Oleh : Andisyah Putra*
Indonesia memiliki budaya, kultur yang sangat menonjol diantara negara dunia lain. Sekitar 1300 lebih suku mulai dari sabang di aceh hingga marauke papua, serta diisi oleh banyak karakter masyarakat yang mendiami pulau satu dan lainya.
Dalam beberapa catatan, mengkonfirmasi bahwa dari hari kehari berbagai suku yang mendiami indonesia kian mengalami kemerosotan akan eksistensi bahkan sekitar lima sampai enam suku terancam punah keberadaanya. hal ini menjadi perhatian serius, mengingat keberadaan dan keberagaman suku sangat penting sebagai identitas bangsa.
Satu diantara suku lainya yang masih terbilang eksis keberadaanya sampai detik ini adalah suku Gayo, yang berada di tiga wilayah serta terbagi kedalam dua pengelompokan yakni gayo lut dan gayo deret. Gayo Lut meliputi Takengon (Aceh Tengah) dan Bener Meriah, Gayo Deret meliputi Gayo Lues serta Gayo Kalul, Lukup Serbejadi dan sebagian Aceh Tamiang,Provinsi Aceh.
Keberadaan suku Gayo menjadi mungkin kehilangan nila filosofis serta identitas budaya ditengah gejolak zaman yang terus mengalami perubahan. perkembangan zaman memungkinkan terjadinya degradasi budaya, pengaruh budaya global dan gerak teknologi adalah salah satu penyebab utama diantara penyebab lain yang mendasari perubahan itu sendiri.
Kecenderungan akan bergesernya cita cita bersama dalam lingkup kebudayaan dapat diantisipasi sedini mungkin, tentunya dengan mengenali ancaman serta peluang dimasa yang akan datang.
Budaya Man Pasir
Tradisi suku gayo terkusus Kabupaten gayo lues memiliki kebiasaan man pasir atau juga jika diartikan kedalam bahasa indonesia disebut dengan makan pasir dimana secara arti ‘man’ berarti makan serta ‘pasir’ sendiri adalah pasir (material). Tentu makan pasir disini bukanlah makan pasir seperti diartikan kedalam bahasa indonesia yang sebenarnya.
Tetapi makan pasir dalam arti makan bersama, dimana para pemuda dan pemudi desa berkumpul dirumah salah seorang pengantin untuk makan bersama pada malam hari sebelum acara resepsi pernikahan dilaksanakan esok harinya. Tujuan dari makan pasir sendiri adalah sebagai bentuk perpisahan antara pemuda desa dengan pengantin baru.
Man pasir (makan bersama) juga dilaksankan dalam bentuk lain, diantaranya muda mudi pasca musim panen padi dan muda mudi pemilihan kepala pemuda desa.
Budaya man pasir sudah berlangsung secara turun temurun ( dalam hal ini tidak didapatkan literatur yang menjelaskan secara eksplisit sejak kapan budaya man pasir sendiri di mulai). Masa perjalananya, budaya man pasir turut mengalami perubahan baik dari segi kegiatan man pasir sendiri maupun kandungan serta tujuan didalam tradisi man pasir.
Pada acara man pasir sendiri, biasanya para pemuda dan pemudi berkumpul dengan maksud menjalin tali silaturrahmi. Sewaktu waktu iringan tarian khas suku gayo lues saman dan bines dilakukan oleh (sebujang dan seberu)
Modernisasi Sebagai Ancaman
Seiring perkembangan zaman, hadirnya budaya luar serta munculnya teknologi kerap mewarnai perkemnbangan budaya di indonesia (terkhusus budaya Gayo), baik kedalam perubahan yang lebih baik atau sebalinya kearah yang lebih buruk.
Dalam mempertahankan nilai-nilai yang tekandung didalam kebudayaan Indonesia (Gayo) perlu adanya ekstra kekuatan baik dari segi pemikiran maupun tindakan sebagai bentuk antisipatif terjadinya arus globalisasi yang tidak menentu dan semakin menggerogoti lini kehidupan masyarakat.
Bukanlah satu hal yang terjadi secara instan, perubahan perubahann yang terjadi merupakan Konsekuensi atas ikut sertanya indonesia melakukan penyesuain terhadap global. Sehingga budaya atau juga hal hal yang bersifat baru tidak luput menjadi bahan konsumsi masyarakat indonesia.
Untuk lebih tepatnya, terlebih dahulu memahami definisi modernisasi sendiri. Jika diartikan, modernisasi merupakan satu prubahan masyarakat tradisional menuju masyarakat yang lebih moderen. Dalam hal ini perubahan yang terjadi pada aspek sosial dalam kehidupan masyarakat.
Meskipun disini dimaknai perubahan sosial yang terjadi didalam lingkungan masyarakat, tetapi perubahan ini seyogyanya tidak turut mengubah norma norma yang telah dianut oleh masayarakat sejak lama. Nilai luhur, adat istiadat, norma dan hal yang lain tidak lantas harus terapus tanpa meninggalkan jejak dari hal yang berbau tradisional. Namun perubahan dari tradisional menuju moderen sering dilakukan dengan meninggalkan jejak dari hal yang berbau tradisional.
Modernisasi sendiri berasal dari bahasa latin yakni modernus, yang dibentuk dari dua kata yakni modo dan ernus. Modo memiliki arti ‘cara’ sedangkan ernus artinya ‘adanya priode waktu pada masa kini’. Jadi secara etomologi, modernisasi dapat diartikan sebagai proses atau cara perubahan yang terjadi pada priode waktu tertentu hingga masa kini.
Dalam hal ini pengertian masa kini merujuk pada pengertian modern. Dari pengertian tersebut dapat difahami sebagai perubahan masyarakat tradisional menjadi masyarakat yang lebih modern.
Budaya man pasir juga merupakan salah satu yang turut mengalami perubahan yang dihampiri oleh modernisasi. Sehingga ketidak adaan antisipasi yang kokoh terhadap perubahan perubahan pada lingkungan masyarakat akan dengan mudah diintervensi oleh budaya pendatang.
Masifnya penggunaan teknologi terbarukan ditengah masyarakat Gayo juga sebagai dampak dari modernisasi terhadap pengkaburan nilai-nilai yang terkandung didalam budaya Gayo.
Jika ditarik kebelakang, kegiatan kegiatan yang terjadi pada acara semacam man pasir dahulu sangat kental akan kebiasaan khas masyarakat tradisional. Tetapi, dalam perkembanganya justru hal yang berbau trdisional banyak berubah bahkan ditinggalkan dengan narasi para pemuda dan pemudi yang tidak mendalami serta faham betul seluk beluk sejarah budaya leluhur tanah Gayo.
Belakangan beberapa pertemuan antara pemuda dan pemudi dalam acara man pasir lebih banyak dihadapkan pada kelompokisme. Dimana terjadi skat antara kelompok pemuda satu dan keompok pemuda lain. Pada saat itu juga perkembangan teknologi dengan hadirnya telepon pintar menjadikan antara pemuda dan pemudi menjadi renggang akibat sibuk sendiri memainkan telepon pintar milik masing masing.
Justru jika ditelaah lebih jauh, kegiatan makam pasir seperti ini telah jauh melampaui tujuan awal diadakan man pasir.
Kecenderungan mengkonsumsi budaya luar secara membabi buta dan konsumtif tekonolgi akan berdampak serius terhadap perkembangan budaya yang akan diwariskan kepada anak cucu generasi selanjutnya (generasi Gayo).
Seperti hal diatas kerap menjadi tanda tanya, ketika semakin maraknya perkembangan budaya luar merasuki sendi sendi kehidupan masyarakat tentu akan lebih cenderung memberangus pesan yang tersirat didalam budaya tanoh Gayo.
Dengan wajar perkembangan zaman seharusnya dimaknai sebagai tidak ketinggalan zaman tetapi tidak seharusnya juga terjerumus didalam perkembangan zaman.
Merawat Budaya Man Masir
Perubahan zaman tradisional menuju modern harus disikapi dengan bijak, terutama oleh kaum muda. Jika enggan berbuat demikian memungkinkan terjadinya semacama perubahan kepada arah yang buruk.
Untuk mempertahankan tradisi dan melestarikan budaya, generasi muda adalah salah satu tumpuan sebagai agen pelestarian budaya Gayo.
Sebagai penutup, dalam mempertahankan kelestrian budaya gayo, peran pemuda sangat vital adanya. Sehingga dalam tulisan kali ini dapat menjadi refrensi serta cara yang dapat dilakukan masyarakat khususnya sebagai generasi muda dalam mendukung kelestarian budaya dan ikut menjaga budaya lokal (Sendjaja, 1994: 286). yaitu :
1. Culture Experience
Culture Experience Merupakan pelestarian budaya yang dilakukan dengan cara terjun langsung kedalam sebuah pengalaman kultural. contohnya, jika kebudayaan tersebut berbentuk tarian, maka masyarakat dianjurkan untuk belajar dan berlatih dalam menguasai tarian tersebut, dan dapat dipentaskan setiap tahun dalam acara-acara tertentu atau diadakannya festival-festival. Dengan demikian kebudayaan lokal selalu dapat dijaga kelestariannya.
2. Culture Knowledge
Culture Knowledge Merupakan pelestarian budaya yang dilakukan dengan cara membuat suatu pusat informasi mengenai kebudayaan yang dapat difungsionalisasi ke dalam banyak bentuk. Tujuannya adalah untuk edukasi ataupun untuk kepentingan pengembangan kebudayaan itu sendiri dan potensi kepariwisataan daerah.Dengan demikian para Generasi Muda dapat memperkaya pengetahuannya tentang kebudayaanya sendiri.
*Warga Kampung Durin, Blangkejeren, Gayo Lues
Kepustakaan
Rachamawati, Indriyana, dkk. 2017. Postmodernisme: Perspektif, Kritik, Dan Aplikasinya. Bantul. Sociality
Nahak, Hildigardis. 2019. UPAYA MELESTARIKAN BUDAYA INDONESIA DI ERA GLOBALISASI. Jurnal Sosiologi Nusantara. V o l . 5 , N o . 1 , T a h u n 2 0 1 9.