Oleh : Dr. Marah Halim, S.Ag., M.Ag., MH*
Menurut cerita orang-orang yang pernah kuliah di Timur Tengah seperti di Mesir, fakultas hukum disebut dengan kulliyatul huquq, bukan kulliyatul hukum seperti sebutan di Indonesia. Pilihan pada huquq mengambil aspek substantif dari hukum itu, yakni hak-hak yang melekat atau seharusnya melekat pada setiap individu manusia. Karena itulah pembagian jurusan di fakultas hukum/syari’ah berkaitan dengan jenis-jenis hak yang harus diindungi.
Hukum perdata menyangkut hak-hak keperdataan seseorang atau badan hukum, hukum pidana menyangkut hak-hak keselamatan seseorang atau badan hukum dari tindak kejahatan. Hukum tata negara berkaitan dengan hak atau kewenangan yang dimiliki oleh jabatan atau lembaga. Hukum internasional mengenai hak-hak yang terkait dengan hubungan masyarakat internasional.
Hukum itu bukan sepenuhnya undang-undang, meski isi suatu undang-undang atau peraturan adalah hukum, tapi undang-undang hanya wujud hukum yang disepakati sementara, untuk menjadi instrumen melindungi hak-hak individu dan badan hukum.
Tetapi undang-undang belum tentu merupakan representasi terbaik dari hukum, kalaupun dianggap demikian untuk sementara boleh, tetapi kalau untuk jangka waktu lama tidak boleh, sebab bisa jadi UU itu tidak relevan lagi dengan fungsinya, atau bisa jadi telah disalahgunakan fungsinya oleh politik karena menguntungkan suatu pihak, karena itulah undang-undang atau peraturan apapun tidak boleh diangap sebagai hukum yang sempurna.
Karena hukum itu hak-hak-lah maka ia bisa dipelajari dengan dinamis. Karena hak (kebenaran) menyangkut hal-hal yang membawa kebaikan bagi individu atau masyarakat dan menghindarkan dari hal-hal yang membawa keburukan dan kerusakan hidup.
Ilmu sebagai timbangan kebenaran
Fungsi hukum itu relevan dengan kebudayaan, artinya manusia dengan akal pikirannya pasti bisa menemukan hal-hal yang lebih dapat membuat kehidupannya menjadi lebih baik, karena itulah hukum juga identik dengan mempertahankan capaian kesadaran manusia.
Karena setiap ilmu adalah capaian kesadaran manusia maka akan berpengaruh pada capaian atau upaya menetapkan hal-hal yang positif itu sebagai hak-hak karena akan membawa kebaikan.
Jadi, untuk mengklaim sesuatu perilaku sebagai hak dalam arti hukum, maka harus diserahkan kepada ilmu pengetahuan (sains) untuk membuktikannya secara obyektif, bukan klaim obyektif yang menentukan suatu perbuatan sebagai hak.
Begitu pula, atas capaian ilmu pengetahuan, sesuatu dianggap membawa bahaya kepada masyarakat, maka jika tidak ada hukum yang mencegah hal yang membahayakan itu, maka hak masyarakat terhindar dari hal-hal yang merusak dan merugikan.
Dalam konteks inilah hubungan antara kebenaran sebagai ilmu dan kebenaran sebagai hak dipertemukan. Bahwa sesuatu yang dijadikan hak bersama manusia harus bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Inilah yang bisa dijadikan dasar untuk menolak perilaku LGBT misalnya, yang dianggap sebagai hak asasi manusia oleh sebagian elemen masyarakat bahkan masyarakat dunia, karena dari ilmu apapun perilaku itu pasti tidak bisa ditemukan korelasinya dengan kebenaran secara ilmu.
Dalam bahasa Inggris, istilah hak juga sama dengan kata yang berarti benar, yaitu right. Ini menarik, Barat dan Timur sepakat bahwa setiap yang dijadikan hak, apalagi mengatasnamakan hak asasi manusia, harus kebenaran yang benarnya dapat dibuktikan secara ilmiah oleh siapapun di belahan dunia manapun. Jika suatu masyarakat seperti masyarakat Nabi Luth mengatakan bahwa praktik LGBT itu hak asasi mereka, maka mereka harus bisa membuktikan bahwa perbuatan itu membawa manfaat dan menghindarkan manusia dari mudarat.
Kata “right” juga digunakan untuk menunjuk arti “kanan” dalam bahasa Inggris, hal ini sesuai dengan semua hal yang berkaitan dengan kanan identik dengan perbuatan baik. Semua orang menggunakan tangan kanan untuk pekerjaan yang baik-baik, lagi pula organ sebelah kanan seperti kaki dan tangan lebih bertenaga dibandingkan dengan organ yang sebelah kiri. Karena itu, arti kanan menunjukkan hal-hal yang lebih baik dibandingkan kiri.
Jadi, sesuatu yang layak dijadikan hak dan diberlakukan untuk semua manusia harus melalui proses pembuktian kebenaran secara ilmu. Karena itulah hak dalam Islam harus dibangun berdasarkan ilmu. Karena itu tidak salah jika dalam Islam semuanya diukur dengan ilmu. Jadi, orang-orang berilmu-lah yang bisa menetapkan sesuatu sebagai hak, tergantung masing-masing urusan.
Jadi, konsep fiqh klasik ataupun filsafat hukum Islam klasik yang menyatakan bahwa ada hak Allah dan ada hak manusia itu perlu direkonstruksi; sebab hak (kebenaran) itu dari Allah sendiri sebagai simber nilai, pembuktiannya atau penerapannya untuk dan oleh manusia manusia. Dalam al-Qur’an dikatakan bahwa “al-haqqu min Rabbika fala takunanna minal mumtarin”, kebenaran itu dari Allah, tidak perlu diragukan lagi.
Karena itulah setiap aspek kehidupan manusia yang telah terbukti kebenarannya sebagai hak manusia dalam kehidupan sesamanya, karena akan membawa kebaikan dan menghindarkan manusia dari keburukan.
Jadi keliru kalau sebuah fakultas hukum hanya mengajarkan mahasiswanya tentang undang-undang, bukan mengkritisi isi undang-undang apakah sudah “merekam” kebenaran dengan baik. Jika belum, maka itulah yang harus diperbaiki dan disempurnakan sesuai dengan capaian ilmu pengetahuan masing-masing, misalnya masalah ekonomi, maka hasil capaian ilmu bidang ekonomi-lah yang dijadikan dasar untuk menetapkan sesuatu sebagai hukumnya.
Hak manusia semata
Hak (kebenaran) itu ditetapkan Allah untuk manusia, bukan untuk dirinya. Manusia diminta untuk membaca (iqra’) untuk membuktikannya, dan ketika sudah terbukti maka disepakati sebagai pedoman bersama.
Untuk mengetahui kebenaran itu harus dengan ilmu pengetahuan sebagai pembuktiannya, jadi yang disebut ahli hukum itu adalah semua orang yang bisa sampai kepada kebenaran yang dibangun Allah, jika terbukti maka berlaku sebagai hukum. Hak itu kebenaran yang didapat melalui ilmu pengetahuan, sudah pasti milik Allah dan bukan milik manusia, jadi hukum itu ada yang mempertahankan hak manusia.
Jadi, perintah membaca itu adalah perintah untuk meneliti (research) kebenaran yang telah ditetapkan Allah, apa-apa yang membawa kebaikan dan manfaat dalam kehidupan maka harus ditetapkan sebagai hak (hukum) bagi semua manusia untuk melindungi kepentingan dan memenuhi kebutuhan manusia. Karena itulah manusia tidak boleh mengklaim diri sebagai kebenaran (hak)seperti Fir’aun dan Namruz, sebab itu sangat subyektif.
Kebenaran yang bisa dibuktikan oleh ilmu adalah kebenaran yang obyektif, seperti klaim bahwa LGBT itu hak, jika hanya merupakan klaim yang subyektif dan diterapkan di komunitas tertentu saja, tidak bisa dianggap sebagai hak asasi manusia karena kebenarannya tidak bisa dibuktikan secara ilmiah; dimanapun di dunia ini praktik itu dianggap menyimpang dan melakukannya terbukti membawa kemudharatan, bukan hanya kepada pelakunya, tetapi juga kepada orang lain.
Hak artinya kebenaran yang dijadikan pedoman bersama aturan bersama dari hasil kajian atau temuan ilmu yang benar. Jadi, setiap aturan sesungguhnya adalah hal-hal yang sudah teruji akan membawa kebaikan bagi manusia. Sebaliknya, yang bukan hak, yaitu bathil artinya hal-hal yang juga harus dibuktikan secara obyektif bahwa itu merugikan atau tidak manusiawi bagi manusia dan kemanusiaan.
Sebagai penutup, suatu ketentuan hukum yang berisi penetapan kebenaran-kebenaran (hak) dikatakan adil jika bisa menyeimbangkan antara kebenaran yang dibangun oleh ilmu dengan kepatutan ketika diterapkan. Misalnya hukuman memperkosa, harus sebanding dengan kebenaran yang dibangun atau yang disepakati atas bahaya pemerkosaan terhadap korban. Jika dirasa antara bahaya dan kerugian tidak sebanding, maka bisa dianggap tidak adil.
Karena itu, patokan yang dijadikan dasar untuk merumuskan hukuman mencuri adalah naskah akademik, yaitu konsep dasar untuk merumuskan suatu ketentuan yang berisi pengaturan hak. Di pengadilan pun, jika hak dilanggar, maka kesaksian yang penting berasal dari saksi ahli, yakni pakar yang bisa menjelaskan kebenaran yang dicederai oleh pelaku pidana serta membeberkan bahaya dari perbuatan itu bagi masyarakat. []