Oleh : Fauzan Azima*
Tengku Abdur Rahim berasal dari pesisir utara Aceh yang memiliki darah campuran Persia adalah keturunan pandai besi dari nenek moyangnya pada saat Kerajaan Samudera Pasai masih berdiri.
Satu malam Tengku Abdur Rahim bermimpi, bahwa beliau harus menikah dengan seorang gadis si pahit lidah atau berpangkal lidah berwarna hitam. Beliau mengembara sambil mencari petunjuk untuk menemukan calon istrinya.
Takdir Allah, dalam pengembarannya bertemulah dengan Reje Delung Tue bernama Tengku Yunus yang bergelar Datok Gayo. Beliau menceritakan rahasia di dalam mimpinya kepada Datok Gayo.
Setelah mengetahui putri Datok Gayo bernama Semedah memiliki ciri-ciri seperti yang disebutkan dalam mimpinya maka beliaupun melamarnya. Datok Gayo-pun mengiyakan dengan syarat memenuhi mahar; “Seberat badan seimbal nyawa.”
Tengku Abdur Rahim pun pulang ke kampung sambil mencari tahu makna dari mahar yang disyaratkan Datok Gayo.
Setelah mengetahui dan menyiapkan isi maharnya; seberat badan berarti kitab atau ilmu dan seimbal nyawa bermakna pedang, beliau kembali menemui Datok Gayo. Akhirnya pada hari baik, Tengku Abdur Rahim menikah dengan Semedah.
Dari darah suci dan mulia inilah, pada tahun 1852 lahir bayi bernama Ibrahim yang setelah dewasa, orang menyebutnya dengan Tengku Tapa karena kebiasaannya bertapa di hutan belantara, terutama menjelang akan berperang dengan Belanda.
Wajah Tengku Tapa selalu tampak pucat karena kurang terkena sinar matahari. Kebiasaannya selalu memakai empat kain berwarna putih yang dipintal menjadi satu di lehernya. Kain yang menyerupai tali itu selalu dipakainya saat berperang sampai beliau ghaib.
Tengku Tapa menikah dengan gadis turunan dari bagian tenggara Tanoh Gayo bernama Dawamah. Dari pernikahannya mereka dikaruniai seorang laki-laki bernama Muhammad dan seorang perempuan bernama Cahaya Limpah.
Muhammad syahid di Aceh bagian Utara ketika berperang melawan Belanda dan Cahaya Limpah dinikahkan dengan kepercayaan Tengku Tapa yang bernama Tengku Melum atau Pang Bona yang merupakan guru dari Tengku Ilyas Leubee.
Pejuang Aceh membagi tiga wilayah perang dengan pimpinan masing-masing; Wilayah barat selatan dipimpin oleh Teuku Umar, wilayah Pidie dan Aceh Besar dipimpin Tengku Chik di Tiro dan wilayah Utara, tengah dan timur Aceh dipimpin oleh Tengku Tapa. Bahkan ketika perjuangan Teungku Chik di Tiro dan Teuku Umar mulai redup, perlawanan Tengku Tapa masih berkobar melawan Belanda.
Banyak peperangan yang dipimpin Tengku Tapa bersama “Pasukan Muslimin,” melawan pasukan Belanda. Di antaranya di Pepedang atau Wih Pecampuren.
Pada tahun 1897, seperti tulis Atjeh Imperial Archives, Laskar Tamiang yang telah bergabung dengan 20 orang Gayo dan 120 orang dari pesisir Aceh di bawah kendali Panglima Tengku Tapa melakukan perlawanan dan terjadi kontak tembak dengan Opsir Belanda yang akan menuju Manirang.
Para murid dan pasukan Tengku Tapa; di antaranya, Tengku Mata’i yang syahid di Samargading, Pang Akub, Pang Bedel, Pang Ben, Pang Tjik dan Pang Latih yang tidak mau menyerah dan turun sampai tahun 1970-an, walaupun Indonesia sudah merdeka.
Tengku Tapa syahid saat perang dengan pasukan Belanda di Kuta Piyadah dan dimakamkan di Matang Ano, Seuneddon, Aceh Utara. Pada saat syahid jasadnya tidak ditemukan dan yang dikuburkan adalah sorban dan pakaiannya. Beliau dikuburkan dengan 40 orang Gayo yang syahid.
(Tamiang, 18 Mei 2020)