Oleh : Drs. Jamhuri Ungel, MA*
Corona atau covid-19 adalah virus menular yang dipahami awalnya menular dari hewan ke manuasia. Karena dalam kajian keilmuan virus atau bakteri pada awalnya adalah berasal dari hewan, baik itu hewan liar ataupun hewan peliharaan.
Ada pendapat yang mengatakan kalau domistikasi hewan juga berpengaruh dengan virus dan juga karena keganasan hewan, karena itu tidak semua hewan dapat dipelihara (menjadi peliharaan) manusia.
Corona yang berasal dari Wuhan (Cina) kini tidak ada lagi orang yang tidak mengenal yang namanya corona dan juga tidak ada lagi Negara di dunia yang tidak terwabah penyakit menular tersebut, hanya saja yang membedakan masing-masing Negara tersebut adalah persentase atau jumlah orang yang terkena wabah.
Banyak penyakit menular yang dikenal dalam sejarah kehidupan manusia, namun penyakit menular yang lainnya kebanyakan bersifat parsial untuk daerah-daerah tertentu berbeda dengan penyakit corona ini bersifat global.
Ketika diketahui penyakit corona sebagai penyakit menular yang bersifat global maka system penanganannya juga haruslah menganut prinsip global dan harus ditangani juga dengan pola pikir global serta tidak boleh parsial. Karena metode parsial cocok digunakan untuk kasus-kasus parsia, seperti penyakit TBC, diare dan lain-lain.
Penyakit ini juga penyakit menular namun biasa terjadi secara varsial untuk daerah dan keadaan tertentu. Kasusu seperti ini sering disebut dengan kasuistik.
Penanganan yang bersifat global terhadap covid-19 ini memberi arti penanganan yang menyeluruh dari berbagai aspek. Aspek ekonomi yang menimpa masyarakat harus diselesaikan dengan penanganan ekonomi global karena akibat dari covid-19 berefek tidak hanya kepada ekonomi masyarakat kecil tetapi seluruhmasyarakat bahkan seuruh negara.
Sistem politik yang terganggu saat ini mesti diselesakan dengan sistem politi global. Demikian juga dengan pola pemikiran beragama harus diselesaikan dengan sistem berpikir global.
Penanganan covid-19 sekarang ini dilihat dari sisi kenegaraan (politik) telah menerapkan sistem pencegahan dan pananganan global, demikian juga dengan pencegahan atau penanganan wabah dari sisi kesehatan atau virus telah mengikuti prosedur atau standar kesehatan dunia.
Jadi setelah Wuhan (Cina) dan virus menular kenegara lain, maka negara lain seperti Amerika, Itali dan negara-negara lain yang tertular mengikut prosedur yang dibuat untuk Wuhan. Sampai kepada Indonesia, Malaysia, Berunai dan lain-lainnya.
Pola berpikir global sebagaimana sisi-sisi yang telah disebutkan nampaknya tidak berjalan dalam bidang agama baik dalam bidang Teologi terlebih lagi dalam bidang fiqh (pengamalan bidang hukum Islam).
Dalam bidang teologi belum ada kesepakatan apakah corona itu muthlak kewenangan Allah, sehingga hanya Allah yang mampu menghilangkan atau menyembuhkan mereka yang terwabah, atau dalam wabah corona ini ada kewenangan manusia dalam menghilangkan dan menyembuhkan mereka yang terwabah.
Akibat pola pikir seperti ini lahirlah keberagaman sikap, ada yang berbuat (ibadah dan semua perbuatan) tanpa mendengarkan saran atau ucapan orang lain kendatipun yang mengucapkannya adalah para ahli atau ilmuan, di lain pihak ada yang mempercayai adanya peran manusia sehingga mereka mendengar dan mematuhi aturan yang dibuat oleh manusia.
Dalam aliran ushul fiqh juga ada dua aliran berpikir, yakni berpikir global dan berpikir parsial. Sebagian ulama berpendapat kalau dalil yang bersifat global itu qath’i dan ketika ditemukan dalil global maka diamalkan dalam keglobalannya tanpa harus mencari petunjuk parsial dari dalil tersebut.
Sebagian lagi ulama berpendapat kalau dalil global itu zhanni, sehingga tidak bisa beramal dengan dalil global sebelum ditemukan dalil parsialnya. Ulama yang berpikir dalil global itu qath’I dipeloporioleh Imam Hanafi, ulama yang berppikir dalil global itu zhanni adalah Imam Syafi’i.
Pola pikir global dan parsial yang dianut dalam bidang ushul fiqh bisa kita acu ke dalam pola penyelesaikan atau bersikap terhadap virus corona atau covid-19 yang sedang mewabah di dunia saat ini.
Mereka yang mengamalkan dalil global secara qath’I menyikapi corona atau covid-19 sebagai wabah global yang harus disikapi secara global juga, artinya mereka mengamalkan petunjuk global sebagai acuan dalam beramal.
Secara global ulama di dunia menyatakan kalau pelaksanaan ibadah dalam masa corona mengikut kepada petunjuk ahli bidang virus dan untuk menghindari penularannya harus dengan physical distanting dan social distating selanjutnya dalam pengamalan hokum para ahli hokum menggunakan qaedah dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbul mashalih, ad dharuratu tubihul mahzhurat,ad-dhararu yuzal.
Semua kaedah ini memberi petiunjuk bahwa kemudaratan itu harus dihilangkan, dalam keadaan darurat semua menjadi boleh.
Sehingga pengamalan ibadah yang berakibat pada lahirnya kemudaratan maka harus dihindari, diataranya adalah shalat berjama’ah, karena shalat jamaah sangat rentan pada penularan covid-19 maka shalat berjamaah dilarang baik, apakah shalat jamaah karena hukumnya sunat seperti shalat lima waktu, shalat tarawih dan lain-lain atau juga hokum shalat berjamaah itu wajib seperti shalat jum,at.
Penetapan hukum ini berlaku pada tempat Ibadah Masjidil Haram dan juga Masjid Nabawi.
Bagi mereka yang menganut pengamalan dalil zhanni pada dalil global, mereka tidak mengikut pendapat yang mengatakan kalau dalil global itu qath’I, kalaupun mereka tidak menolak secara muthlaq tetapi mereka selalu melihat pada keparsialan dalil, baik parsialnya pada dalil lain atau juga parsialnya pada keadaan.
Untuk ini mereka dalam menyikapi pengamalan ibadah dalam masa covid-19 ini, mereka tidak meninggalkan shalat berjamaah tetapi menyikapi dengan menjaga jarak jamaah (menjarangkan shaf) dan sebagian mereka tetap mengamalkan hukum jamaan sebagaimana dalam masa azimah yaitu shaf harus rapat.
Alasan mereka adalah jamaah yang aada dalam masjid tersebut tidak terjangkit covid-19 atau juga alas an lan.
Solusi yang penulis tetapkan dalam kajian ini adalah, karena corona atau covid-19 adalah wabah virus global makan cara menanganinnya juga harus bersifat global.
Aturan kesehatan dunia (WHO) untuk menghidar dari penularan harus dengan physical distanting dan social distatin maka semua itu harus mematuhinya, ijtihad para mujtahid yang bersifat global menghilangkan/menutup fatwa yang bersifat parsial terutama dalam kasus global seperti kasus corona ini.
*Dosen Ushul Fiqh pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh, dan Tenaga ahli bidang Khazanah dan Budaya Aceh pada Lembaga Wali Nanggroe Aceh.