Oleh : Fauzan Azima*
Cuaca di kampungku sudah direstart kembali ke tahun 1980-an. Sepanjang tahun curah hujan lebih banyak daripada kemarau. Tampaknya, label Takengen sebagai kota dingin sudah bisa disematkan kembali.
Curah hujan yang tinggi menjadi berkah sekali gus bencana bagi kita. Dulu, hujan dari hari Jum’at ke Jum’at berikutnya, hati kita tidak was-was dengan erosi dan banjir bandang karena kita percaya luas tutupan hutan masih cukup menampung seberapapun air hujan jatuh dari langit.
Sekarang, hujan satu jam saja, hati kita akan gundah dan bertanya, “Daerah mana lagi yang akan longsor dan banjir?” karena hutan di sekitar kita sudah mulai gundul dan tidak akan mampu lagi menampung air hujan.
Kampungku yang kembali dingin, nyamuk pun jadi enggan berkembang biak. Aku bangga bisa bercerita kepada kawan-kawan di kota lain, “Di kampungku tidak banyak nyamuk. Orang-orang nyaman tidur tanpa harus memasang obat nyamuk.”
Betapa tidak, nyamuk di Jakarta sudah bisa beradaptasi di hotel lantai 8. Jadi aku terpaksa pesan kamar lantai 9 agar aman dari nyamuk. Hanya saja masalahnya semakin tinggi, jaringan internet semakin lelet. Padahal antara tahun 2005 akhir sampai dengan tahun 2008, pesan kamar di lantai 5 pun tidak ada nyamuk.
Aku senang dan bangga dengan cuaca di kampungku yang dingin, namun tidak dengan orang-orangnya yang mudah marah. Barangkali gertak sambal dan marahnya wakil bupatiku, gerombolan nyamuk takut hidup beranak pinak.
Sebenarnya aku, tidak ada masalah dengan nyamuk. Aku tidak akan menepuknya meski ada kesempatan. Mereka juga makhluk Allah yang bernyawa. Lebih baik mengusirnya dari pada harus membunuhnya.
Aku banyak belajar soal prilaku nyamuk. Dia lebih suka mendatangi kita saat tidur daripada duduk dan berdiri. Aku sering mengakali mereka untuk mengalihkan perhatiannya dengan menggantung di sampingku baju yang penuh keringat lalu kurendam dengan air. Pada malamnya, semua nyamuk menyerang baju itu. Paginya aku lihat mereka sudah gemuk-gemuk dan tidak bisa lagi terbang.
Alhamdulilah, tidak banyak tempat di dunia ini seperti kampungku. Aku dengan lancar mempromosikan kekhasannya; kopi, dingin, danau, gunung, lembah, gunung merapi dan tentu saja tidak banyak nyamuk. Kalau rakyat dan pemimpinnya lemah lembut dan tidak saling membenci, tidak saling marah, rasanya aku ingin hidup seribu tahun lagi di kampungku tercinta ini.
(Mendale, Selasa, 2 Juni 2020)






