompok lain.

Kalau bebas berekspresi atas dasar ‘suka-suka saya’ ini namanya egois. Di mana-mana orang egois itu tidak pernah akur dengan orang-orang sekitarnya karena dia menganggap dirinya saja yang benar, orang lain salah. Ketika melakukan sesuatu, dia merasa berhak melakukannya, tapi giliran orang lain melakukan hal yang sama dia marah dan menolak tindakan itu.

Terkadang dari kasus Marcon saya pun berpikir, ternyata banyak di antara kita yang belum mampu, bahkan sama sekali tidak menjujung tinggi hak-hak orang lain.

Kita kurang menghargai saudara, teman, dan tetangga. Kita sering mengabaikan hak-hak mereka. Dengan kata lain, kasus Marcon dapat kita jadikan sebagai momen evaluasi internal dan pada wilayah yang lebih kecil. Tidak usah jauh-jauh karena di sekitar kita juga masih banyak perilaku-perilaku ‘ajaib’ seperti itu.

Bahkan belum lama ini, seorang teman mengeluh. Beberapa malam yang lalu katanya tidak bisa tidur karena suara musik tetangganya begitu keras dan baru berhenti pada jam dua malam.

Awalnya saya pikir dia mengada-ngada, mana mungkin musik sampai jam dua malam, diputar keras lagi. Ternyata beberapa tetangganya yang lain mengadukan hal yang sama. Barulah saya percaya bahwa apa dikatakannya benar.

Ada lagi kasus lain. Di sebuah perkebunan, pemilik kebun memperingatkan tetangganya yang memiliki lembu. Lembu tersebut sering kali masuk ke kebunnya dan merusak tanaman di sana. Pemilik kebun lalu mengatakan; ‘tolong diikat lembunya karena merusak tanaman saya’.

Si pemilik lembu bukan malah melaksanakan apa yang disarankan pemilik kebun, tapi marah-marah seraya berkata; ‘kamu yang seharusnya membuat pagar di sekiling kebunmu agar lembu tidak masuk. Lembu itu manalah paham bahwa itu tanaman yang tidak boleh dimakan, dan ini boleh’.

Ternyata pemilik lembu tidak lebih cerdas dari lembunya. Ya, lembunya tidak mungkin tau dan dapat membedakan mana tanaman dan mana rumput. Justru itu, seharusnya pemilik lembu mengikat lembunya. Bukan menyalahkan pemilik kebun yang tidak memagar kebunnya.

Toh, ketika sudah dipagari, ketika ada celah masuk, lembu masih juga masuk. Apakah pemilik lembu masih menyalahkan pemilik kebun?

Kita umat muslim ini memang tidak dengan jihar melecehkan Islam maupun nabi Muhammad SAW, namun dalam perilaku sehari-hari kita kerap melecehkan ajaran Islam. Contohnya itu tadi, menghargai tetangga saja kita belum mampu.

Padahal menghargai tetangga merupakan bagian dari tanda berimannya seseorang sebagaimana yang ditegaskan oleh nabi SAW dalam sabdanya; “demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman. Lalu sahabat bertanya, siapa ya Rasulullah? Beliau menjawab; ‘orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.’ (HR. Bukhari nomor 6016).

Contoh lainnya, ada orang yang mengatakan bahwa hafizh, orang yang good loking, serta muslimah bercadar itu sebagai bibit-bibit radikal yang harus diwaspadai. Padahal itu semua adalah bagian dari ajaran-ajaran Islam.

Tapi dengan begitu tega diidentikkan dengan gerakan yang mengancam Islam dan negara itu sendiri. Bisa jadi, ini satu kelas dengan perilaku Marcon tadi yang merendahkan Islam.

Kalaulah pelakunya Marcon atau siapa saja di luar Islam yang menunjukkan rasa tidak hormat dan melecehkan Islam, tidaklah membuat kita terlalu heran. Tapi ketika orang atau kelompok yang melakukannya muslim, itu namanya terlalu.

Berbicara atas nama Islam, tapi sesungguhnya bermaksud meruntuhkan Islam. Mereka seolah-olah melindungi agama, padahal mau merapuhkannya dengan menggunakan logika toleransi maupun demokrasi.

Begitulah, jangan-jangan kita dengan Marcon itu beda tipis (beti), atau mungkin sekelas. Cara kita berislam pun kemudian seperti anak-anak yang memainkan marcon, penuh hura-hura dan tidak pernah serius. Wallahu a’lam bishawab!

*Pegawai Dinas Syari’at Islam dan Pendidikan Dayah Kabupaten Aceh Tengah dan Ketua STIT Al-Washliyah Aceh Tengah.


Ikuti channel kami, jangan lupa subscribe :

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.