Falsafah Salam

oleh

Oleh : Johansyah*

Bagaimana pemahaman kita ketika membaca hadits berikut; ‘Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan tidak akan sempurna iman kalian hingga kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kalian pada sesuatu yang jika kalian lakukan kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian’. (HR. Muslim no. 54).

Atau anjuran salam dalam hadits lainnya; ‘Hak seorang muslim atas muslim yang lain ada enam’. Beliau pun ditanya, ‘Apa saja, ya Rasulullah?’ Jawab beliau, “Jika engkau bertemu dengannya, ucapkan salam kepadanya. Jika dia memanggilmu, penuhi panggilannya. Jika dia meminta nasihat kepadamu, berikan nasihat kepadanya. Jika dia bersin lalu memuji Allah, doakanlah dia. Jika dia sakit, jenguklah dia; dan jika dia meninggal, iringkanlah jenazahnya’. (HR. Bukhari no. 1240, Muslim no. 2162).

Umumnya kita memahami, kalau berjumpa dengan saudara sesama muslim, ucapkan assalamu’alaikum, baik yang kenal maupun tidak dikenal. Dari satu sisi memang benar; petama, secara psikologis, ketika seseorang mengucapkan salam kepada kita maupun sebaliknya, menunjukkan kesan adanya sikap komunikatif dan adanya keterikatan emosional antar sesama. Sebagai makhluk sosial, kita memang harus bersikap ramah dan cerdas dalam bergaul.

Ada nuansa berbeda, apakah karena kebiasaan atau memang begitu adanya. Ketika kita berjumpa dengan sahabat maupun saudara, lalu mengucapkan salam sambil bersalaman, bahkan sebagian ada yang berpelukan.

Saat itu ada kebahagiaan tersendiri yang kita rasakan dan mungkin tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Bedakan dengan suasana biasa ketika berjumpa tanpa mengucapkan salam dan bersalaman, seperti kurang akrab rasanya.

Kedua, mengucapkan salam berarti mendo’akan keselamatan bagi orang lain dan semoga ramhat Allah Swt senantiasa tercurahkan kepadanya. Mengharapkan kebaikan bagi orang lain berarti mengharapkan kebaikan bagi diri sendiri. Itu akan menjadi energi positif dalam diri kita.

Di antaranya ada rasa lapang ketika berharap orang lain sukses, sehat, mendapatkan posisi yang baik dalam pekerjaan, dan kebaikan-kebaikan lainnya.

Bukan sekedar rangkaian kalimat
Lebih esensial, salam sebenarnya bukan sekedar rangkaian kalimat indah yang diucapkan ketika antara sesama muslim bertemu, tapi menebarkan salam harus mampu diwujudkan dalam bentuk amal. Sebab bukti pernyataan salam sebagai tanda cinta itu harus dibuktikan melalui perbuatan.

Sekiranya menelisik hadits di atas, ada dua kata kunci yang patut diperhatikan; kesempurnaan iman dan menebarkan salam. Orang yang imannya sempurna adalah orang yang saling mencintai, dan itu diwujudkan dalam kemampuan menebarkan salam. Hal ini berarti pesan esensial hadits ini bukanlah sekedar mengucapkan salam secara lisan, tapi mampu mewujudkannya dalam perbuatan.

Islam adalah agama yang rahmatan lil’alamin (rahmat bagi semesta). Oleh sebab itu, eksistensi kita sebagai seorang muslim harus menjadi penebar kebaikan dan keselamatan. Keberadaan kita di tengah-tengah sesama harus bermaanfaat, bukan sebaliknya mendatangkan mudharat.

Wujud nyata assalamu’alaikum adalah kepedulian dan kasih sayang terhadap sesama. Kita membantu mereka yang membutuhkan uluran tangan, meringankan biaya pendidikan anak yatim yang hidup susah, membantu pembangunan masjid, dan memperjuangkan hak-hak sesama muslim.

Jadi berjumpa dengan siapa pun lalu kita mengucapkan salam, itu baik. Tapi membiarkan tetangga kita kelaparan adalah keterlaluan. Salam kita baru lipstik dan pencitraan. Salam kita baru lisan, belum menyentuh pada perbuatan.

Beberapa wujud penebaran salam

Setidaknya ada beberapa wujud penebaran salam; pertama, menebarkan salam pada diri sendiri. Menebarkan salam pada diri sendiri adalah melakukan kebaikan kapan dan di mana pun. Setiap kebaikan adalah jalan keselamatan bagi diri kita. Kebaikan akan berbuah kebaikan meski bukan diperoleh dari orang yang kita berbuat baik kepadanya.

Kedua, menebarkan salam kepada orang lain. Kalaulah kita sebagai pimpinan rumah tangga, terbarkanlah salam kepada seluruh anggota keluarga. Caranya adalah bertanggung jawab atas segala kebutuhan mereka, baik secara lahir maupun batin.

Dekatkan seluruh anggota keluarga kita dengan Allah, tanamkan akidah yang benar, ajarkan keterampilan hidup agar mereka dapat mandiri, lindungi anak-anak dari berbagai ancaman, dan upaya-upaya lainnya yang semuanya berorientasi pada kebahagiaan anggota keluarga. Inilah menebarkan salam yang sesungguhnya.

Sekiranya kita seorang pimpinan di sebuah lembaga atau instansi, tebarkan salam dengan memberikan hak-hak bawahan sesuai pekerjaan mereka, jangan menindas dan semena-mena, hargai kerja keras mereka, dan curahkan perhatian serta kasih sayang terhadap bawahan kita.

Sehingga bawahan juga akan menghormati kita karena telah memberikan apresiasi sebagaimana mestinya.  Seorang kepala daerah, menabarkan salam bukan sekedar dalam sambutan acara resmi dengan keras mengucapkan salam.

Tebaran salam seorang pemimpin yang sesungguhnya adalah menghadirkan kesejahteraan secara ekonomi bagi masyarakatnya, menciptakan dan menghadirkan kenyamanan bagi rakyatnya, serta berjuang semata-mata untuk rakyatnya. Jika perjuangannya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, berarti bukan menebarkan salam tapi petaka.

Dalam konteks persaudaraan muslim global, menebarkan salam juga berarti berusaha menyelamatkan saudara kita sesama muslim dari penindasan. Berusaha menyelamatkan Palestina dari tekanan Israel, memperjuangkan hak-hak etnis Rohingya yang terus diperlakukan tidak manusiawi, dan memperjuangkan kehidupan muslim Uighur terus dijajah, serta misi kemanusiaan lainnya.
Sebagai agama yang ramah, bahkan Islam tidak membatasi kita dalam menebarkan salam.

Kita harus berbuat baik kepada siapapun meski mereka berbeda keyakinan dengan kita. Selama lakum dinukum waliyadin, dan saling menghargai, tidak ada halangan untuk berbuat baik kepada mereka, asalkan mereka juga menghargai dan menghormati kita.

Ketiga, menebarkan salam kepada makhluk Allah selain manusia dan alam semesta. Dunia ini dihuni oleh berbagai makhluk dan manusia diberi tugas untuk mengatur itu semua. Alam semesta tidak boleh dicemari dan dirusak. Alam ini harus senantiasa dijaga karena itu semua juga untuk kemaslahatan hidup manusia.

Begitulah, menebarkan salam bukan hanya pada manusia, tapi pada makhluk selain manusia dan alam semesta. Akhirnya, marilah senantiasa menebarkan salam kapan dan di mana pun kita berada.

Dari menebarkan salam secara lisan, hingga mampu mewujudkannya dalam perbuatan sebagai bukti cinta dan kasih sayang sesama muslim maupun sesama manusia. Wallahu a’lam bishawab!

*Pemerhati Pendidikan, Sosial-Keagamaan

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.