Oleh : Fauzan Azima*
Akhir tahun 2000, masa keemasan kebangkitan GAM melawan Pemerintah Jakarta. Sangat menakutkan pada sebagian besar orang karena fikirannya selalu terbayang dengan kematian.
Pada waktu itu, saya sudah berada di Kota Takengon. Saya mengatasi rasa takut itu dengan tinggal di sekitar Makodim 0106/ Aceh Tengah untuk menghilangkan kecurigaan aparat bahwa saya anasir GAM.
Di ruang tamu, ada pajangan gambar saya berjabatan tangan dengan Presiden RI, Prof. B. J. Habibie. Saya berfoto dengan Presiden RI ke-3 itu ketika mengikuti acara Musyawarah Nasional Ormas AL-Wasliyah di TMII Jakarta.
Pada waktu itu Habibie dianggap tidak legitimate di mata rakyat sebagai presiden karena dianggap masih perpanjangan tangan Pak Harto. Sehingga perlu dukungan ormas, termasuk Al-Wasliyah.
Saya merasa perlu tinggal di kota; mencari dukungan yang lebih luas dan mengumpulkan dana untuk rencana membangun Kamp pasukan. “Pekerjaan” saya sangat rahasia.
Saya menjaga selera makan agar terlihat selalu gemuk dan telapak tangan agar tetap halus. Badan kekar dan berotot akan dicurigai sebagai kelompok GAM. Kemanapun saya pergi, selalu membawa mandat Panglima GAM Wilayah Linge, Tgk. Ilham Ilyas Leubee untuk meyakinkan sasaran saya.
Beberapa calon pasukan GAM, saya perintahkan mencari jimat atau ilmu perang. Terutama untuk kebal peluru. Saya rekomendasikan mereka “menuntut” kepada Kil Hamidah di Rusip dan Bang Ali Aman Hanif di Samarkilang.
Ilmu “ketike” atau langkah dari Bang Munawar yang ditulis pada kertas kecil dibagi-bagikan sebagai ikhtiar agar selamat kemanapun tujuan harus melihat langkah.
Ayah angkat saya, H. Tjabu Daeng Rahman juga pernah mengajarkan “ilmu langkah”. Beliau orang Bugis, Sulawesi Selatan yang pernah menjadi bajak laut dan penyelundup, yang memperoleh ilmunya dari orang tua Yusuf Kalla, mantan Wapres RI. Beliau tinggal di Jln. Sungai Bambu Raya, Jakarta Utara bersama istrinya, Hj. Antung asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Rumahnya besar yang berukuran 2000 meter. Hanya ada tiga kamar; salah satunya untuk saya kalau sewaktu-waktu datang, satu dapur sekaligus ruang makan dan satu ruangan tempat tiga buah meja bilyar. Selebihnya sebagian besar rumah itu untuk peliharaannya; buaya dan ular.
Pernah Pak Daeng (begitu saya memanggilnya), pada masa mudanya, baru sehari berlayar dari Sulawesi Selatan menuju Philifina sudah bertemu pulau. Beliau sebagai nakhoda dan ABK-nya merasa heran, namun rasa penasaran terus mendekati “pulau” itu.
Sekitar 100 meter lagi belum sampai, tiba-tiba mereka dihujani bom. Ternyata “pulau” itu kumpulan kapal bajak laut Philifina. Kapalpun pecah, Pak Daeng terombang-ambing di tengah lautan dengan berpegangan pada kayu balok selama 40 hari. Bagian kayu yang lunak beliau santap sebagai makanannya.
Sampai pada akhirnya Pak Daeng “diselamatkan” kembali sebagai tawanan oleh para bajak laut Philifina juga. Beliau ditahan dalam kerangkeng besi di sebuah pulau.
Di luar “LP” itu ada seorang gadis gila, rupanya anak ketua bajak laut. Beliau dengan “keahliannya” bisa menyembuhkan gadis itu. Atas jasanya itu, beliau dibebaskan dengan hadiah satu buah kapal baru yang penuh dengan hadiah.
Situasi di Aceh, seiring dengan perjalanan waktu, sweping aparat di setiap pos-pos mereka semakin meningkat. Tidak saja memeriksa KTP tetapi membongkar isi dompet untuk mencari jimat-jimat.
Kalau ditemukan jimat, mereka tidak saja menyitanya tetapi juga menghukumnya karena dianggap simpatisan atau pasukan GAM. Tidak jarang jimat yang sedianya untuk menyelamatkan, bisa menjadi malapetaka.
Jimat-jimat yang ada di kalangan GAM waktu itu sangat rendah kualitasnya. Ada yang alami; rante babi, batu delima, batu bertuah, stambul, rotan dan bambu sungsang.
Ada juga jimat isian berupa isim-isim yang ditulis pada kertas lalu dibungkus dengan kain hitam atau merah yang khasiatnya sangat lemah. Kecuali ayat 5 yang dibungkus diikat pada ujung senjata, ketika meletus akan membuat musuh ketakutan.
Namun jimat-jimat itu, hampir tidak ada yang kebal peluru. Pasukan hanya punya jimat kebal parang, pedang dan pisau serta kebal sawit (taring). Kadang kulit memang tidak tembus, tetapi akibatnya tulang bisa patah.
Kelemahan jimat itu sudah mulai bisa dibaca, sehingga pasukan mulai belajar “doa” atau “mantra” tetapi jarang sekali untuk kebal peluru, tetapi “sarang bedil”, “uris”, dan langkah; ayam mengeram, naga dan langkah para pejuang zaman dulu. Termasuk langkah Datu Pining dan Datu Seliming.
Ilmu yang kuat itu adalah ilmu turunan; dari ayah diturunkan kepada anak. Mereka belajar secara rahasia, tidak terbuka, kalau terbuka berarti termasuk dalam kategori ria yang melunturkan ilmu perang itu sendiri.
Jimat dan “mantra doa” mulai ditinggalkan, pasukan mulai beralih kepada “amanah” dan isyarat. Seperti yang dikatakan oleh orang-orang tua, “Kuet doa kueten amanah, kuet amanah kueten isyarat.”
Saya terus berharap agar apapun namanya; ilmu, doa, mantra, amanah dan isyarat, yang penting pasukan harus belajar ilmu perang agar mentalnya semakin kuat dan menjadi pemberani kelak kalau benar-benar mereka sudah menjadi pasukan. Di samping itu, menjadi ukuran bahwa keberhasilan “ilmu perang” sangat bergantung kepada kebaikan akhlaq.
Pasukan di Samarkilang sendiri dari sekian banyak hanya seorang yang kabarnya sudah mumpuni “ilmu perangnya” namanya Pang Melin. Kakeknya “Empun Dami” yang matanya sudah rabun karena usia masih rela mengantar beras untuk pasukan di tengah hutan belantara. Juga Abang kandungnya Pang Syiah Kuala merupakan pasukan berjuang sampai ke batas.
Sementara calon pasukan lainnya gugur karena gagal memahami instruksi dari “guru”. Mereka menuntut ilmunya di tengah sungai “Wih Miah” Samarkilang.
Gurunya mewanti-wanti, “kallut di tengah sungai godaannya ada empat; pertama seolah-olah datang air bah, kemudian ada ular besar yang memakan kalian, selanjutnya ada perempuan telanjang yang menggoda dan terakhir mayat terbungkus kain kafan terlempar ke pangkuan kalian. Semua godaan itu hanya bayangan. Tidak perlu takut. Kalau semua bisa dilewati, maka sempurnalah ilmu kalian”
Belum setengah jam mereka “kallut” tiba-tiba air bah bergulung datang dari hulu, mereka mengira bahwa sesuai “amanat guru” inilah cobaan pertama.
Ternyata air sungai itu benar-benar meluap karena hujan di hulu. Mereka pun hanyut sampai satu kilo meter ke arah Sungai Jambo Aye. Untunglah mereka selamat karena tersangkut di antara rumpun bambu.
Menjelang subuh “Sang guru” mendatangi tempat “murid-muridnya bertapa”. Gurunya kaget karena tidak menemukan seorangpun lagi di tempat semula.
Gurunya mulai khawatir karena air sungai benar-benar meluap tadi malam. Ternyata “para muridnya” semuanya telah hanyut.
“Dasar murid kurang akal! Masak tidak bisa membedakan antara air cobaan dengan dengan air bah sungguhan,” gerutu gurunya kesal.
(Mendale, 7 April 2020)