Oleh : Teuku Fadli*
Babak 16 Besar Liga Champions Eropa , dengan segala drama yang menyertainya sudah resmi berakhir. Rata-rata tim yang maju sudah diperkirakan sebelumnya. Termasuk tersingkirnya Real Madrid oleh Manchester City. Kejutan tahun ini datang dari Italia, dalam konteks positif dan negatif.
Kejutan positif datang dari Atalanta. Klub asal Provinsi Lombardia dari kota pinggiran Bergamo yang selama ini timbul tenggelam di bawah bayang-bayang AC Milan dan Inter Milan, dua klub asal ibukota provinsinya. Tahun ini malah melaju ke perempat final. Pencapaian tertinggi klub Italia tahun ini.
Kejutan negatif datang dari Juventus, juara Italia berturut-turut nyaris satu dekade terakhir. Tim yang diperkuat megabintang Ronaldo ini disingkirkan Olimpique Lyon. Klub lapis kedua dari Liga Prancis.
Dengan kekalahan itu, berita pemecatan Maurizio Sarri, pelatih mereka adalah sesuatu yang sangat mudah untuk diduga. Jangankan pemecatannya, bahkan kegagalan Sarri di dunia pelatihanpun adalah sesuatu yang sama sekali tidak mengejutkan.
Maurizio Sarri, pelatih yang seperti Arrigo Sacchi, pelatih legendaris AC Milan. Tak memiliki pengalaman sebagai pemain ini, sukses menerapkan filosofi permainannya yang akan menjadi kegaduhan di dunia sepakbola
Apa yang ada di pikiran Sarri sebenarnya?
Dari banyak referensi, kita membaca bahwa dia menginginkan semua pemain terlibat dan bergerak mengikuti irama permainan. Dengan kata lain, semua pemain terlibat dalam semua aspek permainan.
Apakah itu bertahan, menyerang, atau terlibat dalam menjaga penguasaan bola. Apakah keinginan seperti ini adalah hal yang terlalu muluk bagi seorang pelatih? Jawabannya jelas tidak, jika Sarri melatih di era 80’an ke bawah.
Di era 80’an ke bawah, pemain masih banyak sekali yang mendedikasikan diri untuk sepakbola. Tentu dengan berbagai alasan pribadi. Dan terpenting dari semuanya, adalah fakta bahwa banyak dari mereka (para pemain itu) yang menikmati sekali pertandingan sepakbola.
Bagaimanakah sebenarnya kita menikmati sepakbola…? Ingatkah kawan-kawan, masa-masa kita bermain sepakbola di lapangan-lapangan sekolah dibawah guyuran hujan.
Posisi masing-masing pemain dalam permainan nanti, kita sepakati sesaat sebelum pertandingan dimulai. Tapi akhirnya, ketika pertandingan berlangsung. Semua pemain ingin maju waktu menyerang dan semua disuruh mundur waktu tim diserang.
Hanya segelintir kawan, anggota tim yang sabar menunggu di bawah , ketika timnya menyerang. Makanya saya pernah bermain dengan posisi sebagai bek, tapi banyak mencetak gol. Semua pemain ingin diberi bola dan mendapatkan bola dalam pertandingan. Fenomena seperti itulah yang terjadi pada tim Belanda-nya Johan Cruijff.
Masa itu adalah masa di mana, mungkin sekali untuk mengatur para pemain supaya mau bergerak kemana saja ke sisi lapangan yang kosong dan bisa menerima bola.
Buktinya mungkin adalah final Piala Dunia 1974. Belanda melawan Jerman yang memperlihatkan bagaimana Jerman juga bermain seperti Belanda yang itu, sehingga membuat Belanda bertekuk lutut
Tapi di era 90’an ke ata. Ketika kepopuleran, gaya hidup dan uang besar menjadi warna dominan sepakbola profesional.
Dedikasi dan semangat manusia jadi bekurang drastis, membuat ada istilah yang kerap kita dengar dalam sepakbola, diutarakan oleh pihak pemain, apakah itu agen atau lingkungan terdekatnya :
“Pemain kami diberi posisi yang tidak ideal”
“Bagaimana pemain bisa maksimal kalau dia harus ikut membantu pertahanan?”
“Pelatih memberi tanggung jawab terlalu besar bagi si pemain”
“Suplai bola ke pemain saya kurang”
“Pemain tengah harus lebih baik lagi memberi pelayanan kepada pemain depan”
Hahahahahaha…Lucu tapi sudah menjadi kelaziman yang menjurus klise.
Zaman sekarang, pelatih memang masih menjadi penentu komposisi pemain di dalam tim yang akan bertanding. Tapi celakanya, para pemain yang mereka pilih tersebut, berpuluh kali lebih besar gajinya dan terkenalnya dan gantengnya di bandingkan mereka, para pelatih. Hahahahaha (mati lah pelatih kalau ini yang di hadapi pelatih jaman dulu)
Bahkan ada bintang yang digadang-gadang sebagai bintang besar, ketika ditransfer ke Serie — A yang kala itu adalah raja-nya kompetisi sepakbola dunia. Ketika mereka belajar bahasa Italia, kata pertama yang mereka pelajari adalah “Stanco” yang berarti “Lelah”
Dan ajaibnya, dunia pun mengangguk ketika pemain menyampaikan protes bahwa dia bekerja terlalu keras di lapangan.
Jadi, sekarang pemain mau mudahnya saja dengan alasan enjoy bermain di posisi kesukaannya. Mayoritas pelatih mengiyakan keinginan itu dan membuat skema permainan umum seperti yang kita lihat sekarang ini.
Lalu datanglah Sarri. Dia ingin berbuat lebih. Dia ingin semua pemain terlibat dalam permainan. Dia ingin semua pemain bergerak untuk mendapatkan bola dan untuk mempertahankan gawang.
Apa yang dia ingin buat itu, seperti ingin menggali Total Football-nya Johan Cruijff. Tapi Sarri, anda terlalu tinggi bermimpi.
Adalah hal gila, meminta Ronaldo bergerak seperti yang Sarri inginkan itu (dalam usia sekarang dan kebutuhan popularitas sebagai pencetak gol). Ini sama seperti kita meminta Messi untuk bertahan dan mencari bola.
Bahkan sekarang, pemain tengah pun punya spesifikasi “beroprasi di sayap atau sebelah kiri atau di sebelah kanan”
Dan kepada para bek, kalau menurut bahasa saya “mati aja sekalian kalian semua” kalau minta pemain sekelas Ronaldo atau Messi atau Oezil atau yang sejenisnya untuk bertahan.
Nah Sarri, sadarlah. Anda tidak hidup di jaman yang tepat.
Juventus membeli CR7 untuk memenangkan Liga Champions. Juventus berlomba dgn usia CR7. Juventus tak bisa menunggu 2 atau 3 tahun lagi, karena besarnya biaya dan gaji yang dikeluarkan untuk CR7. Juventus ingin menjuarai Liga Champions, saat ini juga bahkan kalau bisa, detik ini juga.
Jadi….
Selamat jalan Sarri.
Latihlah klub klub papan tengah yang masih diisi banyak pemain medioker yang ingin terkenal. Mereka ini mau melakukan apa saja untuk berada dalam lapangan. Dan klub-klub itu seperti itu, juga biasanya mencari sesuatu yang aneh. Supaya klubnya mendapat perhatian.
*Pemerhati Sepak Bola





