Oleh : Fauzan Azima*
Malam ini, kegelisahan saya tertuju pada musik dan lagu Gayo. Hanya saja posisi saya bukan pemusik, juga bukan penyanyi, tetapi saya penikmat musik dan lagu.
Setengah hari Ahad ini, saya menikmati musik dan lagu-lagu Gayo di YouTube. Sudah lama saya tidak menikmati musik dan lagu. Mungkin pada saat bersekolah di SMP terakhir saya bisa menikmati musik dan lagu.
Hari ini, ketika mendengar dan menikmati musik dan lagu, saya teringat masa-masa puber pertama waktu SMP. Bayangkan sudah berapa lama saya tidak tidak bercengkrama dengan musik dan lagu. Setelah difikir-fikir pantas saja hidup saya gersang dan tidak berirama.
Padahal bicara tentang musik dan lagu sama juga bicara tentang budaya, sosial, lingkungan hidup, politik, ideologi, bahkan agama. Universalitas musik dan lagu yang berkualitas akan menembus ruang dan waktu.
Musik dan lagu Gayo yang menjadi kegelisahan saya adalah intro musiknya yang lemah, terlalu datar dan kurang daya tariknya. Sehingga saya pribadi cenderung mempercepat “menyeretnya” ke tengah lagu untuk menghilangkan rasa penasaran.
Beberapa intro musik dan lagu Gayo yang lumayan kuat dan betah kita menunggu sampai penyanyi memulai lagunya, di antaranya lagu; “kertan” ciptaan Ibrahim Rado, “lungun” ciptaan Sali Gobal dan ciptaan To’et “urang uten.”
Kreatifitas anak-anak muda Gayo dalam mengekplorasi musik dan lagu Gayo patut diapresiasi, namun proses kreatif itu akan sempurna dengan menguatkan “intronya” yang merupakan “alinea pertama” dari keseluruhan musik dan lagu.
Perlu kesabaran untuk mendapatkan hasil yang sempurna. Impian untuk mendapatkan musik dan lagu Gayo yang berkualitas tidak didapat dengan gratis. Dia harus diraih dengan perjuangan.
Sebagai orang awam dalam seni musik akan berusaha menikmati “bacaan” dari awal sampai akhir suatu musik dan lagu bergantung kepada “musik pembukanya”.
(Mendale, Senin, 8 Juni 2020)