Oleh : Fauzan Azima*
Urusan dalam negeri Gayo memang kompleks. Terutama isu krisis pemimpin. Mencari siapa sosok yang pas menjadi bupati Bener Meriah dan Aceh Tengah pada tahun 2022-2027 ternyata sulitnya seperti menangkap asap.
Memang banyak kalangan politisi mengelak dengan dalih “Belanda masih jauh” tetapi faktanya sampai hari ini belum muncul tokoh yang sederajat dengan Abuya Syarkawi di Bener Meriah dan Shabela AB di Aceh Tengah.
Krisis tokoh pemimpin hari ini adalah buah dari para tokoh sebelumnya yang tidak melakukan kaderisasi; baik dalam kalangan politisi, birokrasi maupun entrepreneur. Tokoh yang muncul hari ini hampir tidak ada “garis komando” dari tokoh sebelumnya.
“Budaya membesarkan kawan” telah hilang dari bumi Malem Dewa sejak tahun 1961 atau pasca berkecamuknya perang DI/TII. Di kalangan “Pejuang Darul Islam” itu sendiri banyak faksi, apalagi jika dilaga dengan kalangan nasionalis dan komunis. Selanjutnya, satu orang yang berusaha naik, banyak pihak yang mencoba menariknya untuk jatuh.
Padahal pertengahan tahun 1940-an, Muhammad Hasan Gayo dan Tengku Ilyas Leube memobilisasi para pemuda Gayo merantau ke Jakarta dan Surabaya. Puluhan pemuda itu sukses saling mendukung untuk maju bersama dalam mencapai cita-citanya. Dari generasi itu banyak lahir tokoh; dari politisi sampai seniman.
Seniman dan pelukis Chairul Bahri menuturkan, “Kami dulu kompak! Meskipun kami berbeda dalam pandangan ideologi; Islam, nasionalis dan komunis sekalipun tidak menjadi hal memutus tali silaturahmi.”
Chairul Bahri adalah orang yang pertama menerjemahkan buku “Pinokio” dari bahasa Itali ke bahasa Indonesia. Beliau juga pencipta lambang Panca Cita, Lambang Pemerintahan Aceh sekarang.
Fakta yang tidak populer, yakni krisis pemimpin dan tokoh sekarang ini akan muncul lewat uji publik melalui diskusi-diskusi yang intens, terutama pada Coffee shop sangat membantu mengatasi dari suramnya Gayo dipimpin oleh orang yang biasa-biasa saja.
“Des kusi” atau diskusi bisa diterjemahkan sebagai interaksi di dalam sebuah kelompok untuk mendapatkan pemahaman yang baik dan benar serta relatif sama tentang satu topik yang selanjutnya akan dibawa ke mana dari hasil rekomendasi yang fokus pada tema yang diperbincangkan.
Nah, kalau sudah “des” atau sama cara berfikir dan bersikap, maka selanjutnya “kusi” atau kemanapun dibawa dia akan sukses. Tegasnya, semakin intensif Gayo ber-“des kusi” semakin cepat teratasi krisis pemimpin dan tokoh di negeri orang-orang yang berwajah diaspora.
(Mendale, Selasa, 25 Agustus 2020)