[Kisah] Putri Burung Mergah Dan Gelingang Raya Bagian. 10

oleh

[Kisah] Putri Burung Mergah Dan Gelingang Raya Bagian. 10

Diceritakan kembali oleh:
Aman Renggali

Beberapa langkah ia beranjak dari tempat semula, mengitari sekeliling yang memungkinkan tidak terlihat dari jarak jauh. Kearah barat yang langsung berbatasan dengan tebing lembah lalu memandang dengan seksama setiap perdu pohon rengkenil dan bebeke yang berjajar.

Lalu kearah timur dimana gugusan bebukitan sambung bersambung menuju ke Ibu Kota Kerajaan Tampon, tetapi tidak ada tanda jika suara yang dengar berasal dari arah yang demikian jauh. Sebab yang mengiang di telinganya suara itu demikian dekat.

Beberapa lama Gelingang Raya mulai putus asa dan berniat hendak melanjutkan perjalanan pulang. Ingatannya hanya kepada ibunya Hayya. Ia mengemasi semua barang-barangnya, kembali memasukkannya ke dalam keranjang besar yang akan dipanggul di pundaknya.

Namun sesaat ia akan beranjak suara itu kembali terdengar.
“Tolong..,.tolong, tolong!”
“Tolong..,.tolong, tolong!”
“Tolong bantu aku wahai manusia!”

Entah mengapa kali ini rasa takutnya hilang seketika, suara itu demikian jelas meminta kesediaannya untuk membantu. Keranjang besar yang sudah berada di punggungnya ditaruhnya kembali ke tanah. Lalu beranjak melangkah kearah asal suara.

Dengan penuh hati-hati dan awas ia jejaki setiap rumpun rerumputan dan alangkah terkejutnya Gelingang Raya ketika disalah satu rumpun rerumputan yang sudah mongering ia melihat seekor burung cantik yang tergeletak dengan sebelah sayap yang patah dan bercak darah di sebahagian bulu-bulunya.

Burung itu terkapar lemah di sebuah bekas kubangan air yang telah mengering. Bekas permandian kerbau yang sudah lama tidak digenangi air hujan.

Tampak burung itu sangat lemah. Gelingang Raya sangat akrap dengan bentuk dan warna burung itu, namanya burung Mergah, karena setiap pagi dan sore burung-burung jenis itulah yang kerap bertengker dan berkicau di pepohonan sekeling rumahnya.

“Subhanallah!” Ucap Gelingang Raya seraya mendekati kubangan air yang mirip seperti kolam ikan itu. Ia melihat seekor burung dengan badan dan sayap yang tidak berdaya sama sekali, tampaknya sudah sejak lama tergeletak disana, kelaparan dan haus akibat terpanggang terik sinar matahari.

Sebagai sesama makhluk ia merasa iba dan belaskasihan, seketika itu juga ia memberi minum dan makan dari persediaan perbekalannya yang tersisa. Burung itupun makan dan minum dengan susah payah, Gelingang Raya berusaha membantu menyuapi dengan telaten.

Ia memperhatikan, ternyata sayap burung itu patah akibat bertarung dengan burung elang di udara lalu jatuh ke bumi.

Dibalutnya luka yang diderita burung Mergah dengan merobek salah satu tepi bajunya.
Burung itu memperhatikan Gelingang Raya dengan penuh harap melalui matanya yang sayu. Setelah selesai, dengan hati-hati Gelingang Raya meletakkannya di tempat yang paling empuk dalam keranjang, lalu bergegas melanjutkan perjalanan pulang ke Bukit Gentala.

Hari kian senja, banyak waktu yang terlewatkan di tempat itu. Sementara dari kejauhan suara auman harimau terdengar sayup-sayup dibawa angin. Gelingang Raya mempercepat dan memeperlebar langkahnya.
Setibanya di rumah ia meletakkan keranjang dengan sangat hati-hati.

Lalu menyalakan lampu dari potongan batang pinus yang bergetah seperti minyak, dan memberi makan Hayya ibunya yang sudah menunggu sejak tadi siang. Setelah mengurus ibunya Gelingang Raya kemudian mengambil burung Mergah dari tempat semula lalu mengobati dan mengganti balutan lukanya.

Sejak saat itu Gelingang Raya jadi mempunyai kegiatan dan teman baru selain Hayya ibunya. Dengan penuh hati-hati dan telaten ia merawat keduanya sebagai teman hidup di rumah panggung Bukit Gentala.

Memberi makan dan minum serta memandikan Hayya ibunya dan burung Mergah setiap pagi dengan air hangat. Karena sudah tua dan buta, ibunya sama sekali tidak tau dan tidak menyadari jika di rumahnya ada penghuni baru selain dia dan Gelingang Raya.

Setelah dirawat beberapa hari, luka burung Mergah mulai membaik. Demikian juga dengan sayapnya yang patah dan luka di sekitar lehernya terlihat mulai pulih. Gelingang Raya merasa senang, karena burung itu mulai dapat bergerak dan mengeluarkan suara merdunya.

Senja itu juga Gelingang Raya membuatkan sangkar yang sangat besar buat burung Mergah, seperti layaknya sebuah kamar untuk manusia ia menghiasinya dengan dedaunan, makanan buah juga tempat minum dari potongan ruas bambu. Juga sebuah sudut sangkar dari tumpukan kain sebagai tempat burung Mergah beristirahat.

Ini Gelingang Raya lakukan agar burung itu tidak merasa berada dalam sebuah kurungan, burung itu juga akan dapat melatih sayapnya yang patah agar dapat terbang kembali jika sudah sembuh benar.

Seperti biasa setiap pagi usai melayani ibunya, Gelingang Raya mengurus ternak dan tanaman. Ketika hari mulai meninggi ia pulang menanak nasi dan lauk-pauk. Selesai makan ia kembali lagi ke kebun atau ke kandang untuk mengawasi ternak-ternak.

Sebelum berangkat ia menyempatkan diri untuk menyuapi ibunya serta burung Mergah dengan penuh kasih sayang. Begitulah yang dilakukannya hingga berbilang hari dan minggu dengan senang hati.

Pada suatu ketika Gelingang Raya sangat terkejut luar biasa. Siang hari sepulang dari kebun ia melihat ada makanan yang sudah terhidang, sedangkan seluruh perlengkapan masak-memasak di dapur tampak bersih dan tertata rapi.

Seisi rumah juga tampak bersih. Sejak kematian ayahnya serta sejak Hayya ibunya sakit-sakitan belum pernah ia melihat rumahnya serapih dan senyaman itu. Gelingang Raya bertanya dalam hati, siapa gerangan yang melakukan ini semua.

[SY] Bersambung…

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.