Hijrah Antara Maulud (Maunya Mulut) dan Maulid (Maunya Lidah)

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Penting dalam hidup ini ada ulang tahun. Menjadi penting lagi ketika merayakan dan menjadikannya momentum untuk berubah. Sebagaimana tahun baru dalam penanggalan Arab, 1 Muharam 1442 Hijriyah adalah moment tepat untuk berhijrah maknawi. Agar perubahan itu menjadi berkah, maka laksanakan tradisi kenduri dengan sajian simbol yang penuh filosofi.

Masyarakat Aceh pinggiran yang hidup pas-pasan telah mempersiapkan kenduri tahunan khususnya pada bulan Rabiul Awal, bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW untuk menjamu tetangganya dengan makanan yang lengkap. Sepanjang tahun hidup mereka tidak pernah kekurangan, walau juga tidak berlebihan. Hidup mereka benar-benar berkah.

Tradisi merayakan tahun baru hijriyah dan Maulid Nabi di Aceh, belum mendawamkan simbol dalam makanan. Berbeda dengan di daerah Jawa, mereka tetap memelihara tradisi penyajian nasi tumpeng, umumnya warna kuning yang bentuknya kerucut dan ditata bersama lauk pauknya yang disajikan di atas wadah tampah.

Masyarakat Jawa meyakini tumpeng adalah singkatan yen metu kudu sing mempeng (bila keluar harus sungguh-sungguh), yang disajikan dengan kue ketan atau buceng yang merupakan singkatan yen melebu kudu sing kenceng (bila masuk harus sungguh-sungguh) dan ditambah 7 (tujuh) macam lauk pauk, yang dalam bahasa Jawa, angka 7 artinya pitu (pertolongan).

Tiga akronim itu; tumpeng, buceng dan pitu berasal dari surat Al-Isra’ ayat 80 yang berupa do’a, “Ya Tuhan, masukkan aku dengan sebenar-benarnya masuk, dan keluarkan aku dengan sebenar-benar keluar serta jadikanlah dari-Mu kekuasaan bagiku yang memberi pertolongan.”

Itulah do’a yang dipanjatkan Nabi Muhammad SAW, ketika keluar dari Kota Mekah hijrah menuju ke Kota Madinah. Sebagai mana do’a Nabi, tradisi penyajian nasi tumpeng dan lauk pauknya adalah simbol untuk memperoleh kebaikan dan terhindar dari keburukan.

Orang-orang Jawa masih menjalankan kebiasaan itu sampai sekarang; menjalankan agama dengan tetap memelihara tradisi. Padahal Aceh pada masa lampau juga menjalankan kehidupannya; adat bak poeteumeurhom dan hukom bak Syiah Kuala.

Beruntunglah orang-orang Aceh masih mempertahankan turun temurun pada setiap memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan membawa idangan ke meunasah atau mesjid dan melagukan salawat, barzanzi dan dalael. Sebenarnya itulah identitas Aceh yang patut dipertahankan oleh semua kita.

By the way, soal review ulang memory sangat penting. Apalagi akhir-akhir ini wacana kesadaran “Jangan lupa identitas” seperti mendapat moment di tengah berkembangnya revolusi industri 4.0 atau dunia dalam genggaman.

Masalahnya kajian tentang identitas hanya pada dataran “syariat” tentang adat, budaya, asal usul, sejarah dan penghormatan pada nenek moyang yang bersifat komunal, belum pada suasana kebathianan diri.Memperkuat kajian yang mengarah pada “ashobiyah” akan melahirkan kebencian, kesombongan dan hilangnya kasih sayang.

Merasa diri paling benar dan menghalalkan darah di luar kelompoknya menjadi kekhawatiran dan semakin menjauhkan diri dari ajaran Nabi Muhammad SAW yang jauh dari kebencian, tidak sombong walau sedebu dan kasih sayang kepada semua makhluk.

Identitas selamat (Islam) itu seperti pepatah “Gajah dipelupuk mata tidak tampak…” sulit menemukan identitas diri yang sebenar diri meskipun dia berada di dalam diri. Alangkah ruginya hidup ini kalau bathin masih belum sampai ke tahap “Siapa mengenal diri maka mengenal Tuhannya” kemudian diteruskan “Awal dari agama adalah mengenal Allah.”

Sesungguhnya karena kesalahan yang kita perbuat dengan tindakan, sikap dan bathin telah membuat memori identias sejatinya kita disimpan pada satu tempat yang tidak kita tahu persisnya, tetapi petunjukanya berada pada kajian rasa. Salah satunya adalah rasa pada lidah. Sehingga hakikat makna Rasulullah (rasa bersama Allah), maulud (maunya mulut) dan maulid (maunya lidah) saling berkaitan. Oleh karenanya tradisi maulud atau maulid orang-orang Aceh dengan “idangan” sudah benar.

Pantas saja, pada setiap bulan Ramadhan, para orang-orang tua dahulu membuat pecel dengan 44 macam dedaunan, termasuk daun jelatang, ternyata tujuannya membangun kesadaran mengingat sejatinya diri dengan rasa.

Akhirnya selamat merayakan tahun baru 1442 Hijriyah, semoga kita menemukan diri untuk mengenal Tuhan dengan rasa maulud (maunya mulut) dan maulid (maunya lidah). Kalau dengan makanan saja kita bisa menemukan Tuhan, mengapa kita harus jungkir balik mencarinya di tempat lain.

(Mendale, Kamis, 20 Agustus 2020/1 Muharram 1442 H)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.