Serba-serbi Kisah dan Dinamika Pergerakan Nasional di Gayo

oleh
Tokoh Pergerakan Kemerdekaan Indonesia dari Gayo. (Kiri ke kanan : Chabar Ginting, A.R Hadjat, Anwar Badan, Abdul Wahab dan Mude Sedang). Sumber : Sumatran Politics and Poetics, Gayo History 1900-1989

Oleh : Win Wan Nur*

Saya adalah generasi Gayo yang lahir, besar dan mendapatkan pendidikan dasar, menengah dan tinggi di masa Orde Baru.

Pada masa itu, kurikulum pelajaran sejarah nasional Indonesia, dirancang sangat jawa sentris. Sehingga saya dan semua generasi seangkatan saya yang besar pada masa itu. Begitu paham sejarah pergerakan kemerdekaan di Jawa, tapi nyaris tidak tahu apa-apa tentang pergerakan kemerdekaan di daerah kita sendiri.

Padahal, pada masa itu, dinamika pergerakan nasional di Gayo tak kurang maraknya.

Sebagai bukti nyata, maraknya aktivitas pergerakan kemerdekaan ini, terbaca dalam MvO (Memorie van Overgave) yang merupakan laporan akhir tahun dalam administrasi pemerintahan Belanda.

Pada tahun 1933, dalam MvO ini, pemimpin tertinggi pemerintahan Belanda di Takengen menulis; “ Pendidikan telah membuat orang-orang dataran tinggi ini menjadi pembuat onar. Pendidikan telah membuat mereka terpengaruh oleh gagasan-gagasan kaum ekstrimis.”

Catatan ini adalah bukti bahwa Gayo juga tidak luput dari hiruk pikuk pergerakan nasional yang berpunca pada proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.

Sebagaimana yang kita pelajari dalam pelajaran sejarah nasional di sekolah. Munculnya aktifitas pergerakan kemerdekaan Indonesia tak bisa dilepaskan dari munculnya kelas terdidik di masyarakat Hindia Belanda.

Kelas inilah yang kemudian membuka kesadaran masyarakat tentang penjajahan dan memunculkan keinginan untuk merdeka.
Munculnya aktivitas pergerakan ini tak bisa dilepaskan dari politik etis yang saat itu marak dikumandangkan orang Belanda.

Berawal dari tahun-tahun akhir abad ke-19, ketika tulisan-tulisan Pieter Brooshooft di Koran De Locomotief yang kemudian didukung oleh politisi anggota parlemen Belanda C.Th. van Deventer akhirnya membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para pribumi Hindia yang terbelakang.

Kuatnya desakan dari wartawan, politikus dan SJW Belanda. Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta berpidato pembukaan Parlemen Belanda, dengan menegaskan bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Negeri yang sumber daya alam dan manusianya, dihisap habis-habisan oleh Belanda.

Tapi, pemerintah Belanda yang sebenarnya geram pada ulah SJW ini, memperkirakan kalau masyarakat terdidik akan memberikan kesulitan pada mereka.

Karena itulah, pada awalnya pemerintah Belanda menyalahgunakan desakan politik etis ini dengan hanya membatasi pendidikan ini pada pengajaran kemampuan dasar, baca tulis dan ilmu aritmetika yang paling dasar.

Strategi ini mereka ambil karena, dalam hitung-hitungan mereka. Strategi ini paling menguntungkan. Mengapa?

Itu karena dengan membatasi pendidikan pada pengajaran ini. Secara normatif meraka sudah menjalankan amanat politik etis (balas budi). Tapi sebenarnya, di sisi lain, dengan adanya pribumi yang memiliki kemampuan dasar itu, mereka juga memperoleh keuntungan besar. Sebab dengan memiliki kemampuan dasar ini. Para pribumi sekolahan ini bisa dipekerjakan dalam pekerjaan-pekerjaan mencatat dan menghitung di pemerintahan dan perusahaan-perusahaan eropa yang bertebaran di seluruh Hindia. Mereka tak perlu lagi mendatangkan orang eropa yang bergaji mahal untuk melakukan pekerjaan remeh-temeh seperti itu.

Politik etis secara formal sudah mereka jalankan. Tapi yang untung mereka juga, karena dengan adanya pendidikan dasar itu, mereka jadi memiliki tenaga kerja murah yang melimpah. Yah namanya juga Belanda, mana mau rugi.

Untuk sekolah lanjutan, apalagi sampai ke tahap perguruan tinggi. Belanda hanya memperuntukkannya untuk anak-anak kaum ningrat dan bangsawan. Perhitungannya tentu saja karena para ningrat dan kaum bangsawan ini adalah “partner in crime” mereka dalam menghisap hasil bumi dan menindas rakyat Hindia. Logikanya, mereka sudah diberi hidup enak, mana mungkin mereka mau kehilangan hak-hak istimewa itu karena melawan Belanda.

Tapi Belanda ternyata salah perhitungan.

Anak-anak ningrat dan bangsawan yang mereka didik sampai perguruan tinggi. Setelah mengenal dunia. Mereka berkorespondensi dengan para pelajar dan kelompok terdidik lain di seluruh penjuru dunia, terutama eropa. Malah bangkit kesadaran berbangsanya.

Anak-anak para bangsawan yang berpendidikan tinggi inilah yang memotori aktivitas pergerakan nasional dan di kemudian hari kita kenal sebagai bapak-bapak bangsa.

Di tingkat nasional kita mengenal tokoh-tokoh pergerakan seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Husni Thamrin dan berbagai nama besar lain.

Gayo yang pada masa itu merupakan wilayah jajahan Belanda juga tak lepas dari semangat pergerakan nasional ini. Tapi karena Gayo termasuk wilayah terakhir yang dimasuki Belanda di seluruh kepulauan Hindia. Munculnya kelas terdidik ini di Gayo, juga agak terlambat dibandingkan daerah lain.

Sekolah Desa yang mendidik siswa selama tiga tahun, baru dibuka di Takengen pada tahun 1913. Kemudian delapan sekolah sejenis dibuka pada tahun 1934.

Sekolah dengan masa pendidikan 6 tahun baru dibuka pada tahun 1934 dan memiliki 216 siswa pada tahun 1940.

Beberada gelintir pemuda Gayo yang terdiri dari putra-putra reje kampung dan wilayah, dikirim ke luar daerah oleh pemerintah Belanda untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi.

Sebagian dari mereka melanjutkan studinya di Pematang Siantar dan sebagian lagi di Kuta Raja.

Keputusan mengirim putra-putra Gayo untuk menempuh pendidikan di luar daerah ini, akhirnya disadari oleh Belanda adalah sebuah kesalahan. Itulah yang kemudian menjadi penyebab munculnya tulisan dalam laporan akhir tahun yang saya kutip di atas.

1928, tahun dimana Sumpah Pemuda diikrarkan. Tiga orang pemuda Gayo membuka cabang PNI yang diketuai Soekarno, di Takengen.

Ketiga orang ini dipimpin oleh Abdul Wahab, putra Reje Gunung dan ayah kandung dari mantan rektor Unsyiah, Abdi Abdul Wahab.

Belakangan, setelah Indonesia merdeka. Abdul Wahab ditunjuk untuk menjadi bupati Aceh Tengah pertama.

Pada tahun1935, Abdul Wahab mendirikan Rumah Peguruan Kita (RPK) di Takengen. Sekolah ini mempekerjakan guru-guru tamatan Taman Siswa yang dikenal sebagai sekolah kaum nasionalis.

Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara, salah satu dari tiga serangkai deklarator Indiche Partij.

Di Jawa, Taman Siswa dikenal sebagai sekolah nasionalis, karena merekalah sekolah pertama yang menggantikan pengajaran nilai-nilai kolonialisme di sekolah dengan nilai-nilai jawa.

Oleh Abdul Wahab, di RPK, nilai-nilai jawa ini digantikan oleh nilai-nilai Islam. Inilah yang kemudian menjadi pondasi dari karakter pergerakan di Gayo. Dimana kelompok nasionalis bersatu padu dengan kelompok modernis Islam dalam perlawanan terhadap kekuasaan kolonial Belanda.

Abdul Wahab dan para koleganya, memperkenalkan wawasan kebangsaan Indonesia kepada siswa-siswi RPK melalui bedah buku, novel-novel karya para sastrawan besar zaman itu. Mulai dari ‘Layar Terkembang’ karya Sutan Takdir Alisjahbana, ‘Merantau Ke Deli’ karya Hamka, ‘Siti Nurbaya’, ‘Salah Asuhan’ dan lain-lain. Dari novel-novel seperti inilah, semangat kebangsaan siswa-siswi RPK dibentuk.

Mereka juga kerap mementaskan drama (Tonil) yang diselipi dengan ide-ide kebangsaan.

Pementasan drama seperti ini, sangat ketat diawasi oleh intel pemerintah kolonial Belanda. Dalam pementasan seperti ini, lagu Indonesia Raya adalah lagu yang sangat terlarang untuk dinyanyikan.

Tapi, menurut cerita dari Tengku Asaluddin, almarhum kakek saya yang juga salah seorang yang terlibat dalam pergerakan di Gayo bersama Abdul Wahab dan kawan-kawan. Mereka mensiasati larangan itu dengan mengganti lirik Indonesia Raya dengan lirik berbau Islam.

Contohnya pada bait pertama lagu kebangsaan “ Indonesia, tanah airku” mereka menggantinya dengan “Agama Islam, anugrah Tuhan”

Begitulah sekilas kisah aktivitas pergerakan nasional di Gayo, yang saya pikir perlu diketahui oleh generasi Gayo hari ini, supaya kita tahu bahwa generasi pendahulu kita juga ikut punya andil dalam memerdekakan bangsa ini.

Referensi : Sumatran Politics and Poetics; Gayo History 1900 – 1989, karya John Bowen. []

Comments

comments