[Cerpen] Dialog Nurani
Oleh : Muslailati Rala Novila
Kusapa nuraniku pagi ini dengan sedikit kesal
“Selamat pagi”, ketusku dengan wajah bersungut.
Kulihat nuraniku malah tersenyum
“Kenapa, kesal ya. Tidak bisa tidur sepanjang malam?” ejek nuraniku
Masih dengan senyum. Aku membungkam
Dan tanganku masih perlahan memotong sayuran yang akan kujadikan untuk sarapan pagi ini.
Kini nuraniku berpindah duduk di sampingku, menatapku bak sebuah kewibawaan tinggi, tidak berpindah arah tatapan, mengarah tepat ke mataku, saat aku berpaling ke arahnya. Mungkin nuraniku merasa tidak tepat saat dia di sampingku, dengan gerak cepat dia bergerak pindah tepat di depanku.
“Buka hatimu,” suara nuraniku tegas dan tangannya menunjuk ke dadaku
Aku masih membungkam, memberengut dan terus memotong sayuran yang akan kujadikan sarapan.
“Ayo kita bahas”, tambahnya.
“Coba lihat, keuntungan apa yang sudah kamu dapatkan
Sejak semalam menangis, tidak tidur, terus berpikir kenapa mereka seperti itu
Siapa yang rugi, ayo jawab, siapa yang rugi,” kali ini suara nuraniku meninggi.
“Biarkan saja, kenapa?”, serbunya lagi.
“Tapi tidak nyaman menjadi tertuduh,” aku memotong cepat, lirih.
Nuraniku menatapku, dahinya berkerut.
Kali ini dia nampak marah, kembali menatap lurus ke mataku.
“Apa kamu pikir aku nyaman berada dijiwamu, dihatimu” nuraniku berhenti sejenak.
“Jangan memotong kalimatku dulu”, tandasnya.
“Aku ingin hati dan jiwa tegarmu, tidak lemah apalagi cengeng,” lanjutnya.
Aku berpura pura tidak melihat nuraniku, tanganku masih sibuk mencincang sayuran di depanku, seolah sangat fokus, padahal sebenarnya aku ingin mendengarkan lagi nuraniku bicara.
“Ayo lihat kesini” nuraniku memaksaku menatap tepat kedepan, dimana ada nuraniku disana.
“Apa kamu percaya dengan waktu,” suaranya kini lirih.
Aku menatap nanar ke arah nuraniku. Tidak ingin menjawab, karena aku tahu pasti, apa yang aku tahu, hati dan jiwaku tahu, maka nuraniku akan tahu.
“Biarkan kebencian mereka, tuduhan mereka, ego mereka, rasa tidak berterimakasih mereka, keangkuhan mereka, biarkan larut bersama waktu. Apa yang kamu tunggu, pengakuan? benarkah kamu menunggu sebuah pengakuan, akan benar atau salahnya dirimu, dan mereka?” nuraniku berhenti sejenak, seperti menunggu jawabanku. Aku menggeleng pasti.
“Tidak, bagiku pengakuan manusia adalah kesemuan. Aku aman semasih yang kulakukan mendapat kategori kebaikan”, jawabku.
“Nah, itu,” sambar nuraniku. Aku tersenyum.
“Kalau begitu, sudahi ketidak relaan ini, dan jangan paksakan kebencian mereka lepas dari persepsi mereka, biarkan saja.
Kamu tetap jalani garis yang sudah menjadi ketetapanmu.
Dan untuk apa air mata tadi malam? Percuma, sia sia, dicucurkan untuk apa?
Untuk sebuah kekesalan? Apa akan berikan perubahan predikat padamu?
Tidak akan pernah. sekarang ayo jabat tanganku,” nuraniku menyodorkan tangannya padaku.
Aku menatapnya nanar, untuk kemudian memutuskan menyambutnya.
“Jabat tangan untuk apa”, tanyaku.
Nuraniku menggenggam erat tanganku.
“Sebuah janji”, jawabnya.
“Janji untuk jadikan cerita ini menjadi pengalaman berharga dan sebagai kendali langkah ke depan,” lanjutnya.
Aku mengangguk perlahan.
“Dan percaya pada keadilan Tuhan”, kali ini suara nuraniku sangat lirih.
“Tak perlu menjelaskan kebaikan kita karena yang menyukai kita tidak memerlukannya. Dan yang membenci kita tak akan mempercayainya,” kali ini sepertinya ending nuraniku berkata kata.
“Pasti”, jawabku tegas, sambil melemparkan senyum manisku.
“Baik, aku ingin kembali bersemayam aman damai dihati dan jiwamu, jangan usik aku lagi, aku ingin tidur dengan nyaman
Tadi malam kamu tidak biarkan aku lelap.
Owh ya, masak sarapan yang enak ya”, nuraniku tersenyum manis dan beranjak pergi, menuju hati dan jiwaku.
Kini aku lega, dan sarapanku sudah hampir selesai.
Ada yang mau ikut sarapan denganku?
Medio, akhir Maret 2020
*Muslailati adalah guru di salah satu Madrasah Tsanawiyah (MTsN)