Oleh : Fauzan Azima*
Sejak diluncurkan stiker, semacam ada kepanikan pada sebagian kecil kalangan. Saya tidak tahu masalahnya di mana? Tetapi protesnya bias yang membuat saya justru bertanya-tanya. Apakah masalah pribadi dengan mencoba memobilisasi orang lain yang seolah ini masalah rakyat banyak?
Saya melihat orang memakai stiker nyaman-nyaman saja. Tidak mengeluh! Bahkan beberapa mobil yang menurut saya mewah juga pakai stiker. Artinya bagi mereka tidak masalah, “Apalah arti sebuah stiker?” Kecuali kemunafikan kita selama ini yang selalu ingin disubsidi dengan mencoba menyalahkan pihak lain.
Saya pribadi jelas menolak stiker karena malu rasanya disubsidi terus, lalu mengumumkan diri melalui stiker. Konsekwensinya saya terpaksa membeli minyak non subsidi yang harganya dua kali lipat. Padahal saya memakai mobil produksi tahun 2005. Sebenarnya sudah tidak termasuk barang mewah, tetapi demi kesehatan tetap juga saya pakai. Setidaknya tidak kena angin dan hujan.
Banyak pelajaran yang saya dapat dari “ilmu pengetahuan stiker”. Pertama, saya harus belajar mengukur setiap langkah, berapa minyak mobil yang dihabiskan sampai ke tujuan. Saya berusaha berhemat. Kalau perlu saya menumpang mobil kawan yang kebetulan sejurus dengan perjalanan saya. Barangkali dengan kondisi ini kita dipaksa juga untuk saling berkomunikasi dan silaturahmi.
Kedua, setelah mengukur dan menimbang-nimbang untung ruginya, saya juga akan membatasi setiap langkah yang tidak perlu. Apalagi kalau hanya sekedar menggosip dan maksiat lainnya. Agar langkah saya punya arti ibadah dan menguntungkan, maka harus membuka kembali kitab kuno “ilmu ketike” yakni pelajaran tentang langkah baik dan langkah buruk.
Ketiga, sebagai konsumen yang baik, perlu juga bertanya kepada pihak manajemen dan pekerja SPBU, apakah ukurannya minyak yang kita beli sudah benar-benar pas? Kalau sudah pas, tentu kita pun ikhlas membayarnya. Rumor yang beredar, SPBU banyak mencampur dan mengurangi takarannya, namun semua harus dibuktikan, jangan asal tuduh sembarangan.
Ke-empat, kita mengambil hikmahnya lainnya dari peristiwa “stiker” bahwa saya harus bekerja lebih keras lagi supaya tidak menjadi beban subsidi negara. Kalau kita ikhlas dan tidak mengeluh dalam bekerja, mudah-mudahan apa yang kita dapat berkah. Lupakah kita bahwa pada sebuah jargon, “Bukan negara yang bisa memberikan kita apa? Tetapi apa yang bisa kita berikan kepada negara.”
Ke-lima, Pemerintah Aceh hanya meneruskan “intruksi” Pemerintah Pusat. Kalau itu salah, maka gugatlah mereka. Kalau hanya jago kandang dan beraninya hanya dengan orang sendiri, saya tidak ikut-ikutan.
Ke-enam, saya melihat yang protes orangnya itu-itu saja. Kurang asyik kalau lihat wajahnya yang sudah familiar itu. Semua kebijakan; baikpun diprotes, tidak baik memang patut diprotes. Sayangnya protes itu, semuanya atas dasar kebencian karena bukan dari kalangannya sendiri lahir kebijakan itu.
Ketujuh, saya pribadi dan saya berharap saudara-saudara juga, hemat BBM sejak dini. Sebelum kita menemukan BBM alternatif yang mungkin lebih murah dan bebas polusi. Kita tahu BBM subsidi itu memang murah, tapi unsur “timbalnya” bahan beracun berbahaya lebih banyak dan cenderung merusak lingkungan.
Tulisan Ini hanya pendapat pribadi dan jangan diambil hati. Kalau ada para pihak yang merasa tersinggung, saya mohon maaf, namanya juga manusia. Saling mengingatkan itu penting; asal tidak marah-marah, apalagi benci roman. Hidup ini belum tentu, sekarang kita rival, bisa jadi ke depan kita satu tim. Kalau sudah saling benci, tentu saja kita akan malu sendiri nantinya.
(Mendale, Rabu, 2 September 2020)
Ikuti Channel Kami dengan men-like and subscribe :