Oleh : Dr. Yopi Ilhamsyah*
Pusaran angin tampak di Danau Lut Tawar, Takengon pada 26 Maret 2020. Fenomena ini dikenal dengan istilah Waterspout, puting beliung di atas badan air.
Belum ada istilah resmi berbahasa Indonesia untuk Waterspout. Ada yang menyebut Sengkayan, ada pula Tornado Air. Puting beliung sendiri dapat disebut Tornado, namun dalam skala yang lebih rendah, merujuk skala resmi Fujita berbasis perhitungan kecepatan angin.
Pada 12 April, puting beliung menerjang sejumlah kawasan di Bener Meriah. Pada waktu bersamaan, puting beliung juga menghantam pantai barat Aceh. Kerusakan bangunan tercatat di Lembaga Pemasyarakatan Meulaboh.
Pembentukan Puting Beliung
Puting beliung terjadi seiring turunnya hujan. Penulis berasumsi puting beliung yang melanda beberapa wilayah Aceh masih awal. Fenomena cuaca ini akan intens dan mencapai puncaknya kala pergantian musim dari hujan menuju kemarau pada pertengahan Mei hingga Juni serta September-Oktober jelang musim hujan berikutnya.
Pada periode ini, angin permukaan melemah dan bertiup dalam arah tidak beraturan seiring berkurangnya selisih tekanan udara antara Asia dan Australia. Pada pancaroba, pemanasan lokal di permukaan menumbuhkan awan Cumulonimbus (CB).
Di dalam awan CB yang membumbung tinggi, kondisi udara sangat dingin dengan suhu di bawah titik beku. Keadaan ini menciptakan tekanan tinggi di angkasa. Sementara di permukaan, udara mendadak panas akibat hembusan panas laten yang dilepas saat pembentukan awan CB.
Kita dapat merasakan perubahan suhu panas dan lembab ini sekaligus menjadi petunjuk bahwa hujan disertai badai besar segera tiba. Semakin besar awan CB semakin panas suhu di sekitarnya. Kondisi ini menciptakan tekanan rendah di permukaan.
Akibat perbedaan tekanan, udara bergerak menuju permukaan diikuti hujan. Udara yang bergerak tidak menentu di permukaan mendorong perputaran udara kala bertemu udara yang turun dari atas. Inilah yang menimbulkan rotasi angin di sebut puting beliung.
Catatan kami, puting beliung terjadi pada permukaan minim vegetasi. Oleh karenanya, penghijauan menjadi urgen guna menghindari terbentuknya angin puting beliung.
Pada April, tercatat hujan telah turun di seantero Aceh sementara wilayah lain di Indonesia mengalami pergantian musim, disebut pancaroba yang berlangsung hingga Mei. Pada Mei, Aceh justru sedang mengalami puncak hujan. Mengapa demikian?
Hujan Muson
Kondisi ini karena pengaruh Inter-Tropical Convergence Zone atau Daerah Konvergensi Antar-Tropis (DKAT). DKAT ini sendiri muncul karena pengaruh posisi matahari. Pada Maret hingga Mei, matahari sedang bergerak menuju utara.
Aceh dikelilingi lautan, pancaran sinar matahari memanaskan laut, mendorong penguapan. Di angkasa, uap air yang naik mendingin, berubah menjadi air dan membentuk awan.
Sebuah proses yang dikenal dengan kondensasi. Karena intensnya pemanasan pada permukaan laut menyebabkan laju penguapan juga tinggi. Kondisi ini mendorong uap air yang telah berkondensasi dalam jumlah besar untuk terus naik, membentuk awan CB di angkasa. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, kondisi ini memicu pembentukan tekanan udara rendah.
Di belahan bumi utara, udara masih dingin selepas musim dingin, membangkitkan tekanan udara yang relatif tinggi. Sementara di Aceh, dengan kondisi yang digambarkan di atas terbentuk udara bertekanan rendah. Akibatnya, udara melintasi Aceh dari timur laut.
Pergerakan udara ini disebut Angin Muson (musim). Angin Muson semakin menguatkan DKAT pada medio April hingga awal Mei, membawa awan CB yang menggantung di lepas pantai menuju daratan Aceh, menyebabkan hujan turun intens di seluruh Aceh pada periode ini.
Di wilayah barat, karena pengaruh rotasi Bumi, dikenal dengan efek Coriolis, angin berbelok menuju pantai barat Aceh, mendorong awan CB dari Lautan Hindia ke wilayah ini. Udara yang lebih lembab di kawasan pegunungan memicu terbentuknya petir yang menyambar ke permukaan seperti kejadian sambaran petir di Subulussalam dan Nagan Raya yang menyambar warga di Beutong pada 07 April.
Sementara wilayah lain di Indonesia seperti Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan daerah timur di lintang tropis selatan, Angin Muson tidak lagi dominan karena posisi matahari yang telah bergeser ke utara.
Indonesia memiliki tiga tipe iklim. Iklim Ekuatorial bertipe basah ditandai dengan dua puncak musim hujan pada April-Mei dan November-Desember. Tipe ini berpola mirip huruf konsonan “M”, berlokasi di Sumatera dan Kalimantan bagian barat.
Tipe Muson dengan musim kemarau dan hujan yang tegas. Musim kemarau jatuh pada periode Juni hingga Agustus, musim hujan berlangsung antara Desember hingga Februari. Tipe iklim ini berpola mirip huruf “V”.
Daerah-daerah seperti Jawa, Bali, Nusa Tenggara mengalami pola ini. Iklim Lokal di mana musim hujan jatuh antara Juni-Agustus, berlangsung di Kepulauan Maluku, berpola huruf “V terbalik”.
Bagaimana dengan Aceh Tengah?. I Made Sandy dalam bukunya “Iklim Regional Indonesia” terbitan Universitas Indonesia tahun 1987 bersumber dari data lawas curah hujan bulanan rata-rata Verhandelingen 37, Badan Meteorologi dan Geofisik, Departemen Perhubungan RI menyebutkan bahwa wilayah di sekitar Danau Lut Tawar, Takengon termasuk ke dalam wilayah iklim pegunungan tengah Aceh dengan ciri: curah hujan tahunan tinggi di atas 2.000 milimeter (mm), hujan maksimum primer jatuh pada November sementara hujan maksimum sekunder berlangsung pada April-Mei dan hujan minimum jatuh pada Juli.
Studi kami bersumber dari data satelit TRMM (Tropical Rainfall Monitoring Mission) menunjukkan curah hujan tahunan di dataran tinggi Gayo pada periode 1998-2011 sebesar 2.696 mm. Faktor topografi berperan menciptakan kondisi basah sepanjang tahun.
Aceh Tengah memiliki pola iklim Ekuatorial dengan dua puncak musim hujan serta musim kering (Juli–Agustus) yang tidak begitu tegas. Hujan maksimum pada April dan November masing-masing sebesar 234 dan 317 mm sedangkan kemarau pada Juli curah hujan juga masih tinggi dengan rata-rata bulanan 164 mm.
Mitigasi Corona
Hujan berperan dalam memitigasi penyebaran Corona. Hujan menjadi desinfektan alami untuk membasmi virus Corona yang menempel pada berbagai media di luar rumah. Di tengah pandemi Corona, kita dianjurkan untuk sesering mungkin membasuh tangan.
Melalui hujan, ketersediaan air tanah menjadi cukup. Hujan mengisi sumber-sumber air seperti waduk dan embung. Lewat tata kelola air yang baik, ketahanan pangan dapat terjaga.
Berkurangnya aktivitas kendaraan bermotor, hujan membuat kualitas udara menjadi jauh lebih baik lagi. Lingkungan yang baik dapat menjaga kesehatan tubuh. Sembari berolahraga dan berjemur pada udara yang segar imunitas tubuh dapat meningkat.
Namun, bukan berarti kita bebas di luar rumah. Terkena hujan justru berakibat buruk terhadap kondisi tubuh. Displin mengikuti anjuran pemerintah, tetap di rumah serta jaga jarak dan selalu memakai masker kain serta sedia payung dan jas hujan kala beraktivitas seperlunya di luar rumah.
*Laboratorium Meteorologi Laut, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Syiah Kuala