BUMD dan BUMK: Solusi Menghadapi Terjangan Covid 19?

oleh
Arfiansyah

Oleh : Arfiansyah*

Krisis kesehatan saat ini membuat dunia kelimpungan. Tidak hanya kelimpungan untuk memutuskan rantai peredaran virus Covid 19, tetapi juga kelimpungan menghadapi dampak sosial dan ekonomi darinya.

Covid 19 menghidupkan kembali kesadaran tenggang rasa dan kepedulian sosial masyarakat di beberapa provinsi di Indonesia dan juga di luar negeri.

Selama krisis kesehatan ini, kita sering membaca berita tentang individu-individu yang memberikan bantuan berupa makanan, buah-buah, sembako dan lainnya kepada individu yang hidupnya kurang beruntung.

Selain materi, ada juga kelompok masyarakat yang membantu lewat keahlian seperti bernyanyi di depan rumah sakit untuk menghibur dokter dan perawat, menjahit masker kain, atau minimalnya berkontribusi lewat mengisolasikan diri agar tidak tertular virus dan menyelamatkan keluarga.

Singkatnya, di dunia lain, covid 19 telah membangkitkan rasa kemanusiaan yang setidaknya membantu mengurangi dampak sosial. Bila mereka mampu, tentunya masyarakat Gayo yang memiliki adat yang luhur dan berpegang teguh pada ajaran Islam lebih mampu lagi daripada masyarakat di Eropa dan lainnya.

Dampak dari Covid terasa dan terlihat lebih besar terhadap ekonomi. Bukan hanya ekonomi petani kopi masyarakat Gayo, tetapi ekonomi dunia. Khusus untuk masyarakat Gayo, ketika ekonomi dunia terdampak, maka ekonomi masyarakat Gayo akan langsung terdampak juga karena selama ini masyarakat Gayo menjual kopi dengan harga “dollar” yang dirupiahkan.

Pada tanggal 13 kemarin, Bupati Aceh Tengah berusaha meredam keresahan para petani kopi yang harga jualnya turun drastis dipasaran (lintasgayo.co 13/04/2020). Bupati berusaha mencari jalan keluar dengan mencari landasan hukum untuk mengalihkan dana daerah untuk modal usaha.

Solusi tersebut terdengar aneh untuk saat ini ketika semua usaha masyarakat, tidak hanya di Aceh Tengah, mandek. Kalau pun diberikan, kemudian masyarakat menghasilkan sebuah produk untuk dijual, kepada siapa akan dijual ketika pasar terlihat lesuh? Lalu apa yang harus dilakukan?

Salah satu yang mungkin bisa dilakukan, yang penulis sadari bukan solusi jangka pendek atau mungkin bukan solusi sama sekali, adalah dengan menyuntik modal (penyertaan modal) ke Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Badan Usaha Milik Kampung (BUMK) untuk kopi dan juga lainnya.

Kenapa BUMD dan BUMK Kopi penting?
Selama ini, perdagangan kopi dikuasai oleh koperasi-koperasi. Banyak dari koperasi kopi tidak memberikan laporan tahunan kepada pemerintah tapi masih beroperasi.

Banyak juga koperasi yang beroperasi dengan sangat baik. Namun, menurut yang saya amati dan pahami, koperasi ini beroperasi layaknya perusahaan dimana sekelompok orang bersepakat menyertakan modal dan membentuk satu badan usaha bersama yang saling menguntungkan.

Atas nama koperasi, mereka dapat menghindari pajak perusahaan yang tinggi dan mendapatkan keuntungan fair trade dari pembeli internasional. Mereka juga kemudian menentukan harga kopi seperti yang terjadi pada tahun 2018 dimana harga kopi anjlok di lokal padahal pembeli eropa tidak memberikan keluhan apapun.

Selain koperasi, toke atau agen kopi lokal juga berjenjang panjang. Sebagian toke kopi mengikat petani dengan memberikan hutang yang harus dibayar dengan kopi pada musim panen berikutnya. Dengan kelemahan manajemen keuangan keluarga, banyak masyarakat Gayo menjadikan toke sebagai solusi keuangan satu-satunya ketika pengeluaran keluarga terlalu boros.

BUMK Kopi

Keadaan tersebut dapat diatasi salah satunya dengan menyertakan modal ke BUMK. Dana bantuan pemerintah daerah atau pusat dapat menjadi modal awal BUMK (Pasal 38 Permen PDTT 4/2015).

Sebagai langkah awal untuk potensi alam Aceh Tengah, BUMK dapat diarahkan untuk Badan Usaha Kampung untuk kopi dan juga sebagai pengelola destinasi wisata.

Ada dua hal mengapa BUMK Kopi penting. Pertama, BUMK dapat memutuskan rantai panjang pertokean/agen. Kedua, BUMK Kopi dapat mengurangi dominasi koperasi kopi.

Setelah membeli kopi langsung dari angota masyarakat kampong, BUMK dibantu oleh BUMD akan menjadi penganti koperasi yang melakukan transaksi dengan pembeli dari luar.

Atau BUMK dapat menjual kopi langsung ke BUMD, ebagai puncak rantai bisnis di tingkat lokal. BUMD kemudian melakukan transaksi jual beli dengan penjual dari luar.

Dengan begitu maka rantai penjual kopi ditingkat lokal hanya akan menjadi dua; BUMK dan BUMD. Pertokean akan hilang dan koperasi juga ditantang untuk lebih berani ketika bencana seperti ini terjadi.

Bila ini terjadi, maka keuntungan BUMK akan kembali ke masyarakat dalam beragam bentuk seperti pembangunan desa, dana pendidikan dan lainnya. Semakin sehat sebuah BUMK maka semakin maju pembangunan sebuah Kampung.

Keadaan ini sulit diberikan oleh koperasi kopi, dimana keuntungan hanyalah diberikan kepada anggotanya saja yang terbatas. Sementara BUMK dapat memberikan mamfaat kepada seluruh masyarakat Kampung yang terdaftar sebagai warga.

BUMK Pariwisata

Kemudian ada 2 hal mengapa BUMK Pariwisata penting. Pertama, pemerintah harus mengakui bahwa kekuatan keuangan dan sumberdaya manusia (ASN) sangat lemah. Penulis melakukan penelitian berkaitan hal ini pada tahun 2019 sebagai masukan untuk DTGA.

Kedua, destinasi wisata ada diperkampungan dan untuk daerah Aceh Tengah dan Bener Meriah, titik destinasi wisata tersebut banyak.

Selama ini, pemerintah berpikir bahwa mereka adalah aktor utama pembangunan dan mengabaikan kampong yang artinya mengesampingkan fakta bahwa destinasi wisata ada diperkampungan.

Namun, aktor utama tersebut memiliki kelemahan yang besar, terutama pada hal pertama yang telah disebutkan.Kelemahan pemerintah tersebut dapat dibantu-atasi oleh BUMK dengan berbagi peran dengan pemerintah.

Dengan menjadikan/mengedepankan kampong sebagai pengelola pariwisata dengan dana suntikan dari pemerintah dan Dana Desa dan pemerintah melakukan promosi wisata. Bukan lagi sebagai pengelola kegiatan pariwisata.

Tentunya, BUMK Kopi dan Pariwisata adalah dua hal yang berbeda. Yang pertama bisa diterapkan hampir diseluruh kampong. BUMK menjadi pembeli pertama yang kemudian mengantarkan kopi masyarakat ke BUMD.

Sedangkan BUMK Pariwisata tidak dapat ditetapkan di semua desa dan dampak ekonomi dan peredaran uang nya lumayan lebih lamban daripada kopi.

Apa yang harus dilakukan untuk BUMK Pariwisata bila tidak dapat ditetapkan untuk semua Kampong?

Menciptakan Efek Domino Pariwisata

Sektor pariwisata, khususnya, di Aceh Tengah sangat menjanjikan. Terutama di sekitar Danau Lot Tawar. Tetapi, pemerintah daerah tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mendukung pembangunan pariwisata di semua kampong di sekitar danau. Selama ini, destinasi wisata di Aceh Tengah lebih banyak diinisiasi oleh kampong dan perseorangan.

Permasalahan tentu saja tidak semua Kampung memiliki kreatifitas dan kemampuan yang sama. Untuk itu, pemerintah harus berpikir untuk mendukung satu atau dua kampong yang memiliki destinasi pariwisata yang menjanjikan dan dapat memberikan efek domino ke kampung-kampung lain.

Misalnya dengan menjadikan Kampong Gunung Suku, Kecamatan Lot Tawar sebagai pilot BUMK dan destinasi wisata binaan pemerintah kabupaten.

Kamping Gunung Suku memiliki potensi wisata alam yang bagus. Kampung itu memiliki lebih dari 3 air terjun di daerah pengunungan, memiliki tebing, hutan, area persawahan, dan teluk di danau.

Kampung itu juga memiliki dua buah situs sejarah; masjid tua yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya dan gua yang kabarnya pernah menjadi tempat persembunyian Sultan Aceh terakhir dan oleh tokoh pejuang DII dulu.

Untuk mendongkrak pembangunan dan pengembangan pariwisata, pemerintah Aceh Tengah dapat menjadikan Kampung tersebut sebagai destinasi pariwisata dengan melakukan pendampingan terhadap BUMK-nya dengan harapan, perkampung-perkampungan sebelum dan sesudah Kampung Gunung Suku juga mendapatkan efek dominonya.

Tentunya, BUMK Pariwisata ini bukanlah solusi untuk saat ini. Tetapi BUMK terutama BUMK Kopi mendapatkan memomentum berdiri dan berkembang.

Bila ini dilakukan, maka pemerintah daerah memberikan tantangan besar terhadap koperasi dan toke untuk agak lebih berani mengeluarkan modal besar untuk membeli kopi dari petani pada waktu-waktu krisis seperti ini. Tetapi, beranikah pemerintah menantang pemegang modal?

Penulis bukanlah alumni Ekonomi Pembangunan. Dia hanyalah seorang pemimpi kesejahteraan masyarakat untuk berjangka panjang. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.