Mengapa Yang Mengaku Keturunan Raja Jadi Bahan Tertawaan di Gayo?

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

Dalam bukunya Guns, Germs, and Steel: The Fates of Human Societies . Jared Diamond, profesor geografi dan fisiologi di Universitas California, Los Angeles (UCLA) menjelaskan, kalau tak ada yang tiba-tiba muncul begitu saja. Semua peradaban di dunia ini muncul sebagai respon atas persoalan yang dihadapi manusia yang hidup di lingkungan peradaban itu tumbuh.

Satu fragmen menarik dalam buku ini adalah bagian percakapan Profesor Diamond dengan Yali, seorang politisi lokal di Papua Nugini, tempatnya melakukan penelitian. Yali, sang politisi yang pendidikan tertingginya hanya sampai SMA dan seumur hidup belum pernah keluar dari Papua Nugini bertanya “Kenapa semua barang-barang modern ini diproduksi di eropa, mengapa kalian masyarakat barat yang menciptakan semua teknologi ini, bukan kami”

Pertanyaan ini membuat Profesor Diamond tertegun. Pertanyaan ini begitu menarik, karena berdasarkan pengamatannya, secara rata-rata, orang-orang pedalaman Papua Nugini, jauh lebih cerdas dibandingkan rata-rata orang Amerika dan Eropa. IQ mereka jelas lebih tinggi dan keterampilan mereka juga luar biasa.

Tapi mengapa, peradaban maju, muncul di Eurasia. Jawaban atas pertanyaan inilah yang kemudian menjadi keseluruhan isi buku yang memenangkan Pulitzer tahun 1998 untuk kategori Non-Fiksi Umum ini.

Mengapa peradaban berkembang lebih awal dan lebih pesat di Eurasia?

Ternyata jawabannya adalah determinasi geografis. Peradaban awal muncul di sana karena Eurasia adalah daratan terbesar, gabungan dari benua Eropa dan Asia, terbentang dari Eropa Barat sampai ke Selat Bering. Sebagian besar terletak dalam iklim subtropik.

Karena Eurasia membentang dari barat ke timur, bukan dari utara ke selatan. Sehingga iklim relatif sama, ini berbeda dengan Amerika Utara dan Selatan misalnya. Daratan yang luas tanpa hambatan alam berarti memberikan ruang yang luas bagi flora, fauna dan juga manusia untuk berkembang biak.

Daratan yang luas berarti tempat tinggal yang luas bagi flora, fauna dan tentu saja manusia yang menghasilkan besarnya populasi dan keanekaragaman. Populasi dan keanekaragaman species inilah yang nantinya akan sangat berpengaruh bagi munculnya pertanian yang nantinya memicu tumbuhnya sebuah peradaban karena manusia mulai tinggal menetap.

Tinggal menetap membuat manusia mulai menjinakkan binatang, dan muncullah perternakan. Peternakan sebagai menghasilkan pupuk yang meningkatkan hasil pertanian. Tenaga binatang dipakai untuk membajak sehingga tanah yang sebelumnya tidak layak ditanam menjadi bisa ditanam. Walhasil tanah bertani semakin luas.

Kombinasi dari makanan yang lebih baik dengan ternak sebagai sumber protein dan surplus makanan membuat populasi bertambah dengan pesat dan konsekuensinya muncullah birokrasi.

Kenapa birokrasi muncul?

Itu terjadi karena dengan bertambahnya populasi adalah meningkatnya potensi konflik di antara anggotanya. Jumlah yang semakin besar membuat orang semakin sulit untuk saling mengenal. Konflik ini perlu dimediasi, dan ini memberikan peran kepada orang kuat. Penyelesaian secara kekeluargaan digantikan dengan penyelesaian secara hukum dan norma.

Kemudian, akibat adanya surplus, muncul kerumitan, bagaimana melakukan transaksi. Semakin banyak populasi bertambah, kerumitan ini semakin besar karena sistem informal saling memberi saling menerima tidak lagi dapat diandalkan.

Untuk mempermudah transaksi ini seluruh surplus dikumpulkan dan kemudian dikelola oleh satu orang kuat. Orang kuat sekarang memiliki instentif, karena ia tentunya bisa memperoleh bagian yang besar dari surplus tersebut.

Kemudian surplus ini membuat orang bisa terspesialisasi, tidak semua orang harus bertani. Waktu luang membuat orang bisa mencoba banyak hal dan meneliti, muncul teknologi dan seterusnya. Inilah yang menjadi jawaban atas pertanyaan Yali, mengapa semua barang-barang itu akhirnya lahir dan diproduksi di barat, bukan di Papua Nugini.

Beralih dari Eurasia, ke nusantara. Pola yang sama seperti ini pulalah yang memunculkan raja-raja di suatu wilayah. Kenapa kita menyaksikan sistem feodal di Jawa, itu karena dari dulu Jawa yang subur memang sudah surplus makanan, manusia sudah banyak dan memerlukan orang kuat untuk mengaturnya.

Di Aceh, sama saja. Pesisir yang dihuni banyak orang, perdagangan antar negara hidup. Surplus makanan juga, jelas membutuhkan orang kuat seperti itu untuk mengatur tata cara peri kehidupan mereka. Aceh butuh birokrasi, karena itulah di Aceh kita mengenal adanya Ulee Balang sampai Sultan yang kekuasaannya begitu besar dan dihormati dan juga ditakuti orang-orang di bawah kekuasaannya.

Sementara itu, bagaimana kalau masyarakat yang hidup di desa-desa yang berjauhan satu sama lain. Yang jarak antara satu desa dan yang lain rata-rata terpisah setengah hari perjalanan. Tiap desa hanya beranggotakan ratusan orang. Jelas, birokrasi yang rumit tidak diperlukan. Sebab.Setiap orang saling mengenal satu-sama lain.

Kekerabatan membuat semacam daya ikat yang menyatukan mereka sekaligus untuk meredam konflik yang muncul di antara mereka. Selain itu pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan mudah secara egaliter karena jumlah yang relatif tidak banyak. Sistem pengambilan keputusan mereka sering dilakukan dengan pertemuan di mana setiap orang memiliki hak yang sama untuk berbicara dan secara bergiliran.

Ini yang berlaku di Gayo

Meskipun seringkali di antara kelompok ini muncul orang kuat yang berpengaruh. Biasanya karena keberaniannya atau prestasinya dalam berburu maupun berperang. Tapi lagi-lagi birokrasi belum muncul karena sistem kehidupan mereka yang hanya berburu tidak menghasilkan surplus untuk diperebutkan.

Orang kuat tersebut meskipun memiliki status tidak memiliki harta ekstrinsik untuk dikuasai. Ketiadaan surplus inilah yang membuat tidak munculnya birokrasi untuk mengaturnya (atau menguasainya).

Seperti inilah kondisi raja-raja di Gayo. Meski statusnya disebut raja, tapi sebenarnya dirinya tak lebih hanyalah anggota keluarga besar dari masyarakat kampungnya. Tak ada sesuatu yang menonjol, entah itu berupa gelar yang diwariskan turun temurun atau tempat tinggal yang istimewa yang membedakannya dengan keluarga Gayo lainnya.

Karena di Gayo, nyaris tidak ada perebutan sumber daya, karena tanah luas orang sedikit kalaupun surplus susah juga dijual. Orang hidup dengan terpenuhi kebutuhan, tidak ada perbedaan mencolok antara kaya dan miskin. Segala struktur sosial yang mengharuskan orang hidup dalam aturan ketat nyaris tidak ada, otoritas yang mengatur dengan ketat peri kehidupan nyaris nggak diperlukan.

Karena itulah, berbeda dengan raja-raja di masyarakat birokratis, raja di Gayo tidak tinggal di istana. Raja di Gayo, tinggal di Umah Pitu Ruang yang sama dengan rakyat biasa yang menganggapnya saudara.

Kondisi geografis Gayo juga membuat Gayo mengembangkan sistem norma yang unik yang sangat berbeda dengan Aceh.

Di Aceh, karena sumber kebutuhan ada semuanya di kampung. Perkawinan dalam satu kampung itu biasa, bahkan perkawinan antara kerabat, sepupu pun biasa.

Dulu di Gayo, sebagaimana telah disinggung di atas. Jarak antara satu kampung dengan kampung lain rata-rata setengah hari perjalanan. Orang Gayo yang mencari kebutuhan garam dan lain-lain yang diproduksi di luar, harus pergi berminggu-minggu. Jadi yang tinggal di kampung, harus menjaga semuanya, termasuk para perempuan.

Inilah yang menjadi latar belakang, mengapa masyarakati Gayo mengembangkan sistem norma, tidak boleh nikah dalam satu kampung, apalagi yang berkerabat. Norma seperti ini dulu diciptakan supaya orang-orang dalam satu kampung, melihat lawan jenisnya itu sebagai saudara, bukan objek seksual yang bisa dinikahi.

Dan yang menjaga norma ini, kolektif, bukan satu otoritas tertentu. Orang sekampung merasa semuanya saudara, karena itulah mau dia tengku, raja ya orang Gayo memandangnya saudara semua, tidak ada jarak psikologis yang terlalu lebar buat memisahkan. Jadi mau itu raja atau ulama pun di Gayo, sealim dan sepintar apapun dia, orang melihatnya seperti abangnya sendiri, adik sendiri, paman sendiri dan seterusnya, tidak ada yang perlu terlalu disegankan.

Fungsi raja di Gayo sebenarnya tak lebih sebagai juru bicara yang mewakili aspirasi masyarakat saat berinteraksi dengan masyarakat di luar kampungnya. Kalau di Aceh, rakyat harus tunduk pada kata raja atau ulee balangnya. Gayo sebaliknya, raja lah yang harus tunduk pada aspirasi masyarakatnya.

Ketika raja tak mau tunduk pada aspirasi masyarakatnya, tak ada yang akan menganggapnya. Inilah yang terjadi dengan Bidin, kejurun Petiamang yang pro Belanda. Belanda berpikir dengan menundukkannya, seluruh Gayo Lues akan tunduk. Kenyataannya, tak seorangpun raja-raja kecil dan masyarakat di bawahnya yang peduli pada titah Bidin yang menjadi kaki tangan Belanda. Seluruh Gayo Lues bertempur habis-habisan sampai Belanda terpaksa melakukan genosida.

Itu kemudian jadi karakter, karena dipraktekkan turun temurun dari generasi ke generasi.

Tapi, perubahan zaman membuat kondisi berbeda, orang Gayo tak lagi terpaksa harus tinggal di kampung. Orang Gayo mulai bersentuhan dan bahkan hidup dalam norma-norma yang dikembangkan masyarakat lain. Karena itu, ketika orang Gayo mendengar kata Raja, saat ini tidak jarang orang Gayo membayangkan namanya raja itu adalah raja-raja birokrat dan feodal yang punya kekuasaan.

Sayangnya, anggapan seperti ini hanyalah ilusi yang tidak nyata. Beberapa orang yang mungkin mendengar cerita kakeknya bahwa mereka keturunan raja di Gayo, membayangkan dirinya adalah keturunan raja birokratis feudal seperti Iskandar Muda, Sultan Agung atau raja-raja Bali, lalu merasa dirinya punya otoritas kultural untuk mengatasnamakan Gayo berdasarkan garis keturunannya.

Inilah yang kita saksikan kemarin, satu orang yang mengaku keturunan Reje Linge yang mungkin dia bayangkan sebagai raja birokratis nan adi kuasa. Entah karena memang tak paham karakter masyarakatnya sendiri, atau karena di dorong orang-orang di sekitarnya yang dalam kulturnya raja memang sedemikian dihormatinya. Nekat bermain politik dengan menjual klaim bahwa dirinya keturunan Reje.

Hasilnya? Orang Gayo yang egaliter alih-alih tunduk. Sebagaimana Bidin kejurun Petiamang, seluruh Gayo menertawakan sampai beberapa dengan keterlaluan melecehkannya.

Mulai dari masyarakat biasa, aktivis dan politisi habis mentertawakannya.

Sampai-sampai Zainuddin, kepala desa Linge yang di Gayo secara resmi disebut reje, ikut unjuk bicara. Reje Linge yang jelas SK-nya ini dengan selera humornya yang berkelas dan elegan mengatakan “ Saya tidak pernah punya keturunan seperti dia, kalau tidak percaya, silahkan lihat Kartu Keluarga saya.”

Allah memang Tuhan yang maha pengasih dan maha penyayang. Mengetahui kita umatnya sedang suntuk berat dengan wabah korona, Dia menurunkan hiburan untuk membuat kita tertawa.

*Urang Gayo di Bali

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.