Oleh : Hammaddin Aman Fatih*
Undang-undang tos I pusat, buge rakyat sejahtera, ku jep kampong alamat, manfaat I dana desa, pemerintah nos amanat, gelah tepa i tos data, dana kampong kin rakyat, enti empu ni tempat nik avanza, ……………..nomor 6 2014 undang-undang jelas dana desa, musrembang wa alas gelah jelas orum warga, pengawas sen turah keras tunung tapas ari BPK, ike sopir tukang lebas cabut berkas SNTK,…………….
Dana desa nge sedie conto ide bijaksana, ike ilet nos dewe sabi dirite perkara, e penyakit nge muke jantung dede nge gelana, gaeh jamu ine tue nalem te we KPK,……………… noros desa politik turah i ulik kaur desa, tengah cocok dor kedik ike nge muteldik bewene kona, nator dana desa gere cerdik mera mubalik kursi roda, nengon berita kite macik, nge dele gecik ku lembaga, …………………, keadilen nge musomo, sara ine ber SK, kaur umum si suru bere, adek nomor due kaur kesra, asal pun ucak kin petue, cik sikelime ketue pemuda. pak doson anak ni owe, te plin sudere kin TPK………., dana kampong nge selisih, pentaline dana desa, ike gere jeroh kelola e, merubah gerale ku dana dosa, reje kampong saket ate, sijerohe gere muberita, bier jeroh penetahne, tapi koteke wo si seder jema. (Lagu Gumara “Dana Desa”)
Lirikan lagu diatas seakan-akan telah menggambarkan situasi penggunaan dana desa, yang idealnya untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, kualitas hidup manusia, serta penanggulangan kemiskinan, yang dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah berubah menjadi salah satu pemicu konflik yang muncul dikalangan warga desa.
Munculnya raja-raja kecil di desa hanya berprinsip “selagi masih mumpung ada kesempatan, sekalian masih menjabatan, selagi masih bisa menentukan. Kapan lagi kenapa tidak”. Dan kental berbau nepotisme yang akhirnya dana desa menjelma menjadi sebuah dana dosa bagi aparatur pengelola dana desa. Moga ini hanya ilusi penulis. Amin….
Pengesahan UU Desa adalah titik balik sejarah bagi desa di Indonesia. Desa yang selama ini hidup hanya sebagai obyek dan dianggap hanya cukup menjalankan instruksi saja, berubah total. Visi Presiden Joko Widodo yang menetapkan program membangun Indonesia dari pinggiran dalam Nawacita-nya adalah salah satu yang membuat desa mendapatkan nasib baik. Perubahan mulai menyinari sudut-sudut wilayah Indonesia.
Pengesahan UU Desa, Nawacita dan kemudian dana desa memang amunisi baru yang membuat desa memiliki kekuatan besar membangun diri. Tetapi di sisi lain ini adalah tantangan yang benar-benar berbeda dari sejarah desa sebelumnya.
Dana desa adalah sejumlah anggaran dana yang diberikan kepada desa dari pemerintah. Dana tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang merupakan sumber dari Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Jumlah yang diterima paling sedikit adalah 10% dari APBN.
Tujuan dana desa yang disalurkan kepada masyarakat desa, seyogyanya untuk membantu mengatasi permasalahan ekonomi di desa, seperti, antara lain ; kemiskinan bisa dikurangi, angka pengangguran bisa diturunkan, laju urbanisasi bisa dihambat dan ketimpangan bisa dipersempit, membantu pemberdayaan ekonomi masyarakat desa, membantu pemerataan pembangunan dan hasilnya, membangun infrastruktur dan menciptakan peluang serta lapangan kerja baru.
Selain menggunakan untuk pembangunan desa, tetapi juga untuk membangun sumber daya manusia (SDM) di desa seperti melaksanakan pembinaan, bimbingan serta pendampingan, dan pemantauan yang lebih tertata dan saling berhubungan, memperkuat koordinasi, konsolidasi, dan sinergi terhadap pelaksanaan program yang menjadi prioritas pembangunan desa dari tingkat pemerintah pusat, daerah, kecamatan, hingga desa itu sendiri, membangun infrastruktur dan layanan fasilitas publik serta memberdayakan dan mengembangkan perekonomian yang ada di desa tersebut.
Meningkatnya laporan miring masyarakat terkait dana desa yang kita lihat dilapangan umumnya disebabkan ; dugaan tidak transparans, mark-up, fiktif, proyek tidak sesuai kebutuhan, tidak sesuai aturan dalam pengelolaan dana desa oleh oknum Gecik, pelaksana proyek hanya kalangan atau yang pro Gecik, Imbasnya muncul potensi krisis kepercayaan kepada Gecik dan aparaturnya.
Saat ini harus kita akui program desa hanya fokus ke fisik, itupun hanya itu-itu dari tahun ke tahun tanpa ada perkembangan atau perubahan. Seperti ; proyek jalan rapat beton, pembuatan gapura dan lain sebagainya yang sifat habis dalam satu tahun anggaran. Khusus sifatnya pengembangan sumber daya manusia (skill) hanya masuk sekian kecil persennya, malah ada yang tidak tersentuh.
Itupun kegiatan hanya sekedar serimonial belaka, tanda tangan ambil gambar kegiatan sebagai bahan laporan. Akhir ceritanya, dana desa telah bertahun-tahun disalurkan, perkembangan desa tetap seperti itu dari dulunya sebelum tersentuh dana desa.
Mungkin hal ini disebabkan oleh sumber daya manusianya yang masih atau perlu ditingkatkan. Gecik dipilih hanya berdasarkan ketenaran tanpa ada skill tertentu yang dia miliki. Dan kondisi itu diperparah lagi sumberdaya aparaturnya diangkat atau ditentukan berdasarkan kedekatan tanpa melihat layak atau tidaknya dia menduduki jabatan itu berdasarkan pendidikan dan pengalamannya.
Telaah Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI terhadap hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI atas Kegiatan Pembinaan dan Pengawasan Pengelolaan Dana Desa (DD) tahun anggaran 2015 sampai dengan semester I tahun 2018 pada 80 Kabupaten, 5 kota dan 1.006 kecamatan pada 33 provinsi seluruh Indonesia menemukan adanya beberapa permasalahan utama pengelolaan Dana Desa, baik dalam aspek pembinaan maupun aspek pengawasan.
Tranparansi
Konflik yang terjadi dalam pemerintahan desa, umumnya disebabkan Gecik dan aparaturnya tidak tranparasi dalam pengelolaan dana desa. Karena tranparansi menjadi syarat penting yang harus dipenuhi dalam setiap aspek penyelenggaraan pemerintahan, termasuk penggunaan anggaran pembangunan, baik di tingkat Kabupaten, Kecamatan, maupun Kelurahan/Desa. Tak terkecuali pengelolaan keuangan desa oleh para Perangkat Desa yang harus sesuai dengan rencana penyusunannya.
Transparansi pengelolaan dana desa sebagai poin penting. Jangan sampai salah kelola yang bisa berimbas sampai diproses hukum terkait pengelolaan keuangan dan aset desa. Dan transparansi yang dimaksud adalah dengan terbuka menyusun penggunaan dana desa kepada masyarakat. Bentuknya bisa dalam papan informasi penggunaan yang terpampang di Balai Desa atau di tempat strategis dalam lingkungan desa.
Mungkin kita sama-sama mengetahui bahwa ciri-ciri anggaran desa yang tidak transparan. Salah satunya adalah banyak kegiatan terlambat pelaksanaanya dari jadwal, padahal anggarannya sudah tersedia. Tidak adanya sosialisasi terkait kegiatan kepada masyarakat.
Tidak ada papan proyek dan pelaksanaannya adalah orang yang dekat dengan pak Gecik (Jema i was/Singkite wo-bhs Gayo) dengan berprinsip “ike ara singkite hana kati turah jema len” (Kalau masih ada orang kita kenapa harus orang lain). Laporan realisasi sama persis dengan RAB. Lembaga desa, pengurusanya berasal dari keluarga Gecik semua atau ada unsur famili. Aparatur desa banyak tidak tahu apa kerjanya dan hanya makan gaji buta.
Gecik pemegang uang sementara bendahara hanya berfungsi saat di bank saja. RGM (Rakyat Genap Mufakat) hanya tukang stempel (mengesahkan apa yang telah direncanakan pak Gecik).
Perangkat desa yang jujur atau vokal malah dikucilkan atau dipinggirkan. Banyak kegiatan yang terlambat pelaksanaannya, padahal sudah jelas anggaran sudah tersedia. Musyawarah desa pesertanya sedikit, yang hadir cuma orang-orang itu saja yang telah atau bisa disetting sesuai arahan Pak Gecik. Masyarakat yang kritis biasanya malah tidak diundang karena dianggap pembuat masalah. Bumdes tidak berkembang.
Belanja untuk keperluan barang atau jasa sering dimonopoli oleh pihak Gecik. Tidak ada sosialisasi terbuka kepada pihak masyarakat. Pemerintahan Desa marah atau terlihat tersinggung ketika ada pihak yang menanyakan anggaran kegiatan atau anggaran desa. Gecik atau perangkat dalam waktu singkat bisa membeli barang mewah, mobil, rumah, dan lain sebagainya. Atau terlihat peningkatan gaya hidup yang berubah secara signifikan.
Dan hal diatas sudah menjadi rahasia umum dan diperbincangkan dalam lingkungan masyarakat desa. Tapi, mereka diamkan karena efeknya ; bila berurusan nanti dengan mereka sebagai aparatur desa agak akan dipersulit. Bila ada kegiatan (bersinte-Bhs Gayo) aparatur desa tidak begitu peduli dan tidak diprioritaskan dalam berbagai hal atau lain sebagainya.
Gotong Royong
Gotong royong adalah budaya yang merupakan warisan dari nenek moyang bangsa Indonesia yang sejak dulu kala sudah menjadi bagian dalam kehidupan bermasyarakat. Dan didalam dan setelah pelaksanaan gotong royongpun terjalin erat suasana toleransi antar masyarakat yang pastinya heterogen baik suku maupun agama, dan manfaatnya bisa dirasakan bersama.
Budaya gotong royong dulunya merupakan bentuk kepedulian terhadap lingkungan, dan banyak lagi manfaat lainnya yang dapat dilakukan dengan budaya gotong royong di desa.
Tapi, saat ini suasana gotong royong sangat langka sekali ditemukan di desa. Padahal sebelum ada dana desa, saling toleransi dan suasana kebersamaan masih terasa. Tapi sekarang dengan ada kuncuran dana untuk desa, budaya gotong royong mulai redup semakin melunturkan semangat dalam aktivitas masyarakat dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya.
Ketika diajak gotong royong. Muncul celetukan, “kenapa kita harus gotong royong lagi, sudah ngak zamannya lagi, khan sudah ada dananya yang telah diplot dari dana desa?
Ada sebahagian komentar masyarakat mengatakan, bahwa dana desa telah membuat/mendidik masyarakat untuk menjadi materialistis. Sebelumnya tanpa ada dana masyarakat mau ikut gotong royong, malahan ada yang mau bontot untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat lain yang ikut bergotong royong. Tapi, sekarang telah ada dana, masyarakat mulai malas ikut kegiatan tersebut. Ada apa dengan dana desa?
Pengawasan dan Pembinaan
Kita juga harus mengakui, permasalahan pada aspek pembinaan pengelolaan Dana Desa antara lain belum adanya regulasi penetapan standar akuntansi pemerintahan desa dan belum adanya regulasi penyelenggaraan dan pembinaan aparatur desa yang lengkap, mutakhir dan sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi.
Perencanaan Dana Desa juga belum dilakukan berdasarkan pemetaan masalah dan kebutuhan desa. Pelaksanaan pembinaan program kegiatannya belum sepenuhnya selaras dengan skala prioritas penggunaan Dana Desa.
Sedangkan permasalahan pada aspek pengawasan pengelolaan Dana Desa, antara lain adalah mengenai perencanaan pengawasan oleh pemerintah daerah yang belum mempertimbangkan risiko. Hal itu terlihat dari masih adanya pemerintah daerah yang tidak memiliki rencana dan pemetaan masalah dalam pembuatan kegiatan pengawasan.
Pengawasanpun belum sepenuhnya mencakup evaluasi atas kesesuaian APB Desa dengan skala prioritas penggunaan Dana Desa, serta belum termuatnya tindak lanjut perbaikan dalam laporan hasil pengawasan. Atau lebih tepatnya tidak ada kesesuaian antara yang tertulis dalam kertas dengan kondisi dilapangan.
Penutup
Gecik harus bekerja bersama seluruh unsur yang ada di desa tanpa ada diskriminasi, agar program pembangunan pemerintah dapat segera dilaksanakan sehingga segera dinikmati oleh masyarakat desa. Dan Gecik harus segeralah beradaptasi dan merangkul seluruh unsur di desa. Keberhasilan pembangunan dari pusat, bergantung dengan Gecik.
Keberhasilan Gecik juga tidak ada tanpa ada peran kadus yang membantu Gecik dalam pelaksanaan tugasnya di wilayahnya ; membina ketenteraman dan ketertiban, melaksanakan upaya perlindungan masyarakat, mobilitas kependudukan, dan menata dan mengelola wilayah.
Untuk itu, Gecik harus menggali potensi yang ada di masing-masing desa. Fungsikan keberadaan kepala dusun untuk membantu menjalankan roda pemerintahan Desa dan fungsi RGM (Rakyat Genap Mufakat) harus betul-betul berfungsi sesuai dengan topsinya, jangan hanya sekedar lambang menjadi alat pengesahan program Gecik.
RGM memiliki tugas pengawasan kegiatan kampung, mengawasi anggaran keluar masuknya dana kampung, memberikan solusi atau pendapat, menyampaikan pendapat masyarakat bukan harus selalu ada unsur kepentingan atau selalu harus dulu melihat siapa yang bermasalah. Ada ngak untuknya buat kita?
Ada sebuah info yang mengatakan bahwa desa yang maju atau bisa kita katakan yang menjadi standar suksesnya desa kedepan adalah banyaknya dana desa dialokasikan ke Bumdes.
Karena sebagai lembaga yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dengan melalui pengelolaan potensi desa sesuai dengan kebutuhan masyarakat, atau dengan kata lain sebagai salah satu sumber kegiatan ekonomi desa yang berkelanjutan.
Akhirnya, tiada gading yang tidak retak. Kita semua berharap semoga dana desa betul-betul ditempat sesuai dengan ketentuannya dan dikelola oleh orang-orang yang mempunyai moralitas dan komitmen yang kuat untuk kepentingan masyarakat tanpa diselimuti dengan kepentingan-kepentingan sesaat.
Kita juga tidak munafik, siapa sih yangn tidak mau uang. Tapi, janganlah sampai keterlaluan mengurangi mutu dan kualitas barang atau pekerjaan. Kita yakin dana desa tidak berubah menjadi dana dosa bagi pak Gecik dan aparaturnya bila diperuntukan sesuai hasil musyawarah dan direalisasikan dilapangan. Amin.
*Penulis seorang antropolog dan pemerhati kehidupan sosial ekonimi dan budaya yang berdomisi di seputaran Kota Takengon.