Oleh : Husaini Muzakir Algayoni*
Filsafat dan agama tak bisa dipisahkan kata al-Kindi, sementara Ibnu Khaldun mengatakan bahwa manusia tak bisa lepas dari tiga bidang ilmu, yaitu: tasawuf fikih dan filsafat.
Keilmuan-keilmuan Islam seperti teologi, fikih, tasawuf hingga filsafat merupakan khazanah pemikiran dan warisan sejarah peradaban Islam.
al-Ghazali, Algazel salah satu pemikir Islam terbesar dalam sejarah peradaban Islam yang pemikirannya dijadikan sebagai referensi utama dalam bidang teologi dan tasawuf, khususnya berpaham Asyariah.
al-Ghazali digelari dengan zainuddin (hiasan agama) dan juga hujjatul Islam (pembela Islam) karena kepiawaiannya dalam membela Islam dari berbagai paham yang dianggap menyesatkan.
Nama al-Ghazali dinisbahkan dari nama tempat lahirnya di Ghazalah, Thus, Khurasan wilayah Persi (Iran sekarang), dan juga karena pekerjaan ayahnya yang seorang penenun wool (ghazzal) sehingga dijuluki al-Ghazali.
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Thusi al-Ghazali. Nama aslinya hanya Muhammad, sementara nama Abu Hamid diberikan kemudian setelah ia mempunyai putra bernama Hamid. al-Ghazali lahir pada 450 H/1058 M dan meninggal dunia pada 505/1111 di tempat asalnya.
Perjalanan intelektual al-Ghazali dimulai dari kampung asalnya, Thus. Dalam bidang hukum (fikih) belajar pada seorang ulama, Ahmad bin Muhammad ar-Razakani, lalu belajar di Jurjan pada Imam Nashr al-Ismaili. Pada usia 20 tahun merantau ke Naisabur untuk mendalami fikih dan teologi pada Imam al-Haramain al-Juwaini.
Menurut Tajuddin al-Subki, al-Juwaini inilah yang mengenalkan al-Ghazali pada filsafat, logika dan filsafat alam lewat disiplin teologi.
Di Naisabur, al-Ghazali belajar banyak tentang mazhab-mazhab fikih, retorika, logika, dan filsafat.
Dalam bidang tasawuf juga dibimbing langsung oleh Abu Ali al-Farmadzi. Setelah al-Juwaini meninggal dunia pada 478 H, al-Ghazali menuju Muaskar diundang oleh Nidham al-Muluk, Perdana Menteri dari Sultan Malik Syah I untuk mengajar di Madrasah Nidhamiyah, Baghdad.
Selama di Baghdad, al-Ghazali dilanda keragu-raguan (skeptis) mengalami krisis epistemologis terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya sehingga menderita penyakit selama dua bulan dan sulit diobati, tak bisa menjalankan tugas sebagai guru di Nidhamiyah dan akhirnya pergi ke Damaskus.
Selama dua tahun di Damaskus, al-Ghazali melakukan uzlah, riyadah, dan mujahadah. Kemudian pindah ke Bait al-Maqdis untuk melakukan hal yang sama saat di Damaskus. Setelah itu, al-Ghazali pergi melaksanakan ibadah haji dan menziarahi makam Rasulullah Saw.
Pulang dari Tanah Suci, al-Ghazali mengunjungi tanah kelahirannya dan disini pun al-Ghazali tetap melakukan uzlah. Keadaan skeptis yang dialami al-Ghazali berlangsung selama sepuluh tahun dan pada periode ini al-Ghazali menulis karya monumentalnya Ihya Ulumuddin (Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Religius).
al-Ghazali pada awalnya merupakan seorang mutakallimin (teolog), tidak puas dibidang teologi ia berjalan pada bidang filsafat sebagai filsuf dan tidak puas juga akhirnya beralih menjadi seorang sufi. Menurut al-Ghazali, ilmu tasawuf dapat memberi kepuasan bagi manusia dalam kaitannya menemukan kebenaran.
Ulama dikenang karena kepiawaiannya dalam menulis, begitu juga dengan al-Ghazali yang produktif dalam menulis. Buah tangannya yang berharga meliputi berbagai bidang ilmu, seperti Alquran, akidah, ilmu kalam, ushul fikih, fikih, tasawuf, mantiq, filsafat, dan lain-lain.
Di antara karya Imam al-Ghazali yang mendapat sorotan dalam perkembangan pemikiran umat Islam adalah Ihya Ulumuddin merupakan karya monumental yang memuat tentang pemikiran Islam yang komprehensif dan juga memulihkan keseimbangan dan keselarasan antara dimensi eksoterik dan esoterik Islam.
Ada Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf) disini ia mengecam pemikiran filsuf dan al-Munqidz mina’dh Dhalal (Melepaskan dari Kesesatan) merupakan sejarah perjalanan intelektual al-Ghazali.
Dalam bidang filsafat, al-Ghazali mengkritik pendapat para filsuf sebelumnya, terutama al-Farabi (Alpharabius) dan Ibn Sina (Avicenna). al-Ghazali menentang tiga pemikiran filsafat mereka yang dapat membawa kepada kekufuran, ketiga pemikiran tersebut, yaitu: qadimnya alam, Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang kecil dan kebangkitan jasmani tidak ada.
Pertama, terhadap qadimnya alam, al-Ghazali membantah pendapat ini dengan alasan sekiranya alam tidak berpermulaan atau qadim maka akan terjadi dua yang qadim yaitu ‘Tuhan dan alam’ dan hal ini akan menjerumuskan kemusyrikan.
Kedua, Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang kecil (juz’i) menurut filsuf karena pengetahuan Tuhan hanya bersifat umum (kulli), menurut al-Ghazali pandangan para filsuf bertentangan dengan ayat-ayat yang menggambarkan bahwa Allah Swt mengetahui segala sesuatu baik secara umum maupun secara khusus.
Ketiga, ketidakmungkinan kebangkitan jasmani pada hari akhirat, menurut para filsuf yang dibangkitkan pada hari kiamat adalah rohani saja karena jasmani telah hancur, menurut al-Ghazali bertentangan dengan ayat-ayat yang menggambarkan bahwa pada hari kiamat jasmani juga dibangkitkan.
Sang hujjatul Islam berpendapat bahwa hanya terhadap tiga persoalan tersebut para filsuf sudah keluar dari agama Islam. Namun, sayangnya para loyalis al-Ghazali belakangan mengadakan generalisasi dengan menyimpulkan bahwa al-Ghazali menentang filsafat secara keseluruhan bahkan mengharamkannya.
Tindakan seperti ini merupakan pemutarbalik fakta (distorsi) untuk tujuan tertentu sehingga menyebabkan aktivitas filsafat di dunia Islam berjalan di tempat (stagnasi) yang menyedihkan padahal filsafat mempunyai peran penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam dan dewasa ini perannya terasa di belahan dunia barat dengan segala kemajuan ilmu pengetahuan.
Demikian tulisan singkat tentang perjalanan intelektual Imam al-Ghazali dan pemikirannya dengan harapan bahwa ilmu-ilmu keislaman dan pemikir-pemikir Islam dari klasik hingga modern tidak dilupakan oleh generasi-generasi muda dan mudah-mudahan pemikirannya diulas untuk menambah khazanah pemikiran.
Bahan Bacaan:
Ahmad Daudy. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Muhammad Alfan. Filsafat Etika Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2011.
Fuadi, dkk. Banda Aceh: Fakultas Ushuluddin Ar-Raniry, 2003.
Khudori Soleh. Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer. Yogyakarta: Ar-Ruuz Media, 2016.
*Penulis, Kolumnis LintasGAYO.co. Mahasiswa Prodi Ilmu Agama Islam (Konsentrasi Pemikiran Dalam Islam) Program Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh.