Oleh : Fauzan Azima*
Tidak seperti pencuri zaman dulu, pencuri sekarang sekilas pandangan mata tampak lebih beradab. Tetapi yang namanya pencuri ya tetap pencuri.
Darah daging tidak pernah berbohong, kemanapun mereka berlabuh, DNA nyolongnya tetap ikut. Mereka tampak terhormat karena bermain pada areal kebijakan. Berlagak bak pahlawan, walau sesungguhnya, tidak ada pahlawan di antara pencuri.
Bagaimana dengan setumpuk kertas mereka kuasai hutan dan menggundulinya, mengeruk kekayaan dari perut bumi dengan mengelabui pemilik aslinya atas nama peraturan perundang-undangan.
Ironisnya, ketika terjadi bencana alam banjir, kebakaran, erosi, kekeringan dan ancaman kelaparan, kemanakah mereka? Apa upaya mereka dalam mengatasi masalah alam dan sosial itu?
Pada saat untung mereka diam seolah merugi, tetapi ketika sekali benar-benar rugi mereka membuat release di media. Bahwa mereka perlu suntikan dana dari pemerintah agar usahanya tidak kolap.
Berlipat ganda sudah keuntungan mereka. Semua hanya dengan modal kebijakan mencuri legal. Licik memang! Mereka menempatkan orang-orangnya pada jabatan strategis, terutama memuluskan mereka untuk mencuri kekayaan alam.
Sesungguhnya kita sedang melihat tontonan panggung drama, tetapi kita larut dalam cerita berliku-liku yang tidak berkesudahan. Pada saat panggung drama ditutup, tanah-tanah adat pun sudah dikuasai pencuri.
(Mendale, 14 Mei 2020)