Oleh : Fauzan Azima*
Matahari tepat di atas kepala. Panasnya begitu menyengat. Tidak seperti wilayah Gayo yang umumnya dingin, kawasan Linge udaranya cukup panas. Abu Tonga dengan keringat bercucuran berlindung di bawah pohon kemiri dengan alas pelepah pinang.
Kawasan perkebunan masyarakat itu cukup aman karena berbatas langsung dengan hutan. Pada pematangnya sebagian besar hutan pinus, sedangkan di lembahnya pohon-pohon cukup rapat. Masyarakat melepas ternak kerbaunya di kawasan hutan Linge.
Sementara Pang Laba-Laba memeriksa gubuk-gubuk di kebun masyarakat, barangkali ada sesuatu yang bisa mengganjal perut. Sudah beberapa gubuk dia periksa namun tidak ada sesuatu yang bisa dimakan.
Selama diberlakukan darurat militer, masyarakat yang pergi ke kebun harus melapor ke pos dan aparat memeriksa setiap bawaan ke kebun termasuk beras atau nasi.
Abu Tonga mengamati, seorang lelaki warga Linge yang sedang mengumpulkan pelepah pinang yang sudah jatuh ke tanah. Lelaki itu merasa heran, salah satu dari pelepah pinang itu tidak mampu dia tarik. Seperti ada beban berat yang menahannya.
“Ama, aku kunul i atasni upihni, enti tegu Ama! (Pak, saya duduk di atas pelepah pinang ini, mohon jangan ditarik, Pak!” kata Abu Tonga mencoba melarang lelaki itu menarik pelepah pinang sebagai alas duduknya.
Lelaki setengah baya itu tidak mendengar suaranya. Dia terus menarik pelepahnya dengan sekuat tenaga. Namun tetap saja pelepah pinang itu tidak bergeser.
“Ama, aku ini, gere engon Ama ke aku? (Pak, saya ini, apakah Bapak tidak melihat saya?” Abu Tonga mengeraskan suaranya.
Lelaki itupun berusaha lari karena ketakutan mendengar suara orang tetapi tidak ada wujudnya, namun Abu Tonga cepat memegang tangannya dan meyakinkan bahwa dirinya bukan hantu.
“Ama, kami ari bur (Pak, kami orang gunung),” Abu Tonga mencoba meyakinkan lelaki yang ketakutan itu agar tetap tenang.
“Ari bur” adalah sebutan bagi pasukan GAM karena daerah bersembunyian dan tempat tinggalnya di gunung. Penyebutan “pake bur” agar tidak diketahui maksudnya oleh musuh.
“Maaf…maaf Tengku,” kata lelaki itu berulang kali.
Abu Tonga terus menerus meyakinkan, bahwa dirinya tidak akan menyakitinya. Hanya saja kalau dibiarkan terus turun ke kampung dikhawatirkan akan melapor kepada Pos TNI.
Mereka perlu makan untuk menambah tenaga. Untuk saat ini, mereka rasanya tidak cukup kuat untuk berlari. Sehingga bagaimanapun caranya agar lelaki itu tidak melaporkan kepada siapapun keberadaan mereka serta sedapat mungkin memberinya makanan.
Abu Tonga dan Pang Laba-Laba bersiasat bahwa yang turun ke kampung hanya mereka berdua. Sedangkan pasukan lainnya bersembunyi di tengah hutan.
Bagi lelaki itu sendiri, baru sekali seumur hidupnya mengalami peristiwa ganjil seperti yang baru saja dialaminya. Sehingga sangat berkesan bagi dirinya. Dia berjanji akan membantu makanan dari kampung.
Mereka cukup lama bertahan di kawasan Linge. Bahkan tidak jarang mereka membersihkan makam Raja Linge sembari bertafakur. Dalam keheningan Abu Tonga menemukan jawaban atas peristiwanya lelaki pengumpul pelepah pinang, bahwa “keramat atau kemuliaan” hanya melekat pada keyakinan atas kebenaran.
Apapun situasinya di masa perang, Abu Tonga alias Pang Doyok bernama Tengku Ilyas tetap berjuang sampai ke batas. Di masa perang beliau adalah Wakil Panglima Daerah IV GAM Wilayah Linge.
Sekarang beliau menjalani hidup sederhana sebagai penjual es keliling. Hidup qana’ah menjadi pakaiannya. Beliau tidak pernah mengeluhkan kekurangan ekonominya. Seperti petempur GAM lainnya, tidak pernah sesumbar bicara tentang perang, termasuk dalam mencari rizki, mengancam pihak lain dengan membawa nama perjuangan, bukan karakter dari pejuang sejati.
(Mendale, 1 Mei 2020)