Mewaspadai OTG Sebagai Silent Killer (Covid-19 Nyata, Bukan Hoax)

oleh

Oleh : Darmawan Masri*

Covid-19 dinyatakan oleh WHO sebagai pandemi sejak 11 Maret 2020. Virus Corona jenis baru ini, awalnya terjadi di Wuhan, China, Desember 2019 lalu, hingga dinamai virus ini sebagai Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Sejak itu, penyebarannya kian massif ke seantero donya.

Di Indonesia sendiri virus ini terdeteksi pada 2 Maret 2020, dengan ditemukannya dua kasus pertama. Sejak itu, hingga Oktober 2020, jumlah kasus per 23 Oktober 2020, mencapai 382 ribu orang.

Jika melihat perkembangan kasus Covid-19 di Indonesia yang angkanya terus naik, menjadi perhatian semua kalangan. Beberapa waktu lalu, saat membuka brefing dan pembekalan Fellowship Jurnalisme Perubahan Perilaku (FJPP) bekerjasama dengan Dewan Pers yang diikuti ratusan wartawan pada sesi pertama, Rabu 14 Oktober 2020 via zoom meeting, Ketua Satgas Penanganan Covid-19, Letjen TNI Doni Monardo mengatakan ada 17 persen dari 270 juta jiwa penduduk Indonesia yang tidak percaya Covid-19.

“Artinya ada 44 juta jiwa rakyat Indonesia tidak percaya dirinya mungkin akan terinfeksi Covid-19,” kata Doni Monardo.

Katanya lagi, orang-orang yang tidak percaya terhadap Covid-19 ini bukan saja dikalangan orang berpendidikan rendah, akan tetapi orang yang berpendidikan rendah juga banyak yang tidak percaya.

“Mereka yang tidak peduli ini, bisa dikatakan sebagai silent killer, karena jika dia terinfeksi dan tanpa gejala, akan menimbulkan masalah menularkan kepada orang yang rentan seperti orang yang telah memiliki penyakit penyerta,” tegas Doni.

Orang Tanpa Gejala (OTG) memang menjadi hal tersulit untuk dihindari. Namun, pada hakikatnya OTG berpotensi besar menularkan Covid-19 kepada kelompok rentan, seperti orang usia lanjut dan bagi orang yang sudah memiliki penyakit bawaan.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kabupaten Aceh Tengah, dr. Yunasri, M.Kes mengatakan, OTG sangat sulit untuk dilakukan pelacakan. Secara nyata, para OTG terlihat sehat-sehat saja, namun mereka nyatanya telah terinfeksi.

“Jika merujuk kepada kasus konfirmasi di Aceh Tengah hingga hari ini, 90 persennya OTG. Hal ini, yang membuat sebagian orang tak percaya Covid-19. Karena apa, mereka menganggap Covid-19 harus ada gejala dulu,” tegas Yunasri.

Potensi menjadi silent killer dari kalangan OTG ini kata Yunasri sangat besar, terlebih masyarakat Gayo sudah akrab dengan hubungan kekerabatan yang dekat dan hidup dengan keluarga besar.

“Mereka (OTG) akan dengan cepat menginfeksi orang lain. Buktinya sudah ada, di Aceh Tengah sendiri ada penyebaran dari kelompok pesta dan pekerja proyek PLTA, kedua klaster ini menjadi penyumbang angka terbesar di Aceh Tengah,” terang Yunasri.

Melihat perkembangan OTG yang sulit terdeteksi, Satgas Penanganan Covid-19 Aceh Tengah kata Yunasri, terus melalukan tracing agresif untuk mendeteksi orang-orang yang pernah kontak erat dengan pasien yang sudah dinyatakan positif Covid-19.

Lebih dari itu, Yunasri mengharapkan agar kesadaran dari masyarakat Gayo, untuk menjalankan protokol kesehatan secara ketat menjadi solusi yang tepat dalam memutus mata rantai penyebaran Covid-19 di Aceh Tengah.

“Silahkan ada yang tidak percaya Covid-19 itu ada, namun yang penting diingat, di rumah kita di lingkungan kita, ada orang-orang yang kita sayangi. Mereka sudah punya penyakit bawaan dan ada yang usia lanjut, sistem imun tubuh mereka tak sama dengan kita yang masih kuat. Jadi, pikirkan itu, kalau kita sayang sama orang-orang dekat kita, harusnya kita berfikir positif, bukan ego yang diutamakan,” tegas Yunasri.

Pernyataan yang muncul, mengapa lansia dan orang yang punya penyakit bawaan lebih rentan terhadap Virus Corona?

Dikatakan Yunasri, seiring pertambahan usia, tubuh akan mengalami berbagai penurunan akibat proses penuaan, mulai dari menurunnya produksi pigmen warna rambut, produksi hormon, kekenyalan kulit, massa otot, kepadatan tulang, kekuatan gigi, hingga fungsi organ-organ tubuh.

Sistem imun sebagai pelindung tubuh pun tidak bekerja sekuat ketika masih muda. Inilah alasan mengapa orang lanjut usia (lansia) rentan terserang berbagai penyakit, termasuk Covid-19 yang disebabkan oleh virus Corona.

“Selain itu, tidak sedikit lansia yang memiliki penyakit kronis, seperti penyakit jantung, diabetes, asma atau kanker. Hal ini bisa meningkatkan risiko atau bahaya infeksi virus Corona. Komplikasi yang timbul akibat COVID-19 juga akan lebih parah bila penderitanya sudah memiliki penyakit-penyakit tersebut,” tegasnya.

Bukan hanya menyebabkan gangguan pada paru-paru, infeksi virus Corona juga bisa menurunkan fungsi organ-organ tubuh lainnya, sehingga kondisi penyakit kronis yang sudah dimiliki penderita akan semakin parah, bahkan sampai mengakibatkan kematian.

“Pada penderita kanker, misalnya. Penyakit kanker sendiri dapat melemahkan sistem imun sehingga penderitanya tidak mampu menangkal serangan virus Corona, ditambah lagi efek samping kemoterapi yang juga dapat menekan sistem imun. Dalam keadaan seperti ini, virus Corona akan lebih mudah berkembang dan menyebabkan gangguan pada berbagai organ tubuh.

“Pada penderita gagal jantung di mana jantungnya sudah mengalami kepayahan dalam memompa darah, gangguan paru-paru akibat infeksi virus Corona akan membuat jantung harus bekerja lebih keras untuk mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Hal ini tentu dapat memperburuk kondisi jantung,” ungkapnya.

“Jadi harus ada perubahan prilaku kita, jangan anggap OTG itu tidak berbahaya. Justru itu yang paling berbahaya. Kita semua harus sadar, bahwa virus ini benar-benar ada, faktanya seluruh dunia tatanan kehidupannya saat ini berubah, bahkan ada negara yang sudah jatuh ke resesi. Masihkah kita anggap Covid-19 hoax? Tanyakan kepada hati nurani kita,” tambah Yunasri.

Solusi

Melihat fenomena OTG sebagai silent killer bagi lansia dan orang-orang yang punya penyakit comorbid, Yunasri terus menghimbau agar prokes dijalankan dengan sebaik-baiknya.

Lebih dari itu, kata dia lagi, masyarakat Gayo yang akrab dengan dunia pertanian harusnya lebih punya tempat terhindar dari keramaian dan terhindar dari Covid-19.

“Yah menurut saya, saat pendemi sekarang, ke kebun menjadi tempat favorit menciptakan jaga jarak (physical distancing) yang jauh dari keramaian,” ungkapnya.

“Hampir semua masyarakat Gayo punya kebun. Tanam dengan apa yang dapat ditanam yang tumbuhnya cepat, agar kita semua bisa menciptakan ketahanan pangan,” ungkap dia.

Sementara itu, Jubir Satgas penanganan Covid-19 Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh, Khalisuddin, mengungkapkan hal yang sama dengan Yunasri.

Menurut Khalis, sejak pandemi Covid-19 ini merebak, Pemkab Bener Meriah sudah mencanangkan program ketahanan pangan. Menurutnya, situasi Covid-19 ini mengubah semua tatanan kehidupan tak terkecuali ekonomi.

“Masyarakat Gayo punya kebub kopi, namun harga kopi saat ini jauh dari harapan. Untuk itu, butuh solusi lain menghadapi kondisi ini dengan menciptakan ketanganan pangan sendiri. Tanah Gayo yang subur, dapat ditumbuhi berbagai tanaman pangan, lain itu kebun kopi kita juga terawat dengan baik, sambil menunggu pandemi ini usai,” terangnya.

“Di kebun, kita jauh dari keramaian. Ini bisa dijadikan tempat menghindar dari keramaian, sehingga penyebaran Covid-19 dapat ditekan dan diputus mata rantainya. Sebenarnya, ini juga kearifan lokal masyarakat Gayo, menghadapi pandemi,” demikian Khalis.

*Pemred LintasGAYO.co


Ikuti channel kami, jangan lupa subscribe :

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.