“Benang Gasut Mai ku Elangan, Anak Mongot Mai ku Ine (Anan) e” begitulah petikan pepatah Gayo yang dianalogikan sebagai upaya memperbaiki suatu kejadian atau masalah di tengah-tengah masyarakat.
Pepatah tersebut, menurut salah seorang pemerhati budaya Gayo lewat studi literasi dari buku-buku yang ditulis Belanda dan literasi lainnya, Zulklfikar Ahmad Aman Dio mengatakan, sudah ada sejak 500 tahun yang lalu.
“Jika merujuk Martin Tonnet (1907) dan JE Jasper (1912) maka pepatah itu sudah ada sejak 500 tahun lalu,” kata Zulfikar Ahmad beberapa waktu lalu.
Fokus kita pada tulisan ini, ialah pada satu kata di pepatah Gayo yang kerap dibawakan para petue dalam melengkan Gayo nya saat acara-acara resmi dalam prosesi adat mungerje (pernikahan) itu.
Ialah kata Elangan yang akan kita bahas pada tulisan ini. Elangan, merupakan sebuah alat atau teknologi di masayarakat Gayo di zaman dulu yang difungsikan untuk merapikan benang yang kusut (benang gasut : Gayo-red).

Menurut Zulfikar Ahmad, Elangan di desain sedemikian rupa sehingga menjadi alat yang mampu merapikan benang.
“Bentuknya seperti piramida jika benang sudah dirapikan yang memiliki satu kaki,” kata Zulfikar Ahmad.
Elangan menjadi salah satu alat penting dalam proses tenun (tenòn) di dalam masyarakat Gayo. Proses tenun di Gayo, sebutnya lagi diperkirakaan sudah ada sejak zaman pra sejarah. “Kalau saya menyebutnya sejak zaman purba, tenòn Gayo itu sudah ada,” ucapnya.
Terkait tenòn Gayo ini, katanya lagi, masih dalam proses penelitian oleh tim Opoh Kio yang diketuai oleh Peteriana Kobat, Achriyal Aman Ega dan dia sendiri.
“Penelitian ini produknya ialah buku, dimana isinya memuat tentang tenòn Gayo, dimana salah satu alatnya adalah Elangan,” kata Zulfikar Ahmad.
Elengan memiliki peranan penting dalam proses tenòn Gayo. Dulunya kata dia, teñon Gayo cukup berkembang, namun perlahan hilang. “Kepunahan tenòn Gayo ini diperkirakan sejak 1920-an,” katanya.
“Elangan merupakan teknologi tradisional di akhir proses pembuatan benang di Gayo. Jadi Gayo dulunya pernah membuat benang sendiri, terkecuali di daerah dataran tinggi (Gayo Lut), karena daerah ini bukan penghasil kapas (dataran rendah) yang dijadikan bahan baku pembuatan benang,” terangnya.
“Namun karena bahan baku yang mahal dan tidak ekonomis, akhirnya benang di datangkan dari wilayah Gayo Lues dan Alas yang daerahnya merupakan dataran rendah. Ada juga benang impor dari Penang yang disebut benang Cine dengan harga yang lebih murah,” tambahnya.
Proses teknologi tenòn Gayo itu, sebut dia lagi, semuanya akan tertuang dalam buku yang akan diterbitkan setelah penelitian selesai. “Cukup banyak, kosa kata bahasa Gayo yang kita dapatkan, saat ini banyak dari kosa kata Gayo itu sudah tak dipakai lagi, dengan penerbitan buku ini, bonusnya adalah kita menemukan kosa kata yang hilang,” demikian Zulfikar Ahmad.
[Darmawan Masri]