Oleh : Beti Nanda Sari*
Liburan semester hal yang paling dinantikan oleh hampir seluruh mahasiswa. Tapi tidak untukku. Aku lebih baik disibukkan dengan tumpukan tugas dan ujian- ujian dibandingkan harus pulang ke kampung halaman.
Dengan membayangkan saja aku sudah tidak berniat untuk pulang. Pasti tidak ada waktu untukku bermain gadget atau sekedar “sosmed”-an. Sungguh aku tidak akan sanggup berpisah dengan gadget milikku.
Kenalkan namaku nanda, tapi biasanya orang-orang di daerahku memanggilku dengan sebutan “ipak nda” (anak perempuan bernama nanda). Aku seorang mahasiswa di sebuah universitas ternama di Aceh.
Kebetulan aku lahir dan besar di sebuah daerah yang dijuluki dengan sebutan Negeri Seribu Bukit atau lebih dikenal dengan nama Gayo Lues. Daerah yang memang dikelilingi oleh ribuan bukit di dataran tinggi Provinsi Aceh ini.
Sehari menjelang liburan, aku sudah mulai memutar otak untuk mencari-cari alasan agar tidak pulang kampung. Namun, seketika semua buyar ketika handphoneku berbunyi dan di layar tertulis “ine”. Ragu-ragu kumenganggkatnya.
“Assalamualaikum nak,” dengan suara lembutnya.
“Waalaikumsalam ine,” dengan nafas yang serasa tertahan di dada.
Pembicaraan yang diawali dengan menanyakan kabar dan aktifitas hari ini, tawa dan lega tak terelakkan lagi setelah mendengar kabar baik satu sama lain. Belum lama lega itu usai, ine kembali bertanya dengan pertayaan yang kutakuti selama ini.
“Kakak besok jadi pulang?” tanya ine.
Ternyata selama ini, ine selalu menghitung jadwal perkuliahan ku, dan beliau tau kapan waktunya liburan semester, maklum saja aku hampir setahun tak pulang ke rumah, wajar ine sangat menunggu kepulangan ku. Alasan yang sedari tadi kucari tak kutemukan, dengan sangat amat terpaksa aku menjawab
“Iya ine, ipak nda besok pulang.”
Pembicaraan itu pun diakhiri dengan nafas lega ine mendengar jawabanku. Setelah itu, aku pun segera beranjak untuk menyiapkan barang-barang kepulanganku.
Hari pertama liburan di rumah, setelah mandi dan berpakaian rapi agenda pertamaku adalah membuka jendela kamar. Disini udaranya masih segar, masih banyak orang-orang yang peduli dengan lingkungan.
Dari depan jendelaku langsung bertatap dengan bukit yang menjulang tinggi serta pepohonan hijau yang berdiri rapi. Dari luar kamar terdengar ine memanggil, ya sedari pulang semalam aku belum ada makan sedikit pun.
Seperti biasanya, rutinitas pagi ini dimulai dengan makan bersama atau biasanya disebut dengan “mangan morom”. Ya, adat yang sudah sedari dulu dilakukan, menurut nenek moyang kami makan bersama akan membawa kerukunan di keluarga, karena bisa bersama sama menyantap hasil kerja keras keluarga.
Makan pagi yang penuh dengan kehangatan. Setelah selesai makan, ibu mengajakku membantu tetangga yang sedang ingin mengadakan pesta pernikahan. Hal kedua yang paling tak kusuka jika pulang ke rumah.
Bayangkan saja aku akan bertemu dengan kumpulan ibu-ibu yang pastinya akan membanggakan banggakan anak nya masing-masing, maklumlah ibu- ibu jikalau sudah bertemu pasti menggosip.
Setelah berganti pakaian, aku dan ibu pun segera berangkat. Dikarenakan rumah yang tidak terlalu jauh kami memilih untuk berjalan kaki saja. Sepanjang perjalanan aku dan ine bercengkrama membahas perkuliahan ku, rasanya waktu begitu cepat berlalu sampai tak terasa ine sudah semakin menua.
Pembicaraan yang belum selesai tiba-tiba terdengar suara panggilan “inen nda “, teriak seorang ibu yang tepat berada di belakang kami. Saat kami menoleh, ternyata itu adalah ibunya ayu. Kami pun berjalan bersama menuju lokasi pesta.
Setibanya di lokasi pesta, kulihat sudah banyak ibu-ibu yang datang. Sebagian dari mereka sudah bekerja mengupas bawang merah, ada yang sedang memotong sayuran, memotong ikan bahan-bahan yang akan dimasak nantinya.
Cara seperti ini biasanya disebut “Tradisi Rewangan” (membantu Tetangga yang sedang ada acara). Aku merengek meminta ine untuk duduk dipojokan, agar tidak terlalu berisik. Maklumlah ibu-ibu disini selain lihai bekerja tapi juga lihai dalam bercerita (gosip).
Baru sejenak aku dan ine duduk, tiba–tiba ada yang menghampiri. “Inen nda kapan nih dirumah punya acara?” tanya salah seorang wanita.
Ine hanya menjawab dengan senyuman. Pertayaan yang aku sangat hindari, aku menggangap diriku masih anak-anak dan belum kepikiran menuju arah berumah tangga. Dalam hati aku menggerutu “kenapa sih selalu saja pertayaan diawali dengan kapan?
Seakan-akan kita tau kapan pastinya semuanya terlaksana. Meskipun sekedar gurauan, sungguh ini membuatku kesal”. Aku dan ine dapat bagian menggoreng kerupuk, sambil sesekali melihat sekeliling.
Rasanya tubuhku begitu panas, panas yang datangnya dari kayu bakar yang tepat berada didepanku ditambah lagi dengan panas telingaku mendengar ibu-ibu yang sibuk membanding- bandingkan anaknya masing –masing.
Maklum lah disini jika seorang anak yang sudah berseragam (PNS) sudah dikatakan sukses, padahal kalau dipikir-pikir lagi kesuksesan seseorang itu dinilai dari seberapa baiknya dia membahagiakan keluarganya. Entahlah pemikiran itu sudah melekat sedari dulu.
Tak berapa lama, suara canang pun terdengar. Ya, suara alat musik tradisional khas daerah kami yang sudah pasti dibunyikan pada saat acara pernikahan.
“Tang tung tang tung,” begitulah suara dari canang. Tubuhku serasa ikut berayun juga mendengar suara alunan canang.
“Masih ngak mau pulang?” tanya seseorang yang tiba-tiba sudah berada di sampingku.
Iya dia adalah Hendra, sahabat sedari kecilku. Aku hanya tersenyum sambil sesekali mengingat
“Kenapa dia bisa tau kalau aku ngak mau pulang”
“Eh ngelamun aja dibilangin”, teriak Hendra padaku
“Coba deh kamu bayangin Hendra, kalau aku balik ke rumah nih pasti aku jarang main handphone karena bantu ine sama ayah dikebun kopi atau kalau gak ya ngebantu ine di rewangan seperti sekarang”, jelasku.
Tiba-tiba “Pluk “, dahiku serasa panas setelah dipukul oleh Hendra.
“Kamu ya fikirannya sosial media mulu, sekali kali tinggalin dong sosial media buat keluarga. Ini nih aku kasih tau sama kamu, kamu ditempat rantau pasti 24 jam gak lepas dari handphone. Ya aku tau, handphone menyatukan kita yang jauh dan tentunya banyak informasi yang kita dapat saat teknologi semakin maju ini. Tapi apa salahnya coba, kita melepas genggaman handphone beberapa jam untuk membantu ine dan ayah atau sekedar bercengkrama dengan tetangga seperti sekarang. Hal ini ngak akan menghilangkan semua isi handphonemu kan?, Ledek Hendra.
Seketika aku kesal dengan ledekan Hendra tapi aku juga berfikir sepertinya benar adanya apa yang dibilang Hendra.
“Tapi Hendra, selain itu aku juga kurang suka sama pemikiran orang- orang disini khusunya ibu-ibu. Coba deh kamu lihat dan dengar pembicaraan mereka tak jauh-jauh dari membanggakan anaknya!” teriak ku.
“Ssssstttttttt!, kamu gak usah pakai teriak dong ngomongnya”, jawab Hendra. Tanpa kusadari ibu-ibu disamping melihatku dengan tatapan heran.
“Nda, hal ini kamu permasalahkan. Kamu udah kuliahkan? Udah punya banyak ilmu kan?” tanya Hendra padaku.
Aku mengerutkan dahi sebagai tanda bingung atas pertayaan Hendra.
“Dengerin aku ya, wajar kalau pemikiran orang tua seperti itu. Bayangin orang tua memang berilmu tapi ilmu yang mereka punya ilmu hidup. Selebihnya pemikiran mereka mencari rezeki. Dan bahagia mereka adalah ketika kerja kerasnya berbuah hasil melihat anaknya memakai seragam. Kalau mereka menilai sukses dari seragam, ya kita sebagai anak muda yang berilmu harus memberi pemikiran terbuka dengan sukses kita nanti”, jelas Hendra.
Mataku berbinar mendengar penjelasan dari Hendra, sahabat kecilku ini ternyata sudah dewasa.
“Kok kamu jadi sok bijak ya Hendra?”, ledekku. Kamipun sama-sama saling tertawa hingga tanpa sadar mata Hendra menatapku lembut hingga suara canang yang membuyarkan tatapan itu.
“Tang tung tang tung” pukulan canang semakin keras menandakan acara perkawinan akan segera dimulai.
Ada beberapa model perkawinan di daerahku Gayo Lues ini seperti: “Angkap”, “kuso-kini”, dan “juelen”. Tapi di era modern ini biasanya kami menggunakan model “kuso-kini” ang artinya pihak mempelai baik itu laki-laki atau pun perempuannya bebas menentukan dimana mereka akan tinggal.
Aku, ine dan Hendra bergegas masuk ke dalam rumah calon mempelai wanita untuk menyaksikan acara “Berguru (upacara penyampaian nasehat untuk calon pengantin)“. Aku dan Hendra duduk bersebelahan sambil sesekali melihat sekitar, sosok calon pengantin perempuan pun keluar begitu anggunnya dengan dibalut kerawang (Jubah adat).
Penyampaian nasehat pun dimulai, nasehat yang berisikan tauhid dan akhlaqul karimah”. Keramaian di luar yang tadinya bergemuruh seketika berubah menjadi hening dan damai, sebegitu hebatnya adat mengubah sikap, semua satu sama lain saling menghormati. Belum selesai kagumku dengan apa yang kulihat, terdengar suara bisikan
“Kamu juga pasti sangat cantik memakai jubah itu, nanti”. Aku melirik dari arah bisikan tersebut, mataku tertuju pada sosok laki–laki yang sedari tadi berada tepat disebelahku, iya dia adalah Hendra. Aku menatapnya heran sambil memahami kata yang ia bisikan tadi.
“Nanti?”, tanyaku. Ia hanya tersenyum manis padaku.
Entahlah, aku dan Hendra memang sudah kenal sedari kecil,maklumlah orang tuaku dan orang tuanya berteman dekat. Dari dulu hingga sekarang, kami saling bercerita tentang sosok yang pernah kami sukai tapi sampai saat ini juga kami belum pernah menjalin hubungan dengan orang lain.
Kami pun tak tau apa penyebabnya, kami nyaman sebagai sahabat, dan kami juga tidak tau dengan apa yang kami rasakan masing-masing.
“Kagum?”, ya tak terelakkan memang aku kagum pada sosok Hendra, tapi sampai saat ini kami belum pernah terbuka akan perasaan masing-masing. Mungkin ke depannya kami akan tau jawabannya. Perasaan yang masih misteri hingga detik ini.
Baru sehari aku disini, tetapi perasaanku sudah berubah. Aku yang awalnya tak ingin sama sekali untuk pulang kerumah tiba–tiba saja menjadi nyaman dirumah. Bagaimana tidak aku bisa bertemu ayah dan ine, selain itu aku juga bisa mengenal lebih tradisi daerahku yang sudah lama sekali tak pernah kuikuti lagi.
Aku baru sadar, ternyata adat bisa mengubah sikap. Meskipun zaman semakin modern, tapi sikap yang memang benar-benar dididik oleh adat akan luluh dan bisa menjadi panutan.
Pembelajaran yang mungkin jarang kutemui jika aku selalu bertemankan media sosial.
Suara canang pun membuyarkan segala khayalanku, canang pengingat hati. Seketika aku pun bersyukur untuk hidupku saat ini. [SY].
*Beti Nanda Sari, biasa dipanggil Beti. Berasal dari Aceh lahir di Cemparam Jaya 11 November 1995. Anak pertama dari Bapak Bejo dan Ibu Suryani. Alumni S1 Universitas Syiah kuala, jurusan Mipa Fisika. Bagi Beti menulis itu seperti mencurahkan asa, jadi setiap tinta yang ada harus benar-benar melambangkan sebuah rasa.
Ikuti channel kami, jangan lupa like and subscribe :