“Bedaring” Bikin Pusing, Perlu Alternatif Lain

oleh

Oleh : Johansyah*

Pandemi covid-19 kurang lebih sudah berjalan satu semester. Belum ada tanda-tanda penyakit menular ini musnah. Sebaliknya dari hari ke hari orang yang terkena virus ini kian banyak di Aceh. Sebagaimana yang kita rasakan, virus ini berdampak buruk terhadap semua aspek kehidupan, salah satunya pendidikan.

Selama pandemi, pemerintah pusat maupun daerah menerapkan kebijakan belajar daring (bedaring). Anak-anak kita belajar dari rumah. Sementara guru memberikan arahan maupun tugas dari materi yang diberikan melalui berbagai program softare di gawai seperti whatsapp, video, dan lain-lain.

Hanya saja setelah mengamati proses belajar daring selama beberapa bulan ke belakang, bagi sebagian besar orangtua bahwa sistem belajar ini tidak efektif. Banyak persoalan yang muncul dari sistem pembelajaran ini; pertama, sulitnya mengendalikan sistem belajar daring dengan fasilitas gawai.

Umumnya anak-anak kita hanya menggunakan waktu belajar sekitar satu jam. Setelah itu mereka mulai dengan aktivitas lain; bermain game, facebook, whatsapp, instagram, dan lain-lain.

Kedua, bedaring berdampak buruk bagi kesehatan anak. Hal ini disebabkan karena menggunakan gawai berjam-jam dalam sehari dapat berakibat buruk bagi kesehatan anak. Salah satu dampak buruknya adalah dapat merusak kesehatan mata.

Umumnya kecenderungan orangtua bukan mengawasi anak-anak mereka ketika mengerjakan tugas bedaring, tapi membiarkan mereka mengerjakan sendiri. Bukan tanpa sebab, soalnya banyak bidang studi dan materi yang berbeda tidak dipahami oleh orangtua. Solusinya, anak dianjurkan agar browsing di google.

Ketiga, kesulitan bedaring yang paling dirasakan oleh orangtua adalah bagi anak-anak usia jenjang pendidikan dasar karena harus didampingi selama proses belajar. Saya melihat bedaring itu efektif minimal untuk usia pendidikan menengah atas karena mereka sudah bisa mandiri menggunakan gawai, tidak membutuhkan pendampingan yang ketat.

Berdasarkan pengalaman saya sendiri, akhirnya bukan anak kita yang belajar, tapi orangtua yang mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru.

Keempat, bedaring secara terus menerus banyak sedikitnya membatasi ruang sosial dan komunikasi anak. Kecenderungan pengguna gawai adalah minim berinteraksi dengan orang-orang sekitarnya, termasuk anggota keluarga sendiri.

Minsalnya ketika tamu datang ke rumah, terkadang mereka asyik dengan gawainya sehingga lupa menyapa orang-orang yang datang ke rumah, bahkan ketika disapa seperti tidak peduli. Sebenarnya bukan sifat dasarnya yang tidak ramah, hanya saja terlena dengan gawai.

Perlu merumus ulang kebijakan
Dengan berkaca pada berbagai persoalan di atas, kiranya pemerintah perlu merumus ulang kebijakan bedaring ini. Bagi saya alasan bedaring karena covid-19 itu sudah sangat dhaif. Kenapa di pasar boleh ramai? Kenapa juga pesta pernikahan begitu ramai dan sesak, bahkan melibatkan anak-anak kita di sana? Lalu kenapa juga kita takut membuka sekolah dengan alasan menghindari keramaian agar tidak tertular covid?

Kebijakan yang kita maksud, pertama terkait dengan ketegasan pemerintah soal menghindari keramaian. Kalau memang sekolah ditutup karena alasan tersebut, maka tempat-tempat lain juga harus ditertibkan tanpa alasan apa pun. Intinya di manapun pusat keramaian, harus diperlakukan sama. Tidak boleh dibeda-bedakan antara satu tempat dengan tempat lainnya.

Kedua adalah terkait bentuk kebijakan yang ril di masa pandemi. Arahnya sudah jelas, yakni hanya dua; masih menutup sekolah atau sekolah diaktifkan kembali. Pilihan pertama sudah dijalankan, tapi banyak persoalan yang dihadapi. Atau boleh dengan pilihan pertama, tapi harus dibuat alternatif lain. Minsalnya dengan mengembangkan pendidikan partispatoris masyarakat. Dalam hal ini, pemerintahan gampong/kampung diharapkan berperan aktif dalam menyelenggarakan pendidikan.

Salah satu caranya adalah dengan mendirikan P3 (Pusat Pelayanan Pendidikan) di setiap kampung. Adapun mereka yang berperan aktif di dalamnya adalah masyarakat yang berprofesi sebagai guru, baik pendidikan dasar, dan menengah. Selain itu, pemuda dan mahasiswa di kampung tersebut dapat menjadi relawan pendidikan.

Tugas mereka adalah menyediakan layanan pendidikan. Ketika anak-anak kita menerima tugas dari guru masing-masing dan seandainya ada materi yang sulit dipahami, maka P3 dapat membantu mereka dalam mengatasi kesulita materi tersebut dengan memberikan penjelasan atau uraian tentang materi tersebut sehingga mereka mampu memahaminya.

Selain itu, P3 juga dapat membuat program inovatif berupa pembelajaran yang berbasis pada pengembangan bakan dan minat anak di kampung tersebut. Program inovatif ini nanti dapat mengurangi rasa jenuh anak-anak dalam menghadapi sistem bedaring. Selain itu, program-program inovatif di kampung dapat menghindarkan para remaja dari perilaku yang sia-sia tanpa tujuan yang jelas.

Jika pilihannya membuka sekolah, saya kira tinggal mengatur teknis tatap muka saja. Lagi-lagi karena alasan menghindari keramaian, boleh jadi tidak usah rutin ke sekolah, seminggu sekali saja sudah cukup. Minsalnya untuk jenjang pendidikan sekolah dasar, hari senin kelas satu, selasa kelas dua, rabu kelas tiga, dan seterusnya.

Bagaimana pun, interaksi langsung dalam proses pembelajaran sangat berbeda dengan sistem bedaring. Lagi pula kita harus menyadari bahwa kalau hanya untuk menambah pengetahuan kognetif, mungkin anak-anak kita bisa mendapatkannya dari google. Tapi kalau keteladanan, itu jelas harus dari para guru di sekolah maupun orangtua mereka di rumah.

Hal inilah sebenarnya yang menjadi pekerjaan rumah yang paling besar bagi kita. Anak-anak kita jauh lebih membutuhkan keteladanan dari sekedar menguasai materi pelajaran. Keteladanan itulah yang menjadi modal dalam menata hati dan orak mereka.

Kumpulan pengetahuan untuk pengayaan otak justru tidak mampu mengarahkan perilaku anak bagaimana seharusnya berinteraksi, berkomunikasi yang baik, bertutur kata semestinya, serta berbagai norma lainnya yang memang harus ditanamkan melalui keteladanan.

Akhirnya kita hanya berharap kepada pemerintah agar merumus ulang kebijakan pendidikan di masa pandemi. Barang kali juga inilah yang menjadi pekerjaan rumah di hari pendidikan daerah (Hardikda) Aceh pada tahun 2020. Seandainya sekolah belum dibuka, diharapkan ada alternatif lain selain belajar daring.

Tapi membuka sekolah juga sangat memungkinkan sebab mengadakan pesta kita berani ramai, pasar bebas seperti biasa, lalu kenapa sekolah harus ditakuti sebagai pusat penularan virus? Bedaring seperti halnya dalam bahasa Gayo ‘bedaring’ (berjemur), kalau terlalu lama tidak baik untuk kesehatan. Wallahu a’lam bishawab!

*Pegawai Dinas Syari’at Islam dan Pendidikan Dayah Kabupaten Aceh Tengah

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.