Aku Mengkritik Maka Aku Ada

oleh

Oleh : Husaini Muzakir Algayoni*

“Sosok pengkritik, keeksistensian dirinya diketahui oleh khalayak ramai, ia terus ada; ada dalam dunia keeksotikan maupun ada dalam dunia perlawakan.”

“Aku berpikir maka aku ada,” kata bapak filsuf modern Rene Descartes. Jargon yang dikenal dalam dunia filsafat ini terus diingat dalam ingatan hingga sekarang.

Bukan hanya diingat tapi juga banyak dibaca dan disukai oleh kaum rasionalisme berangkat dari jargon ini, lahir pula jargon-jargon seperti: aku bertanya maka aku ada, aku membaca maka aku bahagia, dan lain-lain.

Satu jargon yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah “Aku mengkritik maka aku ada” dalam demokrasi mengkritik bagaikan vitamin, maka dari itu bagi insan yang suka mengkritik, khususnya mengkritisi pemerintah bukanlah hal yang hina. Dengan adanya kritikan, seseorang telah membangun harmonisasi demokrasi.

Insan-insan yang suka mengkritik, maka keeksistensian dirinya diketahui oleh khalayak ramai, baik hanya sekedar cuitan-cuitan kecil di media sosial maupun dipublish di media-media, yang mana suatu kritikan berangkat dari rasa tidak puas dan adanya kekeliruan dalam melaksanakan sesuatu.

Lebih politisnya lagi, apapun yang direncanakan atau telah diprogramkan oleh pemerintah dengan baik, ada saja hal-hal yang dikritisi dari lawan politik. Dalam dunia politik, memang begitu adanya, jika tidak dikritik atau diam saja maka suara pemilu yang akan datang dipastikan tidak ada suara lagi bagi partainya.

Nah, aku mengkritik maka aku ada. Sosok pengkritisi akan terus disorot dalam dunia perpolitikan, ia ada dalam setiap perbincangan. Disini para pengkritisi akan diuji keloyalannya, jika konsisten terhadap apa yang diperjuangkannya maka ia ada dalam dunia keeksotikan.

Sebaliknya jika tidak konsisten dan mudah layu manakala didatangi oleh sinar matahari dengan membawa kehangatan ‘angka nol dalam bentuk rupiah’ maka ia juga ada; ada dalam dunia perlawakan, ia akan ditertawakan setiap adegan yang ditampilkannya. Hal ini, soal ideologi tak menjadi ukuran, yang menjadi ukuran adalah angka nol dalam bentuk rupiah.

Siapapun bisa menjadi seorang pengkritik handal. Tak harus aktivis ataupun ketua organisasi, semua rakyat Indonesia punya hak yang sama dalam bersuara; baik orang awam maupun terpelajar/mahasiswa. Siapa tahu, kritikan orang awam lebih bermakna daripada kritikan orang terpelajar. Biasanya kritikan orang awam itu jujur dan ikhlas daripada kritikan orang-orang yang mempunyai kepentingan.

Teringat dengan karya pujangga besar Kahlil Gibran dalam “The Wanderer” yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Sugiarta Sriwibawa dengan judul “Sang Musafir.”

Bahwa dikisahkan suatu hari, si Cantik dan si Buruk bertemu di pantai. Keduanya saling mengajak, “Mari, kita mandi di laut.” Keduanya menanggalkan pakaian, kemudian berenang. Tak berapa lama si Buruk kembali ke pantai, lalu mengenakan pakaian si Cantik, lantas pergi.

Si Cantik pun kembali ke pantai. Ia tak dapat menemukan pakaiannya; karena malu telanjang, dikenakan pakaian si Buruk.
Sampai kini kita tidak dapat mengenali mereka masing-masing. Namun ada juga yang dapat mengenali wajah si Cantik, meski pakaiannya demikian, dan ada pula yang dapat mengenali wajah si Buruk, karena pakaiannya yang tidak dapat menyembunyikannya.

Dilanjutkan lagi dalam kisah ini bahwasanya ada seorang miskin yang selalu menjelek-jelekkan seorang pangeran budiman, yang sangat dicintai dan dihormati. Pangeran mengetahui hal itu, namun ia tetap bersabar.

Namun pada akhirnya hati pangeran terusik juga. Maka suatu malam, pangeran memberikan hadiah kepada si miskin sekarung gandum, sekantum sabun, dan secontong gula.

Diberikan hadiah, ia senang karena merasa dihargai oleh pangeran. Namun, apa makna dari tiga hadiah tersebut? Pangeran memberi amanat dengan lambang. Gandum itu untuk perut yang kosong, sabun untuk mencuci perbuatan yang kotor, dan gula untuk memaniskan lidah yang pahit.

Dari kisah di atas menyadarkan kita bahwa niat yang baik dan ikhlas dalam memberikan sebuah kritikan akan dikenali dengan kebaikan, sebaliknya tujuan yang jahat dan niat memburu angka nol dalam bentuk rupiah tetap dikenali dan tercium kejahatannya walaupun ditutupi dengan pakaian indah.

Dan juga menutupi lidah-lidah yang pahit, pangeran memberikan secontong gula untuk memaniskan lidah. Hari ini, betapa banyak orang yang lidahnya pahit kepada pemerintah, kemudian tiba-tiba berubah menjadi manis ketika diberikan posisi jabatan. Ini yang penulis maksud dengan dunia perlawakan bagi seorang pengkritik, ia tetap ada; ada dalam dunia perlawakan.

Urgensi sebuah kritikan, sejatinya adalah untuk perbaikan. Karena itu kritikan itu perlu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, setelah mengkritik lalu berilah apresiasi atau reward atas usaha yang telah dilakukan. Jangan hanya ringan lidah melakukan kritikan tapi berat lidah memberi apresiasi.
Nah, selamat mengkritik!. []

*Penulis, Kolumnis LintasGAYO.co. Mahasiswa Prodi Ilmu Agama Islam (Konsentrasi Pemikiran Dalam Islam) Program Pascasarjana UIN Ar-Raniry.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.