Kisah Hamka, Dari Lembah Hitam Berkekuatan Super Menjadi Imem

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Manusia itu berlaku menurut situasi dan waktu. Begitupun perjalanan hidup Tengku Hamka, yang bagi kerabatnya, hampir tidak percaya, kalau sekarang beliau benar-benar telah menjadi Tengku. Siapa pun tidak menyangka, kalau dirinya kini telah menjadi salah satu perangkat desa sebagai imem kampung yang sekaligus sebagai imam dan khatib shalat Jum’at.

Beliau juga mampu meneruskan tradisi bertutur melengkan dalam acara lamaran pernikahan saat menyerahkan rempele, serta tidak jarang juga memandu samadiah dalam kenduri selamatan maupun musibah. Tentu saja akhlak mulia Tengku Hamka itu bagai kejatuhan bulan atau seribu rahmat bagi keluarganya.

Betapa tidak, pada usia muda sebagian besar kehidupannya berada dalam dunia hitam. Semua itu karena tekanan situasi. Ketika beliau masih duduk di bangku SMP Langsa selalu dibully dan dipalak oleh anak-anak polisi dan tantara serta para preman. Kalau tidak mau dipukuli, setiap kali menerima kiriman uang dari kampung wajib setor kepada mereka.

Tidak tahan dengan tekanan situasi itu, pada saat liburan sekolah, beliau pergi belajar “ekstrakurikuler” pada kakeknya di Pantanangka. Dalam proses belajar itu, beliau mendapat dua “ilmu pengetahuan” yaitu; ilmu kebal dan kuat yang relatif sempurna.

Liburan sekolah usai sudah. Beliaupun kembali ke Langsa. Mulai masuk sekolah pada hari Senin, kebetulan beliau piket. Siswa lainnya masih menganggapnya “sang pengecut” dan berusaha membully dan memalaknya kembali. Beliau pun mempraktekkan ilmunya dengan mencabut batang kelapa yang dijadikan sebagai sapu untuk membersihkan halaman sekolahnya. Sepeda dan sepeda motor yang terparkir semuanya ikut tersapu.

Sejak saat itu, situasi berubah 180 derajat; para pelaku pembully dan pemalak mulai wajib setor uang kepada beliau. Seluruh uang yang pernah dipalak harus dikembalikan segera dan harus memenuhi kebutuhan beliau selama belum ada kiriman dari kampung.

Pada tahun 1987, PT. Alas Helau mulai melakukan penebangan pinus-pinus di Gayo untuk kebutuhan pabrik kertas kantong semen PT. KKA. Gelondongan kayu pinus siang malam diangkut ke pabrik kertas itu di daerah Jamuan, Aceh Utara.

Sebelumnya, PT. KKA dan Alas Helau beroperasi mereka melakukan pembukaan jalan dari Aceh Utara ke Aceh Tengah serta membuka jalan tembus ke areal tebangan yang disub kontraktorkan kepada PT. Lautan Jaya sebuah perusahaan jasa kontraktor di Bireuen yang merupakan anak perusahaan PT. Marjaya yang pernah mendapatkan proyek peningkatan jalan Banda Aceh-Medan.

Pada masa itu, kekuasaan militer begitu kuat, sulit bagi orang Aceh bisa bekerja pada lima industri besar di pesisir utara Aceh itu, kecuali hanya bagi orang-orang nekat. Di antara banyak orang nekat itu adalah Hamka, Win Gayo, Sanen, Nazar, Hasan Burak dan lainnya yang mendapatkan kesempatan kerja pada PT. KKA, sedangkan seniornya Amin Bewang alias Bang Utih bekerja sebagai pengawas pada PT. Lautan Jaya.

Kenekatan tentu harus dibarengi ilmu. Rata-rata dari mereka adalah punya ilmu kuat. Hamka pernah tanpa sadar ditonton banyak orang ketika mencuci mobil Hardtop sambil bernyanyi. Beliau dengan mudah membolak-balikan mobil itu, seperti anak kecil main mobil-mobilan. Kadang beliau membalikkan mobil itu bannya ke atas, kadang diangkat kiri kanannya dengan mudah.

“Mengapa banyak orang menonton? Apa yang terjadi,” tanya Win Gayo kerabat Hamka.

Dia berusaha mendekat ke arah kerumunan orang-orang. Betapa kagetnya dia melihat aksi Hamka.

“Apa yang kamu lakukan, Ham? Coba lihat, semua orang sedang menonton kamu, malu kita!” jelas Win Gayo.

Hamka pun berlari dan sembunyi karena merasa malu menjadi tontonan.

Pernah juga di pabrik produksi kertas semen itu, bis baru yang sedang diuji coba oleh sopir, tapi naas, bis itu langsung terjun ke kolam. Lalu kepala bagian transfortasi membuat sayembara.

“Siapa saja yang bisa memindahkan bis dari kolam ke darat tanpa alat, maka akan diberikan hadiah uang Rp. 1,5 juta,” begitu bunyi pengumumannya.

Tidak ada yang mau ikut sayembara itu, kecuali Hamka dan Win Gayo yang dengan mudah memindahkan mobil dari dari kolam ke jalan. Pada waktu itu tahun 1991, uang sejumlah Rp. 1,5 juta nilainya masih tinggi.

Pada kesempatan lain, Sanen memanggil Hamka dan Win Gayo lewat alat komunikasi radio HT.

“Di mana posisi Hamka dan Win Gayo?” tanya Sanen.

“Kami sedang berada di Lhokseumawe” jawab Hamka.

“Saya mau minta tolong! Keluarkan alat berat Dozer D9 yang masuk ke dalam lumpur di daerah Bur Pepanyi,” kata Sanen.

“Kami sedang sibuk! Ambil saja sendiri saja. Kami tidak mampu,” tegas Hamka.

Namun mereka diam-diam merapat hendak mengintip untuk mengetahui kekuatan Sanen. Pada tengah malam, Sanen memanggil sekelompok jin yang semuanya berbadan besar, pelan-pelan menarik dozer itu keluar dari kubangan.

Setelah dozer bisa ditarik dan sekelompok jin itu pergi, baru kemudian Hamka dan Win Gayo keluar dari persembunyian sambil tertawa. Sanen merasa malu rahasia kekuatannya diketahui orang, walau kerabatnya sendiri.

“Tolong dirahasiakan apa yang aku perbuat tadi,” Sanen memohon.

Para jagoan ini, juga Hamka pantang ditawar; apapun resiko pekerjaan, walau nyawa taruhannya mereka tidak akan mundur. Situasi membuat mereka keras, tapi satu persamaan mereka adalah punya rasa malu memamerkan ilmu. Namun waktu telah mengubah segalanya. Tengku Hamka sekarang ingin mengabdikan hidupnya untuk berbuat baik kepada masyarakat dan lebih fokus untuk kehidupan akhirat.

(Mendale, Senin, 6 Juli 2020)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.