Wabah Corona dan Kearifan Lokal Mitigasi Bencana

oleh
Win Wan Nur

Oleh : Win Wan Nur*

Pada saat tsunami Aceh, unsur kearifan lokal Simeulue mendunia. Pengalaman nenek moyang orang Simeulue yang pernah mengalami tsunami yang mereka sebut Smong, meninggalkan kebijaksanaan lokal turun temurun.

Ketika ada tanda-tanda alam tertentu, orang-orang disuruh lari ke gunung. Generasi ke generasi, meski mereka tak pernah mengalami peristiwa itu. Tapi begitu tsunami melanda, anak cucu mereka langsung teringat pada ajaran itu.

Mereka lari ke gunung, dan sebagaimana kita ketahui semua, Simeulue, meski mengalami kerusakan fisik luar biasa, tapi tak banyak korban jiwa.

Sekarang ketika wabah Corona melanda dunia, kita juga melihat beberapa negara lebih sedikit mengalami kerusakan dibandingkan yang lain. Wabah Corona benar-benar menjungkir balikkan tata nilai yang selama ini kita anut.

Dulu, kalau sebelum Corona, kita diajarkan supaya kuat, kita harus bersatu, rapat seperti sapulidi. Corona membalikkan semuanya. Sekarang supaya kita kuat, kita justru harus menjaga jarak.

Sebelum wabah Corona melanda “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” adalah adagium yang sangat akrab di telinga kita. Sekarang setelah Corona, justru bersatu, rapat seperti sapulidi justru membuat kita runtuh. Sebaliknya, bercerai, menjaga jarak malah membuat kita teguh.

Dulu sebelum Corona, sifat-sifat dan karakter budaya yang terbukti membuat masyarakatnya mampu bertahan dalam bencana adalah karakter guyub, kedekatan antar anggota keluarga dan masyarakat. Sekarang malah sebaliknya.

Contoh nyata kita lihat di eropa. Italia dan Spanyol adalah negara-negara yang dalam budayanya akrab dengan keluarga besar dan orang sekampung, dalam rumah tinggal bersama keluarga besar . Di Italia dan Spanyol, sebuah keluarga sering terdiri dari beberapa generasi yang masih tinggal dalam satu rumah. Di keseharian, mereka juga biasa berkumpul, berpesta atau sekedar minum teh dengan tetangga.

Ketika Corona menyerang, sangat sulit bagi orang Spanyol dan Italia untuk mengubah kebiasaan itu. Alhasil, mereka sekarang menjadi negara-negara eropa dengan tingkat penyebaran dan jumlah kematian tertinggi.

Jerman yang berbatasan dengan Italia dan tak begitu jauh dari Spanyol, adalah orang-orang yang berbeda. Mereka dikenal kaku, individualis. Dibandingkan orang Italia dan Spanyol, mereka tidak begitu akrab bertetangga. Orang Jerman juga banyak yang tinggal sendirian di apartemennya.

Cara hidup orang Jerman yang nafsi-nafsi ini bukanlah gaya hidup yang dipandang positif dalam budaya kita yang mengagungkan sifat gotong royong dan guyub. “Mangan ora mangan sing penting kumpul, ” kata orang Jawa.

Tapi dalam menghadapi serangan Corona ini, ternyata gaya hidup seperti inilah yang lebih mampu bertahan dari serangan wabah. Mengacu pada data yang dikeluarkan oleh Robert Koch Institute (RKI) yang merupakan lembaga resmi yang mengeluarkan statistik Covid-19 di Jerman, tingkat kematian di Jerman “cuma” di bawah anka 0,5 persen meskipun yang positif lumayan besar juga. Sementara di Spanyol angkanya sampai 7%, Italia bahkan di atas Indonesia, tingkat kematian di sana sampai 10%.

Selain karena kesigapan pemerintahnya, ternyata menurut para peneliti. Struktur sosial dan budaya Jerman seperti yang diuraikan di ataslah yang berperan besar membuat tingkat kematian akibat Corona di Jerman, terbilang sangat kecil.

Negara Asia seperti Jepang, beda lagi ceritanya. Mereka, meski tidak menerapkan lockdown seperti negara-negara maju yang lain. Tapi, tingkat penyebaran virus mereka juga relatif kecil. Padahal di Jepang restoran buka seperti biasa, mall juga, stasiun kereta dan juga penerbangan antar negara, semua tetap berlangsung seperti biasa. Orang asing masih boleh berkunjung. Sementara Tokyo adalah salah satu kota terpadat di dunia.

Kenapa Jepang bisa bertahan? Ternyata lagi-lagi soal budaya, bukan agama. Misalnya, tanpa ada Corona pun, orang Jepang dalam kesehariannya ternyata terbiasa memakai masker. Sekitar 60% orang Jepang biasa memakai masker dalam keseharian di hari-hari normal. Kemudian, orang Jepang juga sangat bersih. Mereka sangat tidak terbiasa membuang sampah apapun. Ini membuat sumber penularan berkurang sangat banyak. Mereka juga tidak terbiasa bersalaman. Ketika bertemu, mereka hanya menghormat dengan membungkukkan badan. Mereka juga sangat terbiasa mencuci tangan sehabis melakukan apapun. Budaya seperti inilah yang membuat mereka bertahan.

Kita di Gayo, dengan melihat contoh di atas. Kita jelas lebih dekat dengan kultur Spanyol dan Italia dibandingkan Jepang dan Jerman. Jadi secara karakter budaya, kita jelas lebih rentan pada serangan Corona.

Memang tidak mudah mengubah budaya secara instant. Tapi melihat ganasnya serangan Corona ini. Pada akhirnya kita tak punya pilihan. Mau tidak mau, kita sebisanya harus belajar. Melakukan apa yang tidak biasa kita lakukan. Berkaca pada Jepang dan Jerman.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.