Oleh : Johansyah*
Saat ini, agak sensitif menyebut kata impor. Beberapa pembaca bisa jadi menyebuk kita sedang mengkritisi pemerintah atau bahkan mungkin memosisikan kita sebagai kelompok yang berseberangan dengan pemerintah. Ini juga berdasarkan amatan saya di media sosial.
Di mana setiap ada pengkritik banyak yang mengasumsikan dia itu ‘lawan’ pemerintah.
Minsalnya di lini masa facebook, saya bagikan berita tentang Indonesia impor bawang, beras, dan impor sayur. Lalu ada yang berasumsi; ‘orang ini kelihatannya kurang senang dengan pemerintah yang saat ini memang sering mengimpor berbagai kebutuhan dalam negeri’.
Ini bukan soal politik, tapi sebuah pengamatan lepas dari fenomena masyarakat Indonesia yang ternyata memang suka barang impor. Tentu bukan soal aktivitas impor barang yang dilakukan oleh pemerintah semata, masyarakat kita juga ternyata lebih senang yang ‘punya’ orang dari pada miliknya sendiri.
Ihwal impor mengimpor bukan sekedar impor yang bersifat materi, tapi juga non materi, yakni berupa tatanan nilai budaya, termasuk bahasa. Kita orang Indonesia dengan beragam suku dan bahasa ternyata tidak setia dengan budaya dan bahasa sendiri. Entah sadar atau tidak, banyak komunitas yang memilih hidup dengan pola budaya baru, dari pada bertahan dengan budayanya.
Bukannya membentrokkan tradisionalis dengan modernis, atau konservatif dan progresif. Untuk hal-hal tertentu kita memang sudah kelewat batas. Untuk sebagian tatanan hidup, kita memang harus berkiblat pada pola hidup kekinian. Contohnya pemanfaatan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan. Tapi untuk hal-hal yang sifatnya prinsip, seperti nilai budaya sebenarnya harus tetap dipertahankan.
Silakan beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan teknologi karena kehidupan jaman now tidak mungkin terlepas dari kebutuhan ini. Tapi jangan coba-coba mengotak-atik nilai budaya-agama dengan alasan perubahan. Sebab kalau tidak hati-hati, kita akan kehilangan identitas dan generasi selanjutnya akan hidup tanpa identitas itu.
Kita dipersilahkan untuk memiliki handphone sebagai alat komunikasi dan untuk saling tukar informasi. Demikian halnya mobil, sepeda motor, atau mungkin pesawat, silahkan dimiliki agar sebagai sarana transportasi. Begitu juga dengan alat teknologi lainnya yang memang dibuat untuk memudahkan pekerjaan manusia.
Untuk hal-hal yang berbau nilai budaya, sebaiknya harus memilih dan memilah dengan cermat. Contohnya berpakaian. Tidak usah perempuan, pakaian laki-laki saja. Sebenarnya tidak ada persoalan ketika seorang laki-laki remaja atau dewasa mengenakan celana pendek yang hanya menutupi paha dan lutut sambil mengenakan singlet.
Tapi bayangkan kalau dia berada di hadapan orangtua atau mertua, orang yang melihat akan menilai dia kurang adab atau kurang beretika. Dia mungkin merasa biasa saja, tidak ada rasa bersalah karena kata dia, saat sekolah di Australia biasa mengenakan pakaian seperti itu. Hanya saja kita juga perlu katakan padanya bahwa dia sekarang berada di Gayo Indonesia, bukan di negeri Paman Sam.
Kalau mau diamati, banyak nilai yang berkembang dalam masyarakat yang itu semua merupakan impor dari negara lain, umumnya barat. Bahkan kebarat-baratan itu terkadang lebih membanggakan sebagian orang. Entahlah kenapa kebarat-baratan itu identik dengan kemajuan, sementara kalau ketimur-timuran-katakan saja surban, identik dengan ketinggalan jaman. Tapi yang jelas seperti itulah format pemikiran banyak orang ketika melihat antara orang yang bercelana pendek kaos oblong dengan orang yang mengenakan baju gamis.
Impor Bahasa
Ini yang paling menarik untuk diamati. Di Indonesia hampir setiap hari muncul instilah baru. Saya termasuk orang sering terlambat memahami istilah tersebut setelah terlebih dahulu teman-teman menggunakannya di media sosial. Bicara impor bahasa sebenarnya susah juga karena kata impor itu sendiri merupakan hasil impor dari bahasa lain. Tapi karena kita memang kekurangan perbendaharaan sinonim bahasa Indonesia, terpaksa kata inilah yang masih digunakan.
Untuk menyebut maksud lain, kita sudah banyak melakukan impor bahasa. Minsalnya reformasi, aktualisasi, remisi, revisi, normalisasi, dan ribuan bahkan jutaan istilah lain. Demikian juga dalam bahasa gaul, muncul istilah OMG, OTW, prank, guys, dan lain-lain.
Di era penularan wabah covid-19 kita juga mengenal istilah social distancing, lockdown, seperti yang pernah disinggung oleh kanda Dr. Joni dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu, dan lain-lain. Baru-baru ini muncul pula istilah new normal yang sebelumnya kita tidak pernah dengar. Ya, memang begitu, kita suka yang impor, sampai bahasa pun ternyata banyak sekali yang diimpor.
Saya hanya teringat, sebenarnya Indonesia itu terdiri dari beragam suku dan bahasa. Artinya dari segi budaya dan bahasa Indonesia itu sangat kaya. Tapi sayang kita sia-siakan kekayaan ini. Entah karena ketidakpahaman bahwa itu mutiara berharga, atau memang menganggap itu sama sekali tidak berharga.
Apa yang ingin saya katakan, sebenarnya kalau kita ingin melakukan serapan bahasa, ambil saja istilah-istilah yang ada dalam bahasa daerah kalau memang kosa kata itu tidak terdapat dalam bahasa Melayu. Minsalnya dari bahasa Gayo, Aceh, Jawa, Sunda, Madura, Padang, Batak, Dayak, dan lain-lainnya. Kekayaan bahasa inilah yang sejatinya kita manfaatkan, bukan malah senang mengimpor istilah baru dari bahasa negara lain.
Berbicara bagaimana cara mempertahankan dan melestarikan bahasa dan budaya, sebenarnya tidak usah jauh. Minsalnya dengan membuat kurikulum muatan lokal di lembaga pendidikan formal. Cukup dengan memasukkan dan membakukan bahasa-bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia, itu sebenarnya langkah sederhana tetapi memiliki pengaruh positif yang luar biasa.
Untuk tujuan ini saya melihat sebenarnya kampus memiliki peran yang sangat besar. Sebab istilah-istilah baru itu biasa muncul dari para guru besar yang kemudian diikuti oleh mahasiswa. Coba perhatikan setaraf guru besar jadi khatib jum’at. Kalau dia menggunakan sekitar seribu lima ratus kosa kata, sepertiganya adalah istilah-istilah yang tidak dipahami jama’ah. Memang begitu, karena pengaruh bacaan buku bahasa Inggris mungkin ya?
Sebagai penutup, ada sebuah buku berjudul Antropologi Qur’an, yang ditulis oleh Ali Sodikin. Penulisnya mengulas bagaimana al-Qur’an yang begitu terbuka untuk perubahan. Namun untuk hal-hal mendasar yang berpotensi merusak, al-Qur’an kemudian memilih dan memilah, mana budaya yang dapat dipertahankan, disesuaikan, dan mana budaya yang sejatinya dihilangkan.
Terakhir. soal impor mengimpor dalam berbagai hal yang kita bincangkan tadi, silahkan diimpor kalau memang kita tidak punya barang itu. Kalau kita punya, buat apa diimpor?
*Pemerhati Pendidikan dan Sosial-Keagamaan