Tawar Sedenge ; AR Moese Ingin Kita Bangkit

oleh

Catatan: Muhammad Syukri*

Pernah mendengar lagu Tawar Sedenge? Tentu tidak begitu asing bagi mereka yang berdomisili di Dataran Tinggi Gayo. Hampir semua warga hafal syair lagu itu, mulai dari bait awal sampai bait akhir.

Tawar Sedenge, hymne fenomenal karya AR Moese. Sejak ditetapkan sebagai hymne daerah, lagu yang menggelorakan semangat optimisme ini dinyanyikan dalam setiap acara resmi.

Benarkah? Coba ikuti setiap acara resmi di Kabupaten Aceh Tengah.  Setelah peserta diminta berdiri untuk menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, lalu dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Tawar Sedenge.

Kenapa lagu Tawar Sedenge begitu penting? Selain alunan musiknya yang begitu syahdu dan menggetarkan jiwa, ada pesan penting yang ingin disampaikan si penulis lagu. Ajakan untuk bangkit, menjadi yang terdepan, dan tetap optimis.

Mari kita analisis bait per bait, untuk mengetahui apa sesungguhnya pesan yang ingin disampaikan oleh AR Moese.

Engon ko so tanoh Gayo [lihatlah Tanoh Gayo]
Si megah mureta dele [yang terkenal dan kaya raya]
Rum batang nuyem si ijo kupi bako e [dengan pinus yang hijau, kopi dan tembakau]

Itu bait pertama. Pada bait ini, AR Moese ingin memberitahu semua orang bahwa Dataran Tinggi Gayo itu terkenal karena memiliki tanah yang subur, dan kekayaan alam yang melimpah.  Dengan potensi tersebut, diyakini dapat menyejahterakan warga Dataran Tinggi Gayo.

Namun, untuk menuju ke titik sejahtera tersebut, si penulis lagu meminta warga Dataran Tinggi Gayo jangan lalai dan berpangku tangan.

Pengen ko tuk ni korek so [dengarkan kokok ayam itu]
Uwetmi ko Tanoh Gayo [bangunlah wahai warga Tanoh Gayo]
Seselen pumu ni baju netah dirimu [singsingkan lengan bajumu, bekerja memperbaiki nasibmu]

Dalam bait kedua itu, AR Moese meminta kita untuk bangun pagi ketika ayam berkokok. Jangan tidur, jangan lalai, jangan berpangku tangan, tetap optimis. Singsingkan lengan baju untuk mengolah kekayaan alam yang melimpah demi memperbaiki nasib.

Apa dampaknya apabila kekayaan alam itu dibiarkan tidak diolah? Menurut AR Moese, gambaran seperti ini yang akan dihadapi:

Nti daten bur kelieten [jangan biarkan gunung Bur Kelieten]
Mongot pude deru [menangis meraung-meraung]
Oya le rahmat ni Tuhen ken ko bewenmu [itulah rahmat Tuhan untuk kita semua]

Gunung Burni Kelieten akan menangis meraung-raung, begitu tulis AR Moese dalam bait ketiga ini. Kenapa Gunung Burni Kelieten menangis? Itu semacam kiasan untuk jerih payah muyang datu (nenek moyang), orang yang telah berjuang habis-habisan membuka lahan. Lahan itu merupakan rahmat Ilahi Rabbi. Kemudian lahan itu ditanami, dan diwariskan untuk anak cucunya. Lalu rahmat dari Ilahi Rabbi itu dibiarkan dan ditelantarkan? Tentu kita semua tidak ingin menjadi orang-orang yang kufur nikmat.

Oleh karena itu, AR Moese meminta semua warga Dataran Tinggi Gayo seperti ditulisnya dalam bait ini.

Uwetmi ko tanoh Gayo [bangkitlah warga Tanoh Gayo]
Sembayak bajungku [segenap harapanku]
Ken tawar roh munyang datu [untuk penawar jerih payah nenek moyang]
uwetmi masku [bangkitlah buah hatiku]

Dalam bait keempat ini, AR Moese meminta kita bangkit, harus tetap optimis, dalam mengolah kekayaan alam yang melimpah. Kenapa? Itulah cara untuk menghormati kerja keras dan perjuangan muyang datu dan para pendahulu kita.

Oleh karena itu, AR Moese mengharapkan peran para pemimpin agar memberi penerangan dan pencerahan kepada orang-orang yang dipimpinnya. Semacam Tut Wuri Handayani, dari belakang tetap membimbing dan memberi arahan kepada para pengikutnya.

Seperti apa harapan AR Moese? Begini bunyi bait kelima dari lagu Tawar Sedenge.

Wo matangku si mumimpim [yang memimpin]
Emah ko uyem ken soloh [bawalah obor untuk menerangi]
Kati kiding nti museltu [supaya tidak tersandung]
ilahni dene [dalam perjalanan]

Kenapa harus demikian? AR Moese ingin kita semua kerja dan kerja, belajar dan belajar, latihan dan latihan. Selesai urusan yang satu lanjutkan urusan yang lain dengan sungguh-sungguh. Hal itu  dipertegas dengan kalimat “remalan enti berteduh (bergerak jangan berhenti).”

AR Moese tidak ingin kita berada di nomor terakhir (Nti mera kao tang duru bon jema dele), harus nomor satu. Makanya dia mengharapkan agar “remalan enti berteduh.”

Wo kiding kao ken cermin [kakimu sebagai cermin]
Remalan enti berteduh [bergerak jangan berhenti]
Nti mera kao tang duru [jangan mau ditempatkan paling belakang]
Bon jema dele [ditempatkan oleh orang banyak]

Kemudian, AR Moese juga mengingatkan, pusaka sebagai warisan muyang datu, jangan dijual atau dipindahtangankan kepada orang lain. Pusaka atau warisan itu diperjuangkan mereka khusus untuk anak cucu. Supaya anak cucunya hidup sejahtera. Coba cermati bait dibawah ini.

Nti osan ku pumun jema [jangan serahkan ke tangan orang lain]
Pesaka si ara [pusaka yang ada]
Tenaring ni munyang datu ken ko bewen mu [warisan nenek moyang untuk kita semua]
Uwet mi ko tanoh Gayo [bangkitlah Tanoh Gayo]
Ko opoh bajungku [kaulah harapanku]
Ken tawar’n roh munyang datu [sebagai penawar arwah muyang datu]
uwetmi masku [bangkitlah sayangku]

Oleh karena itu, AR Moese meminta kita sebagai tumpuan harapan negeri ini untuk bangkit. Bangkit sebagai penawar, supaya arwah muyang datu tidak penasaran. Bangkit, mengolah semua peninggalan muyang datu. Mengolah semua kekayaan alam Dataran Tinggi Gayo. Harus optimis bahwa kita mampu melakukannya, mampu menjadi yang terdepan. “Uwetmi masku,” tutup AR Moese. []


Ikuti Channel kami di Pemred LintasGAYO, jangan lupa like and subscribe :

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.