Oleh: Husaini Muzakir Algayoni*
“Selama Muhammadiyah dan NU bergandengan tangan, bangsa Indonesia tetap merasa aman dari ancaman radikalisme ekstrim.”
Gejolak intelektualisme di Indonesia pernah digoncang para pemikir modern setelah adanya proses reformasi pemikiran dalam Islam. Nama-nama yang menghiasi cakrawala pemikiran Islam di Indonesia seperti Murtadha Muthahhari, Ali Syari’ati, Jamaluddin al-Afghani, Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh.
Di Nusantara sendiri ada nama Nurcholis Madjid, Ahmad Wahib, Harun Nasution, dan Abdurrahman Wahid yang masing-masing memiliki karakter dan pesona dalam khazanah pemikiran Islam dan dinamika pembaruan dalam Islam.
Dalam Islam kata pembaruan dikenal dengan kata tajdid, yang mana secara etimologi berasal dari bahasa Arab jaddada (memperbarui) adalah menghidupkan kembali apa yang telah dilupakan/ditinggalkan dari ajaran-ajaran agama guna mereformasi kehidupan kaum Muslim secara umum ke arah yang lebih baik.
Dalam sejarah Islam terdapat beberapa mujadid dan bentuk-bentuk tajdid yang dilakukannya. Misalnya Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, memerangi kaum murtad dan memulai gerakan ekspansi Islam. Umar bin Khattab, memperluas daerah ekspansi. Usman bin Affan, mengumpulkan Alquran dalam satu mushaf, dan Ali bin Abi Thalib memerangi Khawarij.
Melihat apa yang dilakukan oleh empat khalifah di atas semata-mata untuk menghidupkan dan membangkitkan agama dalam kehidupan, dalam memahami agama terdapat dua paradigma, tradisional dan modern. Di Indonesia terdapat dua gerakan dalam pembaruan Islam, yaitu, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Dua gerakan ini unik dan menarik untuk dikaji bagi mahasiswa khususnya dan umat Islam pada umumnya, dua gerakan pembaru ini mempunyai pengikut serta paradigma tersendiri dalam pembaruan. Walaupun berbeda, justru inilah khazanah kekayaan budaya maupun pemikiran Islam di Indonesia. Karena itu, dalam tulisan singkat ini akan dibahas sekilas tentang Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan pada 18 Zulhijjah 1330 H, bertepatan dengan 18 Desember 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan, yang dibentuknya pada 20 Desember 1912. Mustafa Kemal Pasha dan Ahmad Adaby Darban dalam (Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam: Perspektif Historis dan Ideologis, 2003) mengatakan secara garis besar faktor utama yang melatarbelakangi berdirinya adalah:
Pertama, faktor subjektif, ini dapat dikatakan sebagai faktor utama dan penentu yang mendorong berdirinya Muhammadiyah. Gerakan ini merupakan hasil pendalaman Ahmad Dahlan terhadap Alquran.
Selain gemar membaca Alquran Ahmad Dahlan juga mengkaji isi kandungannya. Sikap ini pula yang dilakukannya ketika mengakaji QS. Ali Imron: 104. Dalam memahami ayat ini, tergerak hatinya membangun sebuah perkumpulan yang teratur yang tugasnya berkhidmat melaksanakan dakwah Islam.
Kedua, faktor objektif, beberapa sebab yang bersifat objektif yang melatar belakangi berdirinya Muhammadiyah, yang dapat dikelompokkan dalam faktor internal, yaitu faktor yang muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat Islam dan eksternal yaitu faktor yang ada di luar tubuh masyarakat Islam Indonesia.
Ketiga, faktor objektif bersifat internal, yakni ketidakmurnian ajaran Islam akibat tidak dijadikan Alquran dan Sunnah sebagai satu-satunya rujukan oleh sebagian besar umat dan lembaga pendidikan yang dimiliki umat Islam belum mampu menyiapkan generasi yang siap mengemban misi selaku khalifah Allah.
Keempat, faktor objektif eksternal, semakin meningkatnya gerakan kristenisasi di tengah-tengah masyarakat Indonesia dan penetrasi bangsa Eropa terutama bangsa Belanda ke Indonesia.
Selanjutnya langkah pembaruan Muhammadiyah dipandang mempunyai peran penting dalam menyebarkan ide-ide pembaruan Islam dan juga penarik gerakan reformis Indonesia. Luasnya cakupan reformasi Muhammadiyah tidak hanya bergerak dalam tataran reformasi pendidikan tetapi juga di berbagai bidang seperti menjadi pelopor pendirian panti-panti asuhan, rumah sakit, dan lain sebagainya.
Soetomo terkesan terhadap nilai profetik kemanusiaan berbasis ke-welas asih-an yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan. Rasionalisasi fungsional yang melahirkan etika welas asih (cinta kasih) bisa disebut sebagai paradigma pembaruan Ahmad Dahlan dalam merealisasikan ajaran Islam yang dipahami Ahmad Dahlan dalam praktik kehidupan sosial.
Pembaruan yang dilakukan Muhammadiyah bersifat reformasi, merintis pendidikan modern yang memadukan pelajaran agama dan umum. Menurut Kuntowijoyo, gagasan pendidikan yang dipelopori Ahmad Dahlan, merupakan pembaruan karena mampu mengintegrasikan aspek iman dan kemajuan, sehingga dihasilkan sosok generasi terpelajar yang mampu hidup di zaman modern tanpa terpecah kepribadiannya. (Kuntowijoyo: 1985).
Muhammadiyah dikenal luas karena keberhasilan mengelola pendidikan sejak gerakan ini didirikan, Kiai Ahmad Dahlan menggerakkan perempuan memperoleh ilmu, melakukan aksi sosial di luar rumah yang revolusioner. Perempuan didorong meningkatkan kecerdasan melalui pendidikan formal dan nonformal, gaung feminisme Eropa belum menyentuh langit Nusantara, Kartini belum muncul di pentas nasional, tetapi Ahmad Dahlan sudah mendirikan perkumpulan perempuan yang dikenal dengan nama Aisyiah yang diresmikan 5 Januari 1922.
Langkah pembaruan yang digerakkan Muhammadiyah membuka cara berpikir umat Islam di Indonesia, terutama dengan jalan pendidikan yang menggunakan konsep modern, pada awalnya banyak ditentang oleh sebagian umat Islam karena dipandang sekuler dan haram, dewasa ini umat Islam menggunakan konsep pendidikan Muhammadiyah yang berkonsep modern dan juga membuka diri belajar kepada siapa dan di mana pun untuk menambah ilmu.
Oleh karena itu, Abdul Munir Mulkhan mengatakan bahwa secara kultrural, pemeluk Islam di Indonesia, bisa disebut sebagai pengikut Muhammadiyah, walaupun secara struktural mayoritas mengaku anggota Nahdlatul Ulama. Tidak lagi menolak sekolah moderrn, perempuan pergi ke sekolah dan bekerja di luar rumah, aktivitas-aktivitas umat Islam, baik itu dalam pemerintahan dan sosial dikelola dengan manajemen modern.
Nahdlatul Ulama
Nahdlatul Ulama, selanjut disingkat dengan NU lahir sebagai penerus estafet dari apa yang diperjuangkan oleh Walisongo yang menjadi penyebar agama Islam di pulau Jawa yang mengikuti irama Ahlussunnah yang dilestarikan dari generasi ke generasi, amalan-amalan beraliran sunni mengikuti mazhab Syafi’i dalam kajian fikih dan Abu Hasan al-Asy’ari dalam teologi.
Ajaran Islam yang dibawa oleh Walisongo mudah diterima oleh masyarakat Jawa sebab toleransinya dengan adat atau budaya lokal dengan sangat bijak, para penyebar Islam mendekati pribumi dengan cara persuasif, mengakulturasikan budaya yang ada dengan ajaran Islam sehingga penduduk lokal tidak mudah tersinggung dengan ajaran yang dibawa oleh penyebar agama Islam.
Lahirnya NU tidak lepas dari gerakan kaum Wahabi di Hijaz yang ingin menyebarkan purifikasi dalam menjalankan agama yang menganggap selama ini penuh dengan bid’ah dan khurafat. Wahabi diawali Muhammad bin Su’ud dan Muhammad bin Abdul Wahab pada 1790-1805. Ajaran Wahabi kemudian meluas ke Nusantara dan terpengaruh dengan ajarannya yang ingin memurnikan Islam.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa cikal bakal lahirnya NU berasal dari Wahab Chasbullah pada 1924. Namun ketika itu belum direstui oleh Hasyim Asy’ari, di kalangan tradisionalis ulama yang cukup disegani. Melihat kelompok modernis dipandang tidak menghormati kelompok tradisionalis, maka Asy’ari pun menyetujui pendirian NU pada 31 Januari 1926. Dengan kata lain bahwa Wahab Chasbullah menawarkan konsep dan kemampuan organisatoris sementara Hasyim Asy’ari memberikan legitimasi keagamaan.
Dari penjelasan di atas tentang cikal bakal lahirnya NU, ada dua alasan yang bisa ditarik kesimpulan. Pertama, NU ingin mempertahankan tradisi dan yang kedua kaitannya dengan gerakan kaum Wahabi yang ada di Hijaz. Sebagaimana diungkapkan oleh Deliar Noer yang berpendapat bahwa NU didirikan dengan dua maksud, yaitu untuk mengimbangi Komite Hijaz yang secara berangsur-angsur jatuh ke tangan golongan pembaru dan untuk berseru kepada Ibnu Saud, penguasa baru di tanah Arab, agar kebiasaan beragama secara tradisi dapat diteruskan.
Basis NU adalah masyarakat pesantren yang memandang bahwa tradisi klasik merupakan suatu keharusan yang harus dipegangi umat Islam. Karena itu, doktrin yang dikembangkan dan dipertahankan adalah Ahlusunnah wal-Jama’ah. Doktrin ini digunakan Muslim tradisionalis untuk membedakan dengan Muslim modernis dan pada saat yang sama untuk melindungi diri dari gerakan pembaruan yang dilancarkan oleh Muslim modernis.
Oleh karena itu, peneliti Kamaruzzaman Bustamam Ahmad mengistilahkan doktrin ‘trilogi pemikiran NU’ yaitu mengikuti Asy’ari dan al-Maturidi dan bertauhid (teologi), menganut salah satu mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) dalam fikih, dan mengikuti paham al-Junaidi, al-Baqillani, dan al-Ghazali dalam tasawuf. Karena itu, dalam tradisi pemikiran NU, warna-warna pemikiran diluar trilogi tersebut jarang sekali diterima.
Keberhasilan NU menghimpun pengikut yang besar sehingga menumbuhkan solidaritas dan integritas yang kuat dan menjadikan NU sebagai salah satu kekuatan sosial politik, kultural dan keagamaan yang berpengaruh selama bertahun-tahun. Gagasan yang pertama kali ketika NU dibentuk bukanlah dari wawasan politik, melainkan dari wawasan sosial keagamaan. Meskipun demikian wawasan tersebut tidak lantas menjadikan NU mengabaikan soal-soal politik.
Bahkan pemikiran NU dalam berpolitik mempunyai sikap, yaitu: al-tawasut, seorang Muslim harus berbuat secara moderat dalam berbagai bidang kehidupan. al-i’tidal, yaitu bahwa Muslim harus menegakkan keadilan dan al-tawazun yaitu seorang Muslim harus menunjukkan keseimbangan dalam perbuatan.
Dalam sejarah pemikiran dalam Islam, terdapat pemikiran-pemikiran yang menyalahi ajaran Islam itu sendiri. Salah satunya adalah gerakan radikalisme yang berujung pada sikap intoleransi sehingga meresahkan kehidupan berbangsa dan beragama di Indonesia.
Islam sebagai agama mesti hadir dalam menawarkan ideologi keagamaan yang moderat yaitu dengan moderasi beragama dalam mengatasi radikalisme. Moderasi Islam diposisikan menjadi arus utama pendidikan Islam di Indonesia, prinsip moderasi merupakan perspektif pemersatu dalam keberagaman sehingga keberadaannya di negara multikultural.
NU dan Muhammadiyah adalah gerakan pembaru Islam terbesar di Indonesia dan organisasi sosial keagamaan yang unik dengan karakteristiknya masing-masing. Karena itu, dua kelompok gerakan Islam ini (pengikutnya) harus bisa membawa wajah Islam pada agama cinta, kedamaian, toleran, dan ramah serta menangkal pemikiran radikalisme ekstrem yang tidak memanusiakan manusia.
Menurut hemat penulis, jika ditelisik secara mendalam akar lahirnya Muhammadiyah dan NU dengan sikap objektif, Indonesia bangga mempunyai dua organisasi Islam ini, walaupun mempunyai epistemologis yang berbeda, tetapi mempunyai pergerakan hati dan pikiran yang sama yaitu menjaga nilai-nilai ajaran Islam, rasa sosial kemanusiaan dan sikap nasionalisme yang tinggi.
Sejak lahirnya Muhammadiyah, yang dilakukan gerakan ini membangkitkan kondisi umat Islam dan bangsa indonesia menuju cita-cita yang berkemajuan, baik dalam beragama maupun dalam berbangsa. Sementara NU berusaha menjaga nilai-nilai keislaman secara tradisi, mengusung konsep secara moderat di tengah-tengah kehidupan multikultural.
Nasihat menyejukkan dari Ahmad Syafii Maarif dalam kata pengantarnya di buku “Jejak Pembaharuan Sosial dan Kemanusiaan: Kiai Ahmad Dahlan” yang mengatakan bahwa kekuatan umat non-Muslim bukan kepada Islam, tetapi kepada penafsiran Islam oleh kelompok kecil yang beringas dengan kultur kekerasan semi primitif, sebagaimana yang sering muncul belakangan ini.
Sebenarnya bukan hanya umat non-Muslim yang khawatir terhadap gaya hidup semi preman, tetapi mayoritas umat Islam pun merasa gusar dengan cara-cara yang jauh dari etika. Buya Syafii menyarankan kepada barisan intelektual muda untuk toleran dan berilmu, baik dari Muhammadiyah dan NU dalam beragama sehingga corak Islam bisa ditampilkan dengan agama yang ramah dalam rangka menampilkan Islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan. Selama Muhammadiyah dan NU bergandengan tangan, bangsa ini tetap merasa aman dari ancaman radikalisme ekstrim.
Bahan Bacaan:
– Abdul Munir Mulkhan. Jejak Pembaruan Sosial dan kemanusiaan: Kiai Ahmad Dahlan. Jakarta: Kompas, 2010.
– Amirul Ulum. Muassis Nahdlatul Ulama: Manaqib 26 Tokoh Pendiri NU. Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2016.
– Kamaruzzaman Bustamam Ahmad. Akar Intelektual Politik Islam di Indonesia. Aceh: Sahifah, 2018.
– M. Ali Haidar. Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dan Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994.
– Potensia: Jurnal Kependidikan Islam, “Muhammadiyah: Gerakan Pembaruan Pendidikan Islam” Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni 2018. [ ]