Aku Ingin Jadi Sutradara

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Saya ditakdirkan memiliki DNA perlawanan dari pihak ibu yang merupakan sepupu dengan Tengku Ilyas Leubee, Menteri Keadilan dan Perdana Menteri Aceh Merdeka sebelum YM Meutroe Malek Mahmud Al-Haytar.

Garis zuriat itu, memudahkan saya bergaul dengan para anasir GAM, meskipun secara resmi baru masuk GAM pada tahun 1998 pasca lengsernya Soeharto dari kursi Kepresidenan RI.

Dalam angan saya, tidak akan bergabung dengan pasukan masuk hutan. Cukup pada posisi clandestine karena saya terlalu gemuk untuk bergerilya dan saya menikmati udara bebas serta bergaul dengan pejabat dan kontraktor.

Apalagi saya tidak pernah latihan militer di manapun. Saya bukan eks Libya, bukan eks Malaya, juga bukan eks manapun. Dalam jiwa ini hanya ada “Kami bukan pemberontak, kami hanya mencari identitas yang hilang” dengan cara yang tidak lazim.

Saya percaya hari ini kita tidak merdeka, pada saatnya yakinlah Aceh akan kembali kepada asalnya; dari kerajaan kembali kepada kerajaan yang tidak membangkitkan kembali feodalisme dan rajanya akan membangun istana di dalam jiwanya.

Saya pun tidak pernah menggunakan senjata. Muallim pernah marah kepada saya karena tidak memegang senjata. Andai musuh tahu, kala itu mereka tidak perlu menurunkan ribuan tentara menangkap saya. Mereka cukup mengirim pecinta alam atau gadis cantik untuk menjebak saya.

Keterpaksaan yang mengharuskan saya menjadi panglima. Tidak ada pimpinan GAM yang bertanggung jawab di lapangan sehingga mau tidak mau, saya harus memimpin pasukan.

Kita berlaku menurut masa dan keadaan. Gerakan perlawanan bersenjata waktu itu sangat keren, tetapi masa kini gerakan tanpa kebencian dan kasih sayang kepada semua makhluk mengantarkan kepada norma kelaziman yang akan mengantarkan kita kepada “tauhid” atau tahu diri.

Begitulah perjalanan hidup, seperti sebuah panggung sandiwara. Kalau bisa memilih, aku ingin menjadi sutradaranya.

(Mendale, Minggu, 31 Mei 2020)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.