Oleh : Marah Halim*
Dapat info dari istri tentang unggahan temannya di Facebook; sebuah video yang menyesakkan dada tentang potret kemiskinan di Haiti, sebuah negara kecil berpenduduk 10 juta jiwa. Banyak orang-orang di sana harus makan lumpur halus yang telah diolah menjadi cemilan kue yang hanya ditaburi garam.
Untuk meyakinkan, penulis “tanya” ke “mbah” google, dapat pencerahan dari Liputan6.com, 02 Agustus 2015 dengan judul “Terbelit kemiskinan, warga Haiti makan kue dari lumpur”.
Berita lain dari tahun 2017, Tribunews mengangkatnya dengan judul “Haiti, harga pangan mahal, warga buat makanan dari bahan yang tak layak, itu kan…”, judul laporannya sepertinya dibuat terputus seakan tidak sanggup menyebutkan bahan baku yang dibuat untuk makanan itu.
Makanan dari lumpur itulah yang dikonsumsi, termasuk anak-anak kecil. Tanahnya tidak pula gratis, tetapi dibeli per-karung seperti layaknya menjual semen.
Kemiskinan yang diderita rakyatnya lebih banyak disebabkan oleh konflik politik yang berkepanjangan. Negara ini adalah bekas koloni Perancis yang ditinggalkan dalam kondisi tidak stabil secara sosial ekonomi dan sosial politik. Saat inipun stabilitas politik sulit diwujudkan di negara itu, ditambah lagi keberadaan gengster yang kerap membuat kekacauan.
Mengetahui kenyataan ada orang yang sampai seperti itu untuk bertahan hidup tentunya membuat kita sangat shock, namun cerita seperti itu juga ada di negara kita, di daerah-daerah tertentu di pulau Jawa dulunya pernah mengonsumsi nasi aking, yaitu nasi yang dikeraskan agar tidak busuk untuk bisa dikonsumsi lagi.
Sekarang pun di kota-kota di sana ada istilah “nasi kucing”, sebungkus nasi yang isinya mungkin hanya segenggam yang harganya hanya seribu rupiah, cukup untuk mengganjal perut tukang para abang becak dan semisalnya yang berpenghasilan cekak.
Semua cerita itu adalah kisah-kisah heorik manusia untuk bertahan hidup di masa-masa sulit. Alhamdulilllah kita di Gayo rasanya belum pernah sepahit itu; jarang pula kedengaran di Gayo ada orang meninggal karena kelaparan tidak makan beberapa hari.
Jika berita seperti itu kita dengar, bisa dipastikan itu kes yang ekstrem yang dikecualikan dari kelaziman; mungkin terisolir sekali dan tidak ada kontak dengan orang-orang lain sehingga untuk makan nasi tok saja tidak ada, sebab kita di Gayo masih kuat budaya tolong-menolong.
Selain itu, ada banyak alternatif bahan pangan selain nasi yang bisa ditanam dan dikonsumsi, terutama bagi yang tinggal di kampung-kampung. Kalaupun ada kasus kelaparan karena tidak ada yang bisa dimakan dan bukan dalam keadaan paceklik, jangan-jangan itu disebabkan karena kepala keluarganya malas atau karena ditelantarkan secara ekstrem karena sebab-sebab tertentu.
Intinya, di Gayo, kelaparan yang ekstrem mudah-mudahan tidak atau langka terjadi. Kita patut bersyukur hidup di tempat yang sangat subur dengan curah hujan yang cukup untuk menumbuhkan tanaman konsumtif tumbuh dengan cepat.
Sebuah anekdot diceritakan oleh guru semasa belajar di SLTA dulu, katanya ada orang Arab yang berkata pada sejawatnya orang Indonesia, “negeri ente hebat, tanam tongkat tumbuh jadi kayu, kami di Arab, tanam kayu malah jadi tongkat”; maksudnya yang ditanam di negeri kita ini seperti singkong bisa tumbuh dengan menanam stek-nya saja, sementara di Arab seperti kita ketahui banyak gurunnya dan sedikit tempat-tempat suburnya.
Sederhana dan solutif
Bentuk-bentuk ketahanan pangan (food security) di masing-masing tempat memang berbeda-beda sesuai dengan alamnya masing-masing. Karena itu macam-macam strategi bertahan harus digali dari kearifan lokal; masing-masing masyarakat punya strategi untuk bertahan hidup, demikian halnya di Gayo.
Disadari atau tidak, masyarakat Gayo memiliki cara unik yang secara sengaja atau tidak cocok untuk diadopsi menjadi strategi hidup di masa sulit seperti masa Covid-19 ini. Yakin kita strategi ini telahpun mungkin diterapkan oleh keluarga-keluarga tertentu. Strategi itu ada dalam budaya makan orang Gayo yang simpel tapi solutif untuk bisa merdeka dari ancaman kelaparan atau kurang gizi.
Rumus makan orang Gayo yang paling pokok adalah nasi, karena itu beras adalah kebutuhan yang paling pokok yang harus terpenuhi di setiap rumah. Bisa dipastikan di rumah-rumah Gayo ala “jaman” tempat berasnya bukan seperti yang terbuat dari plastik sekarang, tapi berupa “tung” yang bisa memuat beras berkaleng-kaleng, tergantung ukuran “tung”-nya.
Nah, jika sudah ada beras maka senyumlah sekeluarga, sebab orang Gayo tidak terlalu pusing memikirkan lauk. Makan tidak mesti ada ikan, kalau ada alhamdulillah; cukup dengan sayur-mayur, itupun jika ada. Ketika nasi sudah ada, yang dipikirkan adalah bagaimana caranya memindahkannya ke perut dengan berselera. Sebab dalam pikiran orang Gayo, beda rasa sate dengan tempe itu cuma setengah jengkal, begitu lewat tenggorokan sama saja.
Nah, solusi mendongkrak selera makan ala Gayo yang sudah terwariskan turun-temurun adalah cecah; sambal mentah dari bahan bumbu dasar-wajib yang ada di dapur seperti garam, terasi dan asam jering (air jeruk seperti jeruk nipis) atau sejenisnya; selebihnya bahan lain jika ada bisa ditambahkan sesuai selera jika sudah terpenuhi tiga rukun wajib tadi.
Semakin enak sumber campurannya, dipastikan rasa cecah semakin maknyus.
Yang juga simpel tapi solutif adalah jajanan orang Gayo. Sebelum membanjirnya jajanan “sampah” seperti saat ini, jajanan yang disiapkan ibu kita di Gayo sangatlah sehat dan bernutrisi. Setiap jenisnya membantu terpenuhinya kebutuhan akan karbohidrat.
Dua yang paling dikenal adalah gutel dan lepat. Dibanding lepat yang biasanya dibuat di momen-momen tertentu; gutel adalah makanan penyela yang sangat mengenyangkan.
Modalnya juga berbasis beras tepung didampingi parutan kelapa dan gula aren atau gula pasir. Memakan dua balutan gutel saja dipastikan tidak lapar lagi, bandingkan dengan makan kue-kue “sampah” yang ada saat ini.
Lepat juga jajanan yang mengenyangkan dan tahan untuk waktu yang lama. Terbuat dari beras ketan yang biasa ditanam mendampingi tanaman untuk beras konsumsi. Membuatnya pun tergolong ringkas karena tidak perlu dibentuk rapi seperti halnya timpan Aceh yang halus dan rapi.
Karena hal ini pula mungkin rata-rata kue khas Gayo tidak memenuhi syarat untuk dianggap “berseni” karena sangat pragmatis. Urusan kerapian dan keanekaan kue harus angkat topi kepada budaya Aceh pesisir yang memang sangat berseni dalam hal ini.
Tantangan buat ibu-ibu milenial
Strategi bertahan hidup di Gayo sebagaimana dinukilkan di atas selaras dengan teori kebutuhan yang diperkenalkan oleh Abraham Maslow, kebutuhan yang paling dasar adalah kebutuhan fisiologis, kebutuhan untuk terbebas dari rasa lapar. Karena ancaman paling besar dari wabah ini sendiri adalah kelaparan, demikian yang ditakutkan oleh beberapa negara seperti Pakistan dan India. Bahkan Pakistan enggan untuk memberlakukan lockdown (pengurungan) karena akan menyebabkan krisis ekonomi yang semakin dalam karena lilitan hutang luar negerinya yang besar (BBC, 08 Juni 2020).
Belajar dari teori ini, prioritas pemerintah seharusnya adalah memastikan jangan ada satu orangpun dari 300.000-an manusia yang hidup di Aceh Tengah atau jumlah yang sama di Bener Meriah mengalami situasi tidak makan. Itu adalah aib pembangunan.
Karena itu, kekuatan dan keakuratan data harus terus-menerus diupdate. Ini adalah tujuan otonomi daerah, jangan ada yang lapar, jangan ada yang tidak sekolah dan jangan ada yang sakit, itu sudah merupakan capaian pembangunan.
Namun demikian, seiring pergantian generasi, budaya “bececah”, gutel dan lepat saat ini kurang melekat bagi ibu-ibu milenial yang “instanis”; semuanya maunya serba instan; mie instan, sambal instan, kue instan, tapi bisa dipastikan semuanya tidak ramah bagi perut dan organ-organ pencernaan.
Berapa banyak anak-anak yang sudah bermasalah lambungnya, ususnya, bahkan ginjalnya; semua karena pengaruh budaya instan. Dalam situasi sulit ini, kiranya strategi cecah, gutel dan lepat perlu dijadikan alternatif untuk melawan lapar tetapi tetap sehat.
Kearifan lokal dalam bertahan terhadap ancaman lapar ini perlu menjadi perhatian pemerintah daerah dan menyesuaikan kebijakan-kebijakannya dengan kebiasaan yang hidup di masyarakat. Peran pemerintah adalah mengadaptasikan program-program yang ada dengan kebiasaan masyarakat.
Di tengah maraknya berbagai jenis bantuan dari berbagai kementerian saat ini, pemerintah daerah perlu mengemas paketnya sesuai dengan kearifan lokal agar bantuan tersalurnya efektif, efisien dan solutif.
*Urang Gayo di Banda Aceh