Menebang Pohon Menumbangkan Kehidupan

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

“Coba lihat ke bawah Muallim! Indah bukan?”
“Semua itu hanya bayangan!”
“Benar juga, Muallim!”

Sebagai lelaki yang punya sopan santun, saya tidak serta merta mendebat Muallim. Mudah-mudahan waktu akan merubah fahamnya. Setidaknya, beliau setuju dengan ungkapan, “Kala perang hutan menjagaku, pada saat damai aku melindungi hutan.”

Meskipun dalam konflik saya selalu menikmati indahnya alam. Saya hanya ingin berbagi cerita mendiskripsikan indahnya alam kita. Saya kira kalau kita bisa mengemasnya dalam sebuah narasi, keindahan alam juga bisa menjadi bahan “ideologi” perjuangan.

Pada kesempatan lain, di puncak gunung Oregon, saya melihat pohon tampak teratur. Jarak tanam yang pas dari satu jenis pohon yang sama. Saya pandangi dari ujung ke ujung. Tidak tahan saya memujinya.

“Pang Gerhana, indah sekali tempat ini. Coba perhatikan jarak antar pohon sama. Kalau dibuat film disini, pasti akan bagus sekali latar belakangnya.”

Pang Gerhana tertawa.

“Di hutan, kan biasa seperti ini.”

Sekali lagi saya hanya ingin berbagi cerita, namun ditanggapi dingin, bahkan ditertawakan. Mungkin mereka benar. Hanya saya terlalu sensitif mengenai hutan di Tanoh Gayo pada waktu itu.

Meskipun saya tidak pernah belajar khusus tentang konservasi, tetapi saya yakin bahwa hutan bukan sekedar pohon, bukan sekedar tempat menampung dan mengalirkan air, bukan sekedar satwanya, tetapi lebih dari itu ada kehidupan di sana. Jadi menebang pohon, bukan sekedar mengakhiri hidup pohon itu, tetapi juga menumbangkan kehidupan.

Sebuah fakta, dua negara dalam satu pulau Hispaniola, yaitu Haiti dan Republik Dominika. Kehidupan ekonomi mereka seperti siang dan malam. Dimana Republik Dominika menjadi negara yang makmur karena mempertahankan hutan-hutannya, sedangkan Haiti menjadi negara yang miskin dan sering dilanda bencana karena sejak awal sudah menghabisi hutan-hutannya dengan serakah. Sehingga Haiti menjadi daerah yang tandus dan kering.

Semula tidak masuk di akal saya bahwa hutan bisa menjadi padang pasir. Terbukti, di Blang Nuldi, Tanah Karo yang dahulunya hutan belantara, kini benar-benar menjadi hamparan pasir. Tidak mustahil untuk hutan lainnya juga akan seperti itu kalau pohonnya terus ditebangi.

Kalaupun hamparan hutan itu tampak seperti bayangan dan biasa saja, bukan berarti kita bebas sesuka hati menghancurkannya. Belajarlah pada kearifan lokal nenek moyang kita pada zaman dahulu. Menebang satu pohon, wajib menanam lima pohon yang lainnya dan salah satunya jenis pohon yang sama. Nenek moyang kita melakukan itu untuk melestarikan kehidupan.

Hari ini bencana alam susul menyusul. Belum selesai trauma banjir bandang, sudah datang bencana lainnya; angin puting beliung, gempa bumi, dan kemarau yang berakibat rendahnya kualitas air minum, kekurangan air, gagal panen, dan tidak mustahil ancaman kelaparan.

Pada saat terjadi banjir bandang kita hanya meratapi kesedihan atas kekejaman alam. Sedikit orang yang mau berfikir bahwa bencana itu hanyalah akibat zalimnya tangan manusia yang mengeksploitasi alam.

Ke depan kalau terjadi bencana, sebagai tanggung jawab sosial, kita tetap memberikan bantuan berdasarkan kebutuhan para korban, namun di sisi lain pemerintah juga harus mencari dan meminta pertanggungjawaban para pelaku penyebab bencana.

(Mendale, Sabtu, 4 Juli 2020)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.