Oleh : Jamhuri Ungel, MA*
Sebuku dalam Beguru
Anak beru yang selalu dekat dengan orang tua utamanya ibu, dia belajar mengurus rumah, menyiapkan makanan untuk ayah dan ibu sehingga ketika pulang dari kerja tidak perlu lagi masak, mengurus adik-adiknya, mencuci pakaian abang-abangnya, sampai kepada membersihkan halaman dan merawat tanaman.
Ketika malam tiba dia mulai belajar menganyam tikar bersama nenek, sampai harinya anak beru harus meninggalkan itu semua, dia harus pindah kerumah suami dan berpindah clean ke clean suami.
Ketika akan melaksanakan syariat aqad nikah keesokan harinya, keluarga dekat dan orang kampung dari anak beru berkumpul dalam acara yang disebut dengan beguru.
–Beguru adalah rangkaian prosesi adat perkawinan dalam masyarakat Gayo dimana pada waktu itu, orang tua atau tokoh adat memberi amanah berupa pelajaran kepada anak beru dan anak bujang yang akan menikah dalam rangka mempersiapkan untuk membina keluarga yang mawaddah wa rahmah–.
Acara ini merupakan satu tahapan acara adat, dimana orang tua atau tokoh adat memberi amanah dan pelajaran didepan semua keluarga dan orang kampung kepada anak beru yang akan menikah keesokan harinya. Acara ini biasanya diakhiri dengan salam-salaman yang diawali dengan salam ta’zhim kepada kedua orang tua dan dilanjutkan denga semua orang yang hadir pada acara itu.
Pada saat salam ta’zhim kepada kedua orang tua (utamanya ibu) inilah biasa pecah tangisan yang tidak bisa dibendung baik dari anak beru dan juga dari ibu (dalam adat Gayo tangisan ini disebut dengan sebuku). Alasan kenapa tangisan ini pecah pada malam beguru adalah karena mulai esok hari anak beru yang selama ini menjadi bagian dari keluarga inti berpindah menjadi keluarga lain yakni keluarga suami.
Semua kedekatan, kasih sayang, pembelajaran yang didapatkan sejak lahir tidak ada lagi karena esok hari akan diantar jauh ke tempat ringgal suami, karena jauhnya tempat tinggal dan juga sampai berpindahnya clean, maka dalam benak anak beru juga orang tua seolah tidak akan mungkin bertemu lagi. Karena itulah tangisan yang tidak tertahan itu pecah.
Sebuku (tangisan) antara anak beru dan ine (ibu) terjadi secara dialogi. Diantara isi tangisan itu adalah : ibu memberi amanah atau mengingatkan kepada anak beru kalau nanti sampai ke rumah suami maka harus mampu menjaga perasaan suami dan keluarganya, harus mampu melayani suami dan menyiapkan apa yang dibutuhkan suami.
Anak beru harus ingat kalau dia sudah menjadi bagian dari keluarga suami dan telah jauh dari ibu, ayah, adik, kakak, dan lain-lain yang selama ini menjadi tempat bermanja dan mendapatkan kasih sayang.
Kemudian ya bisa dari anak beru biasa berkisah tentang payahnya orang tua dalam membesarkan dan mendidik anak beru, seringnya tersakiti perasaan orang tua dengan tingkah laku anak beru.
Pada saat inilah seorang ayah yang mempunyai kewibawaan sebagai seorang ayah yang selama ini nampak tegar, tidak pernak lemah dan tidak pernah cengeng dan menangis, harus mengeluarkan air mata dengan menahan tangisan, yang terkadang harus meledak suara tangisan dari mulut seorang ayah.
Ini semua sebagai simbul kasih sayang dari ayah yang selama ini tidak pernah terucap baik dengan kata-kata atau juga raut wajah.
Tangisan yang diiringi dengan isakan seisi rumah setalah diseling oleh beberapa orang pecah kembali ketika bersalaman dengan dengan bibik dan juga nenek.
Karena bibik dan neneklah tempat cerita dan canda anak beru selama ini, dan esok hari canda dan cerita itu akan hilang dan akan jadi kenangan dari anak beru.
Sepanjang jalan dalam menghantar anak beru rasa senang, sedih, haru berkumpul dalam benak orang tua, yang terkadang harus pecah kembali ketika orang tua harus pulang meninggalkan anaknya bersama keluarganya yang baru, demikian juga dengan perasaan anak beru yang melihat orang tuanya pulang, dengan bayangan siapa lagi nanti yang mepersiapkan semua keperluan orang tuanya. []