Oleh : Johansyah*
Berbicara dayah atau pesantren merupakan hal yang unik dan menarik. Di Indonesia, lembaga pendidikan Islam ini secara historis menjadi lembaga pendidikan tertua bila dibandingkan dengan lembaga pendidikan formal seperti madrasah maupun sekolah umum yang dikelola oleh pemerintah.
Jelasnya di mana ada kaum muslimin seputar wilayah nusantara, di sana ada pesantren. Hebatnya lagi, pesantren dulu diselenggarakan secara sederhana, dan tidak dipungut biaya karena bagi Tengku maupun Kyai yang penting orang mau belajar agama.
Kini dengan pengelolaan yang semakin baik, terjadi perubahan besar di pesantren, terutama dari aspek manajemennya. Bahkan kalau dulu lembaga ini identik dengan pendidikan gratis, kini pesantren adalah salah satu pendidikan yang ‘mahal’ di Indonesia. Orangtua yang berminat memasukkan anaknya ke sini harus menyiapkan biaya yang relatif besar.
Di awal masuk setelah lulus, biaya yang harus disiapkan bisa mencapai enam hingga sepuluh juta rupiah. Rinciannya antara lain untuk SPP bulanan, ekstrakurikuler, uang pembangunan, uang loundry, uang makan dan lain-lainnya.
Intinya di sana, anak-anak kita tidak disibukkan lagi dengan kegiatan mencuci, strika baju, maupun memasak karena semua sudah disiapkan. Mereka fokus pada aktivitas belajar.
Kalaulah pesantren tahfizh, langsung fokus menghafal al-Qur’an. Begitu juga dengan pesantren kaligrafi, dan pesantren dengan keunggulan lainnya. Memang tidak semua pesantren menerapkan model ini, tapi kelihatannya sistem ini sudah mulai merata.
Di satu pihak kita setuju saja bahwa orangtua mengantar anak-anak mereka ke pesantren adalah untuk belajar, bukan untuk memasak dan mencuci baju. Mereka fokus saja pada aktivitas belajar tersebut tanpa memikirkan yang lainnya. Orangtua menyiapkan uang, sementara pesantren menyiapkan fasilitasnya.
Secara ekonomi, hal ini mendatangkan keuntungan finansial bagi lembaga dan barangkali menjadi salah satu lahan pekerjaan yang menjanjikan bagi masyarakat pesantren.
Saya sendiri kurang setuju dengan sistem ini.
Apalagi dengan asumsi di atas; tujuan anak ke pesantren bukan untuk memasak maupun mencuci, tapi belajar. Tampaknya kita semua perlu mendefinisi ulang konsep belajar. Apakah belajar itu hanya di kelas, membaca buku, menghafal, atau kegiatan-kegiatan yang sudah terkurikulum oleh lembaga? Lalu kegiatan lain di luar itu dianggap bukan sebagai kegiatan belajar?
Menurut saya dan hasil diskusi bersama teman-teman, kegiatan lain seperti memasak, mencuci maupun menyetrika baju juga merupakan bagian penting dari proses belajar. Apa masalahnya kalau anak kita dibiasakan memasak sendiri, mencuci baju sendiri, menyetrika baju sendiri, dan mengurusi hal-hal kecil sendiri? Justru ini menjadi proses pembelajaran penting bagi anak-anak kita agar mereka bisa belajar hidup mandiri dan bertanggung jawab atas kebutuhan pribadinya.
Artinya keliru ketika kita memahami belajar hanya identik dengan kelas maupun buku. Semua aktivitas pesantren merupakan bagian penting dari pembelajaran. Kita tidak ingin anak-anak terlalu dimanja dengan fasilitas serba ada dan dilayani sepenuhnya.
Makan tinggal makan, kotor baju sudah ada yang cuci dan strika, dan seterusnya. Saat mereka kembali ke rumah, tidak bisa bisa membantu orangtua karena tidak terbiasa dengan pekerjaan tersebut.
Sebagaimana yang pernah dikatakan juga oleh kanda Dr. Joni, Dr. Hamdan, Dr. Indra, dan teman-teman lainnya dalam sebuah diskusi kecil, bahwa kita tidak tau bagaimana kondisi keluarga mereka ke depan. Entah orangtua meninggal, jatuh miskin, dan ditimpa musibah lain, bagaimana dengan nasip anak-anak mereka? Makanya perlu kemandirian.
Mereka harus dibekali dengan kesiapan menghadapi hidup di segala situasi dan kondisi. Terlepas dari itu semua, falsafah memberikan pelayanan dan fasilitas sepenuhnya pada anak secara psikologis tidak baik bagi mereka.
Untuk itu, pengelolaan pesantren dalam konteks kekinian, terutama terkait dengan persoalan yang dipaparkan sebelumnya perlu merekonstruksi ulang konsep belajarnya dengan mempertimbangkan aspek kemandirian santri.
Ketika kembali ke keluarga dan masyarakat, mereka tidak cukup dengan muatan ilmu kitab kuning, hafalan al-Qur’an 30 juz, dan keahlian khusus lainnya sebagaimana diajarkan di sana.
Mereka juga butuh ilmu-ilmu kepribadian dan sosial yang itu semua diperoleh bukan dari kurikulum dan interaksi belajar di kelas; kemandirian, tanggung jawab, komunikatif, dan beberapa aspek mendasar lainnya.
Dengan tidak mengurangi rasa hormat pada teman-teman pesantren, saya ingin merujuk pada sebuah kasus seorang santri. Saat merebaknya kasus pandemi covid-19 kemarin mereka semua pulang. Saya amati saat anak ini berada di tengah-tengah keluarga.
Kerjanya tidur, main game, dan menonton televisi. Dia sangat jarang keluar rumah berinteraksi dengan orang sekitar. Pola hidupnya di rumah sama dengan pola hidup di pesantren, kecuali belajarnya. Dia tinggal makan kalau lapar. Jika baju kotor sudah ada yang cuci. Intinya semua terima siap saja.
Pertanyaannya, apakah sosok santri seperti ini yang kita harapkan? Ataukah kita mengingikan agar mereka menjadi santri yang aktif, kreatif, mandiri, bertanggung jawab, dan mampu berinteraksi dengan lingkungannya? Jawabannya ada pada kita masing-masing.
Saya hanya ingin tegaskan, justru hal-hal kecil seperti yang disebutkan tadi itulah yang sejatinya menjadi perhatian bersama karena itu menjadi modal penting anak-anak kita dalam menjalani hidup.
Kitab kuning, bahasa Arab, bahasa Inggris, dan materi lainnya sudah jelas mereka peroleh dari pesantren atau lembaga pendidikan tertentu. Tapi bagaimana dengan kemandirian, tanggung jawab, kepedulian, toleransi, kasih sayang, dan lain-lainnya? Itu juga harus ditanamkan melalui habutuasi dan keteladanan.
Suatu saat mungkin kepedulian lebih penting dari kitab kuning. Atau suatu saat kecerdasan berinteraksi tidak kalah pentingnya dengan hafalan al-Qur’an sekian juz, dan seterusnya.
Berdasarkan uraian di atas, kami hanya menyampaikan beberapa catatan kepada para teman pengelola pesantren maupun orangtua.
Pertama, kiranya proses pembelajaran yang menekankan pada materi terstruktur perlu direkonstruksi. Pihak pesantren perlu memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan penumbuhan karakter anak seperti yang disebutkan di atas.
Sejatinya juga pihak pesantren tidak mendahulukan orientasi bisnis, tapi secara psikologis perlu memikirkan dengan serius aspek pengembangan kepribadian, terutama kemandirian dan tanggung jawab.
Kedua, bagi orangtua kiranya tidak salah paham mendefinisikan belajar. Ketika kita mengatakan anak-anak tinggal belajar di pesantren, makanan sudah siap, baju sudah siap, dan segalanya sudah siap, itu adalah konsep belajar yang keliru.
Sebab anak-anak kita akan tumbuh menjadi anak yang cengeng dan tidak mandiri. Akhirnya, ini adalah sudut pandang saya tentang beberapa hal yang berkaitan dengan aktivitas belajar di dunia pesantren, dan tentu berharap ini dapat dijadikan sebagai bahan diskusi. Persoalan beda pendapat itu biasa. Mari saling bertukar informasi dan pengalaman menuju pesantren yang lebih baik.
*Pegawai Dinas Syari’at Islam dan Pendidikan Dayah Kabupaten Aceh Tengah