Aceh Di Mata Saya

oleh

Oleh : Kurnia Effendi*

Aceh bagai sebuah negeri yang terpisah dari Nusantara, sebagaimana Papua yang bertubuh raksasa itu. Nama Aceh bagi saya ketika SD atau SMP memang terdengar religius dan memiliki pahlawan yang gagah berani meskipun di antara mereka adalah perempuan: Tjut Njak Dhien dan Tjut Meutia. Belanda tak pernah menang di sana.

Sebagai penulis, baru belakangan saya mendengar dengan saksama nama Hamzah Fansuri (yang masih dibimbangkan lahir di Ayutthaya Siam atau Barus Sumatra Utara di abad 16) yang sudah sohor sejak Kerajaan Aceh. Lebih dahulu saya mendengar Toto Sudarto Bachtiar dan Chairil Anwar melalui lomba deklamasi di SMP. Berikutnya WS Rendra, Taufiq Ismail, dan seterusnya.

Aceh yang digempur berbagai cobaan dan ujian sehingga lukanya tak pernah sembuh itu, lebih banyak dipandang dengan dan dari kacamata politik. Ada kepentingan-kepentingan yang seolah di luar jangkauan tangan sastra.

Padahal, saat menonton film “Tjut Njak Dhien” (1988) yang dimainkan Christine Hakim, karya Eros Djarot yang luar biasa itu, ada tokoh fiksi penyair di sana. Kami sempat mendiskusikan film itu di kantor redaksi Pikiran Rakyat Bandung. Dua belas tahun kemudian, persisnya tahun 2000, Garin Nugroho membuat film drama dokumenter berjudul “Puisi Tak Terkuburkan” yang mengangkat kisah nyata seorang penyair lisan didong Ibrahim Kadir.

Ya. Ada PUISI di Aceh, menggurat dalam serupa luka yang membenam. Tidak tersembuhkan atau dengan kata lain, baik tersirat maupun tersurat, puisi tentang Aceh tentu tak akan habis dibaca zaman. “Mahaduka Aceh”, kumpulan puisi untuk mengenang dan menjadi catatan sejarah salah satu bencana terbesar (selain Krakatau dan Tambora) di masa modern ini: tsunami yang mengambil nyawa lebih 200 ribu orang dalam sekali entakan pada 26 Desember 2004.

Seolah kurang cukup DOM dan GAM yang mengeram panjang menjadi teror untuk satu atau dua generasi sebelumnya.

Tahun 2006 saya bersama Fikar W Eda, Sapardi Djoko Damono, Jose Rizal Manua, Medy Loekito, dan Leo Kristi diundang oleh UNESCO melalui Arya Gunawan Usis ke Banda Aceh untuk menyampaikan penghiburan lewat karya sastra. Khusus Leo Kristi (yang semula merasa khawatir dan ragu datang), menyanyikan lagu-lagunya yang berjenis balada troubabouris. Salah satunya mengiringi pembacaan cerpen saya yang berjudul “Laut Lepas Kita Pergi” (tentang dampak psikologis tsunami, dimuat Kompas, Februari 2006).

Puisi saja ternyata tak cukup untuk menggambarkan Aceh secara utuh. Aceh adalah puisi itu sendiri yang tubuh dan belulangnya sudah remuk berulang-ulang. Komunitas literasi tumbuh di mana-mana dan yang cukup ternama adalah Lapena.

Di sana, pada sebuah malam, Leo Kristi menyampaikan kepada teman-teman penyair, bahwa karya yang baik akan bergema panjang. Saya kira, representasi Aceh dalam sejarahnya akan bergema lebih panjang lagi.

Bila ada yang mengatakan bahwa perseteruan Israel dengan Palestina sebagai kisah abadi, saya pribadi tak berharap demikian dengan Aceh. Oleh karena itu, jalan perdamaian harus disambut dengan sukacita dan menjadi akhir dari semua derita yang seolah kita ciptakan.

Tak dapat kita mungkiri, bahwa di balik julukan Serambi Mekkah, ada hamparan luas kebun ganja dan berbagai hiburan duniawi yang dipindahkan (ke Medan, misalnya). Namun demikian, kopi Gayo dan Kedai Jasa Ayah yang menyajikan kopi solong, bagi saya memiliki tempat tersendiri.

Sejak 2006 itu, selanjutnya, hampir satu atau dua tahun sekali saya ke Aceh untuk kegiatan kebudayaan bergantian dengan tugas kantor. Bahkan setelah pensiun, setahun yang lalu, Mei 2019 saya diundang Zubaidah Djohar ke Lhokseumawe untuk melatih penulisan kreatif para mahasiswa Universitas Malikussaleh.

Mereka adalah korban trauma panjang yang ingin menjadikan kegiatan menulis sebagai katarsis. Membebaskan seluruh beban yang menghantui pikiran, meledak dan mencair menjadi tulisan, dan menyambut masa depan dengan gembira.

Teringat 12 tahun lalu saya melatih anak-anak SD-SMP yang ditinggal orang tua mereka sebagai korban tsunami, bersama Andrea Hirata dan almarhum Hernowo Hasyim (Mizan Group), kini salah seorang menjadi cerpenis: Rinal Sahputra. Selalu ada yang bangkit dari tanah subur sekalipun kerap hancur. Darah Aceh terus mengalir sejak para pendahulu mereka, melalui Teuku Umar, Cik Ditiro, dan anak cucu yang tak mau menyerah.

Kini banyak sastrawan asal Aceh menjadi sahabat. Melalui Anita Cemerlang, majalah khusus cerpen remaja 80-an, saya kenal dekat dengan Ayi Jufridar dan Putra Gara. Dari puisi saya berjumpa Pak LK Ara, Bang Din Saja, DE Kemalawati, Reza Idria, Mustafa Ismail, Mahdi Idris, Kemal Pasya, Nasrullah Thaleb, juga prosais Azhari Aiyub, Arafat Nur, dan Ida Fitri.

Bagaimana mereka memandang ranah pusaka sendiri? Maka, Aceh bagi saya selalu eksotik. Bukan hanya kopi arabika yang menjadi inspirasi, melainkan juga mie Aceh dan nasi gurihnya. Bila dirasakan orang-orang Aceh lebih tinggi hati dibanding warga dari provinsi lain, tidaklah aneh.

Leluhur mereka tidak pernah kalah perang. Justru, setelah merdeka sebagaimana terlukis pada puisi Fikar W. Eda: Jakarta terhadap Aceh “seperti Belanda” melakukan pemerasan terhadap Hindia.
Jakarta, 24 Oktober 2020

SEPUCUK TANDA MATA
Aku berdiri di depan mereka, di depan
berpasang mata yang menggambarkan masa lalu
Jauh bertahun silam, mereka anak-anak
yang tak terlindung tabir malam
Alarm hanya untuk dua hal: hilang dari tatapan,
lenyap dari suara. Sekerat demi sekerat bulan
diterkam rahang ketakutan
Aku duduk dengan kegelisahan yang ditularkan
dari berpasang mata yang tidak menaruh dendam
selain rasa bersalah yang menikam-nikam
Ke mana selama ini aku berada? Dalam teror yang
mengisi masa kecil dan hal lazim saat seorang ayah
dijemput untuk tak kembali lagi pada hari yang
tak ingin mereka kenang lagi
Aku berbaring dengan kepungan seribu taring
Tatapan mata terus menagih perihal masa depan
“Damai seperti apa yang hendak kami raih? Keindahan
serupa apa yang sedang kalian rencanakan?”
Tak ada jiwa lebih bijak ketimbang tanah-tanah yang
menghampar dan kerinduan untuk ditanami seperti
hutan lain, dengan benih niat baik. Menunggu rimbun: mereka
anak-anak bangsa, mencintai negeri yang sama

Jakarta, Juli 2020

Kurnia Effendi lahir di Tegal, 20 Oktober 1960. Mengamalkan puisi dan cerpen melalui media massa sejak 1978, dilanjutkan dengan kegemaran mengikuti kompetisi fiksi yang memberikan sekitar 30 penghargaan dengan 8 di antaranya juara pertama. Telah menerbitkan 26 buku, dengan 7 kumpulan puisi, dan Mencari Raden Saleh adalah yang mutakhir (Diva Pres, 2019). Setelah pensiun dari pekerjaan formal 2015, bergiat dalam bidang seni budaya, terutama sastra. Email: kurnia_ef@yahoo.com.
[SY]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.