Guru Arsitek Generasi Emas Indonesia

oleh

(Catatan Kecil Seperempat Abad Menjelang Indonesia Emas 2045 )
Oleh : Hammaddin Aman Fatih*

Semua orang pasti setuju jika pendidikan yang berkualitas merupakan asset yang nanti bisa menjadi sebuah kekuatan mahadahsyat membawa suatu negara menuju peradaban yang tinggi. Sedikit demi sedikit, tapi pasti, pendidikan yang baik akan secara perlahan setes demi setetes dapat membentuk karakter bangsa yang kuat dan tangguh.

Seluruh warga Negara Indonesia pasti berharap, di usia 100 tahun republik ini nantinya pada tahun 2045. Negara Indonesia bisa menjadi salah satu kekuatan yang di segani dalam kancah percaturan dunia internasional, atau minimal bisa menjadi Macan Asia.

Semua itu bukan hanya ilusi bagi bangsa Indonesia nanti tahun 2045, bisa menjadi sebuah kenyataan, bila salah satu faktor pendukung utamanya, yaitu pendidikan yang berkualitas. Semua orang pasti setuju jika pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk membantu seseorang mencapai kesuksesannya, meskipun sebenarnya pendidikan bukanlah satu-satunya hal yang menentukan keberhasilan tersebut.

Kepandaian tanpa pembentukan karakter yang baik hanya akan menghasilkan sebuah ijazah, namun tidak menghasilkan generasi yang berbudi luhur, merupakan point penting membangun peradaban bangsa yang kuat.

Maka saat yang tepat dirgahayu ke 75 ini kita harus bisa memulai berbenah dengan menyiapkan master plan pendidikan yang permanan sesuai dengan tuntutan zaman dan tidak bertentangan dengan amanat UUD 1945, jangan terlalu sering diotak-atik oleh kepentingan sesaat atau jangka pendek, isme kelompok tertentu, intervensi kepentingan asing dan politik. Sering kita mendengar rumor ; “ganti menteri pendidikan maka kurikulum juga bekal berganti.”

Pendidikan akan berhasil mencapai tujuan yang sebenarnya tidak terlepas dari peran figur seorang guru. Guru adalah ujung tombak atau garda terdepan dalam memajukan peradaban sebuah bangsa. Hasil jerih payah mereka itu tidak dapat terlihat dalam sekejap mata (Simsalabin ada kadabra langsung berubah), tapi akan nampak lima, sepuluh atau dua puluh lima tahun yang akan datang.

Menurut sebuah informasi yang cukup layak dipercaya, saat Jepang kalah dalam perang Dunia II. Kondisi sosial budaya ekonomi dan politik mereka terpuruk. Sang Kaisar, pemimpin tertinggi Negeri Sakura itu harus mengambil sesuatu kebijakan agar negaranya tidak terus terpuruk. Hal pertama yang ditanyakannya adalah ; “Berapa lagi guru yang masih hidup di negeri kita ini”. Pertanyaan tersebut memperlihatkan betapa urgennya peran seorang guru untuk membangkitkan, memajukan suatu negara.

Guru berperan penting dalam mengimplementasikan kurikulum di lapangan yang bertujuan untuk meningkatkan dan mengelola sumber daya manusia Indonesia, agar lebih maju dan dipundak mereka beban untuk menyiapkan generasi emas tahun 2045. Dimana pada saat itu republik ini genap berumur 100 tahun (Indonesia Emas).

Mungkin sudah menjadi perasaan guru pada umumnya sekarang, bahwa sulit sekarang menekuni profesi sebagai guru, karena terlalu banyak yang dituntut. Sehingga banyak guru–guru kita lari dari tanggungjawab sebagai lentera kehidupan bagi anak–anak di masa yang akan datang. Mereka menjalankan hanya sebagai rutinitas belaka yang menjenuhkan.

Saat ini lebih banyak aktivitas proses berjalan pendidikan kita lebih cenderung guru, peserta didik dan birokrasi pengelola pendidikannya berusaha mengejar target yang telah direncanakan, dibandingkan dengan memikirkan proses berlangsung pendidikan itu sendiri. Sehingga kita lihat, arah pendidikan kita kehilangan rohnya.

Disatu sisi mereka (guru) dituntut untuk terus profesional dalam menjalankan tugasnya, di satu sisi lagi mereka harus sibuk dengan tengek bengek administrasi yang menguras banyak waktu, uang dan energi mereka. Imbasnya peserta didik mereka terlantarkan.

Penulis yakin, dengan kondisi dan budaya kesibukan guru-guru sekarang akan membatasi, membelenggu, memicikan dan mengkerdilkan inisiatif kreatifitas guru, tidak mengembangkan daya imajinasi, dan daya kreasi dan daya analisisnya.

Guru menjadi robot dan menghilangkan tugasnya sebagai penyiap agen–agen perubahan. Kondisi ini diperparah lagi dengan perubahan peraturan didunia pendidikan yang terkadang, terlalu dipaksakan untuk diterapkan, terlalu dipaksakan untuk dibatalkan, berubah dengan dengan cepatnya dengan proses kejar target, katanya dengan alasan tuntutan zaman.

Uji Kompetensi Guru

Penulis pernah membaca info yang di shere lewat WA (WhatsApp), puisi seorang peserta didik untuk gurunya, dengan judul “Derita Guru Ku”. Hari ini latihan soal nak. Soalnya lima buah pilihan ganda, Jangan ribut ! Bapak ke perpustakakan mentar, menghitung angka kredit sudah delapan tahun bapak tidak naik pangkat. Itu ucapan pak Mulyadi guru matematika ku pada jam pertama. Hari ini kalian baca cerpen nak, kalian keperpustakaan.

Jangan ribut, jangan berulah. Ibu di ruangan komputer. Ada tugas daring yang bikin kepala pusing, itu ucapan ibu Siti. Guru Kimia ku pada jam ke tiga. Hari ini buka buku kalian nak, kerjakan halaman 40. Bapak di ruang guru, besok harus UKG.

Doakan agar bapak lulus ! Itu ucapan pak Rudi guru Fisika ku. Pada kami jam keenam. Saat istirahat, pak Wildan guru olah Ragaku, berpesan agar kami mengerjakan soal latihan di bab 3 setelah selesai jama’ah sholat Zuhur nanti. Lalu terburu–buru ke parkiran, katanya mau mengurus simpatika kemenag sebelum Admin keluar kota.

Guruku kami butuh belajar, butuh cerita hidupmu, kisah nyatamu, perjuangan, agar kelak kami bisa melewati tanpa cela. Pak menteri, beri kenyamanan, beri penghargaan untuk guru kami, jangan buat mereka susah, hentikan angka kredit daring, UKG, kami jamin guru kami guru profesional.

Tidak salah juga, kalau seorang teman saya mengatakan dulu, “Kegiatan Uji Kompetensi Guru (UKG) online dulu bagaikan seorang hakim yang memvonis, menguji kemampuan guru dengan deretan angka – angka yang akhirnya bermuara kepada kata layak dengan dibalut kata pemetaan.

Hanya butuh waktu 90 menit dengan model soal pilihan ganda tanpa melihati guru ; – yang berdomisili di kota (sekolah yang memiliki fasilitas sangat memadai), – yang di pedesaan yang minim fasilitas, – terpencil yang hanya masih berslogan “Ayo Sekolah” atau masih pada tahap mengajak anak untuk mau bersekolah, – tua maupun muda, – punya sapras pendukung atau tidak. Tapi, sama indikator penguji kelayakannya, Adilkah ???

Apakah mungkin bisa disamakan antara kereta Cup 70 dengan kereta Vixion ? Bagaimanapun polesnya atau permaknya, kereta Cup 70 tidak akan mungkin bisa menyamai kecepatan si kereta Vixion prodak zaman digital. Guru umur 50-an keatas tidak mungkin bisa disamakan dengan semangat guru umur 25-an keatas yang aktifitasnya sudah sangat berbau digital. Maka, jelas indikator kedua harus berbeda.

Sertifikasi

Beberapa tahun belakangan ini, sejak muncul guru sertifikasi, hujatan dan cemoohan mulai dengan derasnya tertuju ke guru dikarenakan anggaran pendidikan dialokasikan sangat besar tapi minim prestasi, konon katanya sampai 20% dari APBN. Tapi, betulkah guru yang menikmatinya ?? Malahan sekarang, banyak kebijakan–kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tentang pendidikan seakan–akan mulai tidak bersahabat alis memberatkan profesi seorang guru.

Pengambil kebijakan terkadang tidak melihat kondisi riil dunia pendidikan di Indonesia, khususnya di daerah. Atau mungkin mereka hanya menerima laporan diatas meja tanpa pernah melihat dengan telanjang mata kondisi sebenar–benarnya dilapangan, terutama masalah sarana pendukung Proses Belajar Mengajar (PBM).

Untuk menjadi seorang guru, lebih kurang lima tahun harus bergelut dengan buku di perguruan tinggi Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan (FKIP) dan mendapat gelar di akhir namanya “S.Pd”. Hal tersebut belum bisa juga menjadi jaminan untuk mendapat tunjangan sertifikasi. Tapi, hanya dengan mengikuti program Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru (PLPG) selama ± 14 hari atau yang sekarang lebih kurang 3 bulan sistem daring baru dikatakan lulus, layak mendapat tunjangan sertifikasi guru. Parahnya, guru itu alumni dari perguruan tinggi yang menyelenggarakan PLPG itu sendiri.

Jadi, lima tahun kuliah tidak ada artinya, hanya 14 hari atau 3 bulan yang menentukannya. Secara tidak langsung perguruan tinggi itu telah menelanjangi kualitas lulusan mereka sendiri. Malahan sekarang ada lagi kabarnta kebijakan mendapat gelar tambahan diawal nama bila telah profesional, yaitu Gr (Guru).

Guru dan Gula

Jasa seorang guru bagaikan gula sewaktu kita meminum minuman kopi. Dalam minumam kopi ada 3 unsur ; kopi, gula dan rasa. Kopi adalah orang tua, gula adalah guru, rasa adalah siswa. Jika kopi terlalu pahit, siapa yang salah ? Gulalah yang disalahkan karena terlalu sedikit, hingga “rasa” kopi menjadi pahit !!! Jika kopi terlalu manis, siapa yang disalahkan ?

Gula pula yang disalahkan karena terlalu banyak, hingga “rasa” kopi menjadi manis, jika takaran kopi dan gula seimbang, sehingga rasa yang tercecap menjadi nikmat, siapa yang dipuji ??? Tentu semua akan berkata, “kopinya mantap” !!! Kemana gula ? Dimana Gula ? Yang mempunyai andil membuat “rasa” kopi menjadi mantap !

Itulah guru yang ketika “rasa“ terlalu manis, maka dia akan dipersalahkan ! Itulah guru kita “rasa” terlalu pahit maka dia pula yang akan dipojokkan ! Tetapi, Ketika “rasa” mantap, ketika peserta didik berprestasi maka orang tualah yang akan menepuk dadanya ; “anak siapa dulu.”

Marilah guru, ikhlas seperti gula yang larut tak terlihat, tapi sangat bermakna. Gula memberi rasa manis, pada kopi, tapi orang menyebutnya, kopi manis bukan kopi gula. Gula memberi rasa manis pada teh, tapi orang menyebutnya teh manis, bukan teh gula. Orang menyebut roti manis, bukan roti gula. Orang menyebut sirup pandan, sirup apel, sirup jambu pada hal bahan dasarnya gula. Tapi, gula tetap ikhlas larut dalam memberi rasa manis.

Akan tetapi, apabila berhubungan dengan penyakit barulah gula disebut. Penyakit Gula, begitulah hidup kadang kebaikan yang kita tanam, tak pernah disebut orang, tapi sedikit saja kilaf, salah dilakukan guru, maka akan dibesar-besarkan. Ikhlaslah guru seperti gula, larutlah seperti gula. Tetap semangat memberi kebaikan. Tetap semangat menyebar kebaikan. Karena kebaikan tidak untuk disebut. Tapi untuk dirasakan.

Malahan sekarang, banyak kebijakan–kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tentang pendidikan seakan–akan mulai tidak bersahabat alias memberatkan profesi seorang guru. Pengambil kebijakan terkadang tidak melihat kondisi riil dunia pendidikan di Indonesia, khususnya di daerah. Atau mungkin mereka hanya menerima laporan diatas meja tanpa pernah melihat dengan telanjang mata kondisi sebenar–benarnya dilapangan, terutama masalah sarana pendukung proses belajar mengajar.

Guru Merdeka

Melihat kondisi diatas menjadi hal yang tidak mungkin bagi guru untuk bisa membawa generasi kita sekarang menjadi generasi emas di tahun 2045. Dimana pada saat itu angkatan yang sekarang banyak menjadi pemegang, penentu kebijakan di republik ini.
Terpilihnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim yang merupakan materi termuda dipilih dari kalangan milineal, membuat banyak kalangan terperangah. Akankah ada perubahan secara radikal tentang proses pendidikan di republik ini.

Melihat paparan salinan pidato atas nama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim untuk upacara peringatan hari guru nasional tahun lalu yang beredar di media sosial tentang persoalan yang dihadapi para guru. Ada sebuah secuil harapan guru bisa kembali ke habitat asli sebagai penambur gen–gen perubahan.

Salin pidato beliau sebagai berikut : “Guru Indonesia yang Tercinta, tugas Anda adalah yang termulia sekaligus yang tersulit. Anda ditugasi untuk membentuk masa depan bangsa, tetapi lebih sering diberi aturan dibandingkan dengan pertolongan.”

Para guru ingin membantu murid yang mengalami, tetapi waktu mereka habis mengerjakan tugas administratif tanpa manfaat yang jelas. Para guru juga tahu betul bahwa potensi anak tidak dapat diukur dari hasil ujian, tetapi terpaksa mengejar angka karena didesak berbagai pemangku kepentingan.

“Anda ingin mengajak murid keluar kelas untuk belajar dari dunia sekitarnya, tetapi kurikulum yang begitu padat menutup pintu petualangan. Anda frustasi karena Anda tahu bahwa di dunia nyata kemampuan berkarya dan berkolaborasi akan menentukan kesuksesan anak, bukan kemampuan menghafal.”

Dalam salinan pidatonya, Nadiem mengatakan tidak akan membuat janji kosong kepada para guru, tetapi akan berjuang untuk kemerdekaan belajar di Indonesia. Ia mengatakan, perubahan tidak dapat dimulai dari atas, tetapi berawal dan berakhir dari guru.

Para guru juga diminta tidak menunggu aba-aba dan perintah, tetapi segera mengambil langkah pertama dan perubahan kecil di kelas. Misalnya, mengajak kelas berdiskusi, bukan hanya mendengar. Kemudian memberikan kesempatan kepada murid untuk mengajar di kelas, cetuskan proyek bakti sosial yang melibatkan seluruh kelas, temukan bakat diri murid yang kurang percaya diri, dan tawarkan bantuan kepada guru yang mengalami kesulitan.

Dan tidak salah juga kalau orang bijak mengatakan guru yang sebenarnya adalah ibarat lilin, membakar dirinya sendiri demi menerangi kehidupan orang lain. Penulis membaca info yang di shere lewat WA (WhatsApp) ; Guru berdiri di depan kelas, dan siswa memberi penghormatan, itu bukan karena guru haus kehormatan, tetapi karena siswa sedang diajar untuk tahu menghormati.

Guru mengajar didepan kelas, siswa diminta memperhatikan, bukan karena guru tak tahu metode mengajar yang baik, tetapi karena siswa sedang diajar untuk menghargai orang lain. Guru memberikan Pekerjaan Rumah, siswa diminta menyelesaikan, bukan karena guru memberi beban tambahan, tetapi karena siswa sedang diajar untuk bisa mengisi waktu berkualitas.

Guru merobek kertas ujian karena menyontek, siswa diminta mengikuti ujian susulan, bukan karena guru berlaku jahat, tetapi karena siswa sedang diajar pentingnya kejujuran. Guru membuat jadwal kebersihan, siswa diminta membersihkan lingkungan, bukan karena guru mau seenaknya memerintah, tetapi karena siswa diajar untuk bisa bertanggung jawab.

Guru berbicara keras karena siswa kurang memperhatikan, bukan karena guru benci, tetapi karena siswa sedang diajar untuk sadar akan kesalahan, Guru menghukum siswa karena bandel, bukan karena guru marah, tetapi karena siswa sedang diajar untuk mengerti kebaikan, Guru memberi hukuman yang wajar, bukan karena guru tak punya kasih, tetapi karena siswa sedang diajar mengakui kesalahan.

Guru melarang siswa melakukan hal-hal yang terlihat asyik, bukan karena guru tak mengerti kesenangan siswa, tetapi karena siswa sedang diajar untuk melihat masa depan lebih baik,. Tanyakan pada mereka yang sukses sekarang, pantaskah membenci seorang guru ?

Kekuatan sebuah Kritikan

Salah satu point yang terbaik untuk menuju pendidikan yang bermartabat, dan guru bisa mengantar generasi menjadi generasi emas adalah dengan menerima kritikan dan saran – saran yang muncul di media cetak atau online. Sehingga kita tahu apa kelemahan yang dialami dunia pendidikan kita.

Munculnya kritikan dalam masyarakat, yang mereka sampaikan melalui media sosial ( Instagram, Fecebook, WhatsApp, media cetak/online dan lain sebagainya ) mencerminkan keadaan yang sedang dialami oleh masyarakat dalam melihat jalannya proses jalan yang menginginkan koreksi, perbaikan dan menyebutkan adanya perubahan atau pergeseran nilai yang perlu diperhatikan.

Kritikan muncul biasanya dihubungkan dengan perlunya suatu situasi ideal dan perilaku ideal. Apabila suatu kritikan ditujukan kepada suatu golongan elite dalam dunia yang mengurus jalannya proses pendidikan di negeri ini, maka biasanya yang dipermasalahkan adalah ada atau tidaknya pelaksanaan fungsi dan tugas mereka berdasarkan etos dan moralitas yang tinggi, sebagai mana yang selalu diharapkan oleh masyarakat luas kepada mereka yang berkecimpung menentukan sepak terjang proses jalanan pendidikkan di negeri ini.

Kekuatan kritikan, baru akan muncul kalau sudah disampaikan ke publik. Tapi, kita sering mendengar seorang pejabat dalam jajaran elite birokrasi pendidikan, ngomong, “ kalau mau mengkritik sampaikan langsung kepadanya pribadi, jangan dibeberkan atau dilontarkan lewat pers atau media sosial”.

Kalau saran sang pejabat itu, kita patuhi atau kita langsung menyampaikan masalah keberatan atau keluhan terhadap kebijaksanaan sang pejabat tersebut. Itu namanya menyampaikan usul atau saran. Bukan lagi kritikan namanya.

Kritikan tentang pendidikan memang perlu disampaikan dengan lugas, tajam dan langsung to the point, alias tidak bertele-tele. Sebuah kritikan yang penuh tenggang rasa dan basa basi bisa mengandung bahaya akan sampai ketujuan secara bias alias samar-samar.

Bisa jadi yang di kritik tidak dapat menangkap maksud pengkritik tapi dengan tafsiran yang keliru. Ini menyedihkan, karena tujuan utama sebuah kritikan dalam melihat jalannya pendidikan adalah menegakkan kebenaran sesuai dengan realita untuk meningkat mutu dan kualitas pendidikan yang selama ini cukup pantas kita sebut terpuruk dengan dana yang besar, konon ceritanya mencapai 20% dari APBN.

Sebuah kritikan tentang pendidikan harus di publikasikan atau disampaikan di depan forum Instagram, Fecebook, WhatsApp, di media cetak/online dan lain sebagainya, bukan tatap muka empat mata. Kalau seandainya saja, kalau sebuah kritikan tidak mengandung kebenaran, pasti akan di tertawakan dan ditolak masyarakat.

Kritikan yang mengandung kebenaran itu tetap beresiko menjatuhkan maupun membangun, bergantung pada pihak yang dikritik. Kalau pihak yang dikritik memang rapuh, dia akan segera jatuh. Tapi, kalau yang dikritik kuat (benar), justru akan semakin kukuh.

Manusia memang ditakdirkan sebagai makhluk sosial. Namun, sebenarnya dia tetap merupakan individu yang unik. Tak seorang pun di dunia fana ini yang sama dalam segala hal dengan orang lain. Namun, kecenderungan manusia sebagai makhluk sosial juga menjuruskan individu menuju keseragaman. Kalau menyangkut hal–hal yang sifatnya fisik, memang tidak masalah. Namun, kalau hal yang sama juga mulai menyangkut soal berfikir, masalahnya menjadi lain.

Banyak perubahan besar yang positif dimuka planet bumi ini terjadi justru karena individu–individu yang berani berpikir lain (aneh). Individu yang kuat memang siap untuk dicap aneh dan dikucilkan lantaran melawan arus massa kadang–kadang tak kalah anehnya. Orang bijak bilang “ jadilah orang aneh, karena orang-orang anehlah yang bisa merubah dunia”.

Dan kitapun juga berharap kepada para pengeritik yang mereka sampaikan melalui Instagram, Fecebook dan WhatsApp jangan asbun (Asal Bunyi). Tapi, ada solusi yang ditawarkan atau diajukan. Bukan karena sentiment (kepentingan) sesaat, yang penting hantam dengan prinsip cari kesalahan dengan bermacam argumentasi sebagai bahan pembenaran.

Kritikan yang muncul akhir–akhir ini (Pendidikan Guru Penggerak, Kemerdekaan Belajar, Pembelajaran Jarak Jauh atau Belajar Dari Rumah, kurikulum Covid-19 dan lain sebagainya ) dalam melihat jalanya proses pendidikan yang berkembang Instagram, Fecebook, WhatsApp atau di media cetak / online, sudah sewajarnya dibawa ketengah–tengah dialok dalam tataran nasional, dan menggerakan dialok, hingga nasib pendidikan kita jangan hanya diputuskan satu atau dua golongan saja yang berprestasi mana tahu mana yang baik bagi bangsa Indonesia yang besar ini. Hal ini harus menjadi perdebatan dan tukar pikiran dilembaga legislatif, dalam dunia pers dan diberbagai pentas lainnya.

Guru Profesional

Untuk menjadi guru yang sukses mencetak generasi emas, butuh pribadi yang bertanggungjawab. Salah satunya, jadilah guru profesional yang punya visi dan penuh inspirasi menjadikan anak didik kita nanti menjadi orang yang berguna minimal bagi dirinya pribadi. Karena mereka milik kehidupan yang akan datang, yang kita sendiri tidak mengetahui bagaimana kehidupan yang akan datang. Berilah mereka bekal apa yang terbaik yang kita miliki dengan otomatis generasi emas pasti akan terwujut tahun 2045 nanti.

Sekarang kita sangat memimpikan guru yang progresivitas (Kemampuan bergerak secara psikologis), yang mempunyai keyakinan tinggi terhadap kemanusiaan tidak terdesak oleh kepentingan tuntutan pemerintah yang sangat berambisi mengejar target melupakan proses. Guru harus idealis berada dalam situsasi yang tidak sehat.

Jadilah guru yang aneh, tanda petik, karena guru aneh yang bisa merubah aura dunia pendidikan kita kearah yang memiliki marwah dan siap bisa melahirkan generasi emas yang akan berkifrah di tahun 2045.

Ada hal yang tidak boleh hilang dalam hati seorang guru untuk mengwujutkan generasi emas ; harapan, keikhlasan dan kejujuran, maka marilah pelihara ketiganya di hati kita (guru) dengan sentuhan kasih sayang, cinta dan kebaikan. Serta lakukan dengan sesungguhnya agar membuat kita guru bisa meraih sukses mendidik anak bangsa, yakni ; tekad, kemauan, dan fokus.

Guru kita sekarang harus mempunyai kekuatan yang dapat membuat generasi sekarang menjadi generasi emas di tahun 2045, yang penuh tantangan, yang hanya dapat guru atasi dengan selamat dengan sebesar mungkin sikap ilmiah, rasional dan keterbukaan. Guru Memang Bukan Orang Hebat tapi semua orang hebat adalah berkat jasa seorang guru.

Guru kita harus belajar bersyukur walaupun dalam hidupnya selalu dalam kekurangan, guru harus belajar ikhlas meskipun terasa berat untuk menghadapinya/menerimanya, guru harus belajar bersabar meski terasa terbebani, guru harus belajar menghargai meskipun tidak dihargai profesinya, guru harus belajar tulus meskipun tersakiti dengan kebijakan yang ada, guru harus belajar jujur meskipun tak dipercaya, guru harus belajar merawat meskipun dalam kondisi sakit, guru harus belajar membahagiakan meskipun kesedihan selalu menghampiri, guru harus belajar untuk selalu tersenyum dihadapan peserta didik meskipun tak sanggup karena bebani hidup yang di jalani, guru harus belajar memaafkan meskipun dalam kondisi marah. Maka guru harus terus belajar karena hidup adalah belajar (Long Life Education).

Penutup

Untuk membawa dunia pendidikan yang bisa melahirkana generasi emas nantinya yang penuh tantangan, yang hanya dapat kita atasi dengan selamat, dengan sebesar mungkin sikap ilmiah, rasional, keterbukaan, kesediaan menerima kritikan dan koreksi, dengan pola yang horizontal dan egaliter agar terbuka, kemungkinan mengeluarkan pikiran–pikiran alternatif lewat proses kreatif yang bebas oleh sebanyak mungkin orang dalam stuktur yang benar–benar demokrasi dengan tidak mengeyampingkan hak-hak azasi manusia berlandasarkan moralitas keagamaan.

Dunia Pendidikan Indonesia akan bangkit lebih cepat lagi dengan potensi yang cukup pantas kita sebut menggembirakan, menjanjikan bila dikelola oleh mereka–meraka yang betul–betul professional dalam bidangnya. Kalau kita mulai belajar mengadopsi pemikiran–pikiran yang kritis yang sifatnya membangun dunia pendidikan.

Profesi guru adalah suatu pilihan terbaik untuk terus berbenah menyiapkan generasi emas menyonsong Indonesia Emas tahun 2045.
Akhirnya, satu harapan kita semua, semoga di ulang tahun republik Indonesia tahun ini dengan tema Indonesia Maju ini merupakan momentum langkah awal bangsa kita menyongsong Indonesia Emas tahun 2045. Dirgahayu RI. Selamat Ulang Tahun ke-75.

*Antropolog dan Wakasek Bid. Kurikulium SMAN 1 Timang Gajah yang berdomisi diseputaran Kota Takengon.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.