Oleh : Fauzan Azima*
Pertama kali saya mendengar phrase “etika bertetangga” pada tahun 1998 di Putusibau, Kalimantan Barat. Ketika itu kami dari BLHI diundang oleh perusahaan HPH, PT. Alas Kusuma untuk melihat desa binaan mereka yang dibangun dengan dana CSR.
Apa yang disampaikan oleh pihak manajemen PT. Alas Kusuma kepada kami di Jakarta tentang keberhasilannya membangun desa bagi peladang berpindah faktanya di lapangan adalah benar dan terhitung sukses. Mereka tidak mengarang cerita soal keberhasilannya.
Kami juga membawa peta areal rencana tebangan berdasarkan blok. Sehingga mudah bagi kami untuk mengecek apakah mereka menebang di luar area yang sudah mendapat izin dari Dephut atau mereka menebang di luar areal blok. Lagi-lagi PT. Alas Kusuma tidak kami temukan kecurangan dalam hal rencana areal tebangan.
Berbatas dengan areal PT. Alas Kusuma juga terdapat perusahaan HPH yang menurut peta yang kami bawa terdapat banyak kecurangan, terutama menebang di luar blok yang jelas melanggar peraturan dan perundang-undangan izin HPH.
“Berdasarkan peta yang kami punya dari Dephut RI, perusahaan HPH di sebelah banyak kesalahan, Pak” kata Pak Andi Ladu Manoppo kepada manajer lapangan PT. Alas Kusuma.
“Mohon maaf Pak Andi, saya tidak mau berpendapat soal itu untuk menghormati etika bertetangga,” tegas manajer lapangan itu.
Ungkapan manajer itu melekat di hati saya. Bahkan saya malu dengan kemuliaan hati orang ini, yang tidak mau berpendapat tentang keburukan tetangganya.
Tadi siang, Kamis, 8 Juli 2020 di kawasan Kampung Mendale, kami berkunjung ke kebun tetangga yang terletak di sebelah barat tanah kami. Pemiliknya sedang membersihkan semak belukar di kebun miliknya. Tujuan kami bertamu ke pondoknya sebagai penghormatan terhadap etika bertetangga.
“Assalamualaikum,” sapa saya.
“Alaikum salam…singgah di pondok kami, Bang,” jawabnya mereka.
“Sudah lama mulai membersihkan lahan ini,” tanya saya.
“Sudah hampir sepuluh hari,” jawabnya.
Lalu kami ngobrol ngalur ngidul yang intinya, menyarankan agar kalau terpaksa harus membakar lahannya, terlebih dahulu menumpuknya agar tidak merambat ke daerah lainnya karena daun-daun pinus yang gugur mudah sekali terbakar.
Mereka pun mengiyakan, bahwa sebelum kami datang, beberapa anggota Polsek Kecamatan Kebayakan sudah terlebih dahulu memperingatkan hal yang sama untuk mencegah terjadinya karhutla.
(Mendale, Kamis, 8 Juli 2020)