Identitas dan Rekam Medis Pasien Positif Covid Adalah Informasi Yang Dikecualikan

oleh

Oleh : Fathan Muhammad Taufiq*

Sesuai dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Rumah Sakit, setiap individu memiliki hak privasi atas riwayat penyakit yang dideritanya. Hal serupa juga diatur dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Dalam ketiga undang-undang itu disebutkan bahwa pihak rumah sakit (manajemen, dokter dan tenaga medis lainnya) dilarang membuka identitas dan rekam medis pasien, kecuali dengan seizin pasien yang bersangkutan.

Pelanggaran terhadap Undang-undang tersebut, berkonsekuensi pada sanksi adimistartif, pidana dan dapat dituntut secara perdata. Pidana 2 tahun dengan denda 10 juta rupiah merupakan sanksi pidana bagi pelanggar produk hukum di bidang kesehatan tersebut. Sanksi yang lebih keras, tercantum dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam Undang-undang ITE ini, diatur sanksi pidana 4 tahun atau setara dengan denda 750 juta rupiah bagi siapa saja yang dengan senagaja menyebarluarkan informasi data pribadi seseorang tanpa izin. Lalu bagaimana dengan identitas orang yang terkonfirmasi positif Covid-19?.

Dalam kondisi kekinian dimana pencegahan penyebaran covid menjadi prioritas, memang menjadi bagi para tenaga medis maupun gugus tugas penanganan covid, disatu sisi membuka identitas dan hasil laboratorium orang yang terkonfirmasi covid diperlukan untuk mempermudah upaya pencegahan penyebaran dan penularan serta penelusuran orang kontak erat (contact tracing) yang pernah terlibat dengan pasien positif covid. Tapi disisi lain, Undang-undang tidak memperbolehkan membuka identitas pasien atau orang terkonfirmasi covid tanpa izin dari yang bersangkutan.

Ketika transmisi lokal mulai meluas di suatu daerah, banyak kalangan masyarakat yang menginginkan agar identitas orang-orang yang sudah dinyatakan positif covid berdasarkan test laboratorium swab untuk menghindari kontak fisik dengan pasien yang bersangkutan dan orang-orang terdekat pasien yang pernah kontak fisik dengan yang bersangkutan. Jika pasien yang bersangkutan mengijinkan, tentu tidak ada masalah, yang jadi masalah adalah jika pasien atau keluarganya keberatan identitas pribadi dan rekam medisnya dibuka di dipublikasikan secara terbuka kepada publik.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) salah satu organisasi profesi yang anggotanya banyak terlibat dalam Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dari tingkat pusat sampai daerah, memang pernah mewacanakan bahwa identitas pasien positif bisa dibuka untuk kepentingan umum karena kita dalam kondisi pandemi global. Terkait dengan wacana tersebut, IDI sudah mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk bisa membuka identitas pasien positif covid untuk memudahkan contact tracing dalam rangka pencegahan penyebaran dan penularan covid.

Namun sampai dengan saat ini belum ada jawaban pemerintah, karena untuk merubah ketentuan yang sudah ditetapkan dalam produk hukum setingkat undang-undang, harus melalui revisi undang-undang yang prosesnya tentu makan waktu yang relatif lama.

Karena penasaran dengan kondisi dilematis ini, penulis yang saat ini bekecimpung di bidang informasi publik dan juga terlibat dalam Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kabupaten, khususnya dalam bidang diseminasi informasi covid, mencoba mencari tau dengan mengajukan pertanyaan secara daring kepada Komisi Informasi Aceh.(KIA) Sebenarnya saya sudah memprediksi jawaban dari KIA, namun penulis tetap menunggu jawaban resmi dari lembaga yang mengurusi segala pernik tentang keterbukaan informasi publik. Dalam prediksi penulis berdasarkan telaah Undang-undang dan produk hukum yang terkait dengan keterbukaan informasi publik, informasi tentang identitas maupun riwayat penyakit pesaien positif covid merupakan informasi yang dikecualikan.

Dugaan penulis tidak meleset, salah seorang Komisioner KIA, Dr. Tasmiati Emsa ahirnya memberikan jawaban atas pertanyaan saya tersebut, tentu saja dari aspek keterbukaan informasi publik. Mia, panggilan akrab Tasmiati Emsa menjelasakan bahwa identitas pasien terkonfirmasi positif covid dan hasil laboratorium swabnya, sama dengan identitas pasien dan rekam medis lainnya, merupakan informasi yang dikecualikan.

Mia juga menyampaikan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, rekam medis seseorang, termasuk didalamnya hasil laboratorium swab, merupakan informasi yang dikecualikan yang tidak boleh dibuka secara keseluruhan kepada publik. Ada sanksi pidana dan denda bagi siapapun yang dengan senagja membuka informasi yang dikecualikan ini kepada publik.

Dari keterangan yang disampaikan oleh komisioner KIA tersebut, saya bisa simpulkan sementara, bahwa informasi tentang identitas dan riwayat kesehatan pasien covid tetap merupakan informasi yang dikecualikan dan belum ada payung hukum yang membolehkan untuk membuka informasi yang bersifat pribadi tersebut. Lalu bagaimana dengan upaya contac tracking untuk mencegah penyebaran dan penularan covid yang dalam kondisi tertentu menghendaki identitas pasien dibuka secara umum?

Ada dua alternatif, yang pertama dan yang paling mudah dilakukan adalah meminta izin kepada pasien dan keluarganya untuk membuka identitas dan rekam medis yang bersangkutan dalam upaya pencegahan penyebaran covid. Jika yang bersangkutan mengijinkan, tentu tidak ada masalah membuka akses informasi tersebut kepada publik. Tapi jika yang bersangkutan atau keluarganya keberatan, mungkin bisa menggunakan alternatif kedua, yaitu membuka informasi tapi hanya sebagian saja, tanpa menyebut detil identitas maupun alamat yang bersangkutan.

Ini dibenarkan berdasarkan Peraturan Komisi Informasi No 01 Tahun 2009. Meski alternatif ini tidak memuaskan sebagian masyarakat, namun mungkin ini alternatif yang paling ‘aman’, upaya contac tracing dapat dilakukan dengan informasi terbatas tentang pasien, tapi petugas medis maupun gugus tugas tidak khawatir
Ada juga produk hukum lain yang seolah bisa menjadi payung hukum untuk membuka akses informasi pribadi ini, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36/2012 tentang Rahasia Kedokteran, terutama pada pasal 9 ayat (1) yang secara eksplisit menyebutkan bahwa “Pembukaan rahasia kedokteran dapat dilakukan tanpa persetujuan pasien dalam rangka kepentingan penegakan etik atau disiplin, serta kepentingan umum”.

Adapun kepentingan umum yang dimaksud, salah satunya adalah ancaman kejadian luar biasa/wabah penyakit menular seperti yang tecantum dalam pasal 9 ayat (4) huruf b. Namun kedudukan Peraturan Menteri tentu saja masih jauh dibawah Undang-undang, dan tentunya pelaksanaan Permen tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, artinya kewenangan membuka informasi tanpa izin pasien ini lemah jika disandingkan dengan Undang-undang tentang kesehatan dan keterbukaan informasi publik.

Dari aspek keterbukaan informasi publik dan kerahasian dalam bidang kesehatan, jelas bahwa identitas pasien dan rekam jejaknya, baik terkait covid maupun penyakit lainnya, merupakan informasi yang dikecualikan dan hak pasien yang dilindungi Undang-undang, sehingga tidak bisa dibuka kepada publik tanpa izin yang bersangkutan. Maka, tanpa maksud menggurui, dua alternatif yang penulis tawarkan diatas, mungkin bisa membantu upaya pencegahan penyebaran covid melalui contact tracing, tanpa harus melanggar Undang-undang yang berkonsekuensi hukum.

*Kasi Layanan Informasi dan Media Komunikasi Publik, Dinas Kominfo Kabupaten Aceh Tengah

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.