Oleh : Arfiansyah*
Semenjak virus Covid 19 atau Corona menyerang Wuhan, melumpuhkan Negara Cina dan dunia banyak sekali da’i di Indonesia yang ambil panggung dan berdiri bak ahli kesehatan. Ada yang mengatakan bahwa Corona adalah tentara Allah dan tidak akan menyerang umat muslim. Ada yang mengatakan itu adalah azab Allah untuk orang-orang kafir. Ada yang mengatakan umat muslim, khususnya di Indonesia, tidak akan kena karena mereka suka berwudhu.
Ketika virus itu kini merebak juga di Indonesia, banyak da’i masih mencoba berceramah melawan anjuran pemerintah dan ahli kesehatan untuk berkumpul, tidak shalat berjamaah di masjid, melakukan pengajian dan kegiatan-kegiatan agama yang mengumpulkan orang banyak.
Bagi beberapa da’i dan ahli agama anjuran tersebut adalah sesat dan merugikan agama Islam. Karena bila tidak shalat berjamaah dan tidak melakukan pengajian maka agama Islam akan berlahan hilang.
Warga pun masih pola pikir da’i itu benar. Apalagi sebagian besar masyarakat berpikir, seperti anjuran da’I, bahwa masalah nyawa adalah urusan Allah. Jika Allah berkehendak, maka siapapun, dimana pun, dan bagaimana manapun caranya menyembunyikan diri pasti meninggal.
Itu memang benar. Tapi tidak semua. Mari kita kita lihat latar belakang da’i itu dan pengetahuan apa yang dia miliki. Layakkah mereka berceramah tentang virus Corona?
Perlu kita pahami dan ketahui bahwa kebanyakan dari para da’i itu tidak sekolah tentang microbiologi. Sebagian dari mereka bahkan tidak paham tentang bagaimana semua tehnologi yang mereka dan kita pakai seperti hp, laptop, mobil dan lemari es dibuat, bekerja dan berfungsi. Bagaimana solar dan bensin bisa menggerakan mobil dan lainnya, bagaimana bisa hp bisa membantu komunikasi jarak jauh tanpa bertatap muka. Kalau mereka paham, tentu mereka tak perlu montir dan ahli service hp dan laptop untuk memperbaiki.
Bila mereka tidak paham tentang sesuatu yang dekat dengan mereka seperti bagaimana bensin bisa berubah menjadi tenaga penggerak mobil, listrik bisa membuat es, bagaimana hp bisa membantu komunikasi jarak jauh, dan bagaimana uang 100 ribu bisa menjadi pulsa dan data internet, bagaimana mereka paham tentang sesuatu yang sangat baru seperti virus Corona?
Wajar bila sebagian mereka tidak paham, karena mereka tidak khusus belajar tentang itu semua. Yang mereka pelajari adalah kitab-kitab yang usianya lebih dari 50 tahun. Sebagiannya mereka update dengan isu-isu sosial terbaru dan metode pemahaman al-quran dan hadist terbaru. Sebagian dari da’i ini bahkan tidak mengerti ilmu tafsir dan ilmu hadist yang begitu rumit. Perlu bertahun-tahun bahkan belasan dan puluhan tahun lamanya setelah tamat SMA untuk memahami ilmu tafsir dan hadist, yang menjadi sumber ajaran Islam.
Benar, dalam sejarah masyarakat Aceh dan Gayo sudah banyak wabah yang melanda. Orang dulu menyebutnya “ta’eun”, yang berasal dari bahasa Arab. Kata ta’eun digunakan oleh masyarakat Aceh dulu untuk semua jenis wabah yang melanda masyarakat luas baik Korela dan lainnya.
Corona adalah jenis terbaru ta’eun tersebut. Obatnya baru ditemukan, tapi perlu proses uji coba lebih lanjut, produksi massal, distribusi hingga sampai ke tangan kita. Sementara itu, apa yang harus kita lakukan? Dengarkan anjuran pemerintah dan ahli kesehatan. Jangan dengarkan para da’i yang berceramah yang tidak memiliki pengetahuan tentang ilmu kesehatan, apalagi tentang mikrobiologi.
Mungkin, sebagian kita masih kurang paham tentang Perbedaan antara bakteri, kuman, dan virus. Apalagi tentang bagaimana mereka semua berevolusi dan bagaimana mencegahnya. Itu adalah ranah pengetahuan ahli kesehatan. Pengetahuan mereka menjadi kebijakan pemerintah saat ini.
Virus Corona ini adalah jenis virus baru untuk manusia. Bukan hanya untuk kita di Aceh Tengah dan Bener Meriah. Meremehkannya sama seperti meremehkan musuh yang tak terlihat siap setiap saat menembak kepala kita.
Jadwal mati memang rahasia Allah dan itu sudah jelas disebutkan dan ditegaskan di dalam Al-Quran. Waktu kematian itu memang sudah ditakdirkan. Tapi dalam keadaan bagaimana kita mau mati, kita masih diberi pilihan. Apakah kita mau mati dalam keadaan beriman, bunuh diri, ketika minum minuman keras, ketika berzina atau karena mencuri? .
Kalau mati dalam keadaan berzina adalah ketetapan Allah, logika sederhananya, maka kita layak masuk syurga karena mati dalam keadaan berzina bukanlah kehendak kita. Sementara disisi lain, Allah menyuruh kita untuk berlomba-lomba berbuat kebajikan. Menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Meminta kita untuk selalu merenung, berpikir dan mengunakan akal. Bila semua sudah ditakdirkan, maka perintah merenung, berbuat baik, dan mengunakan akal itu terasa sia-sia. Kalau cara mati juga ditakdirkan, coba saja lompat dari tebing tinggi atau gorok leher sendiri atau jangan berhenti bila lampu merah diperempatan yang padat menyala.
Yang sehat akalnya, pasti menghindari cara-cara mati begini. Tapi mati seperti itu lebih baik karena kita hanya mati sendiri. Daripada mati karena Corona, selain kita, yang memandikan jenazah kita pun akan menyusul kita. Karena Corona, setelah mati pun, kita masih bisa mengakibatkan orang lain mati. Dan cara mati seperti itu bukanlah ketetapan, tapi pilihan. Siapa tahu kita mati dalam keadaan yang tepat bila waktunya telah tepat tiba.
Pembahasan tentang takdir itu memang rumit dan panjang. Perdebatan dan pembahasannya sudah berlangsung semenjak berabad-abad dahulu hingga saat ini. Tidak ada kata sepakat, karena itu adalah masalah keyakinan seseorang dan hubungannya dengan Tuhan.
Tapi sadarkah kita, untuk memperbaiki hidup sehari-hari, kita berusaha setiap waktu dan setiap hari melawan takdir. Contoh sederhana untuk ini adalah ketika kita sakit, kita berusaha berobat agar takdir (ketetapan) sakit kita berubah menjadi sehat. Seorang tua usia 80an sakit-sakitan dan kita berpikir sebentar lagi dia akan meninggal, tetapi kita masih berusaha mengantarnya ke dokter agar dia kemudian ditakdirkan/ditetapkan Allah kesembuhan.
Untuk merubah takdir bodoh dan jahil, kita berusaha untuk belajar dan bersekolah. Untuk merubah takdir miskin, kita selalu bekerja apa saja agar kaya. Dalam keseharian, kita selalu berusaha merubah takdir. Dan dalam keseharian kita, kita selalu berusaha agar kita mati dalam keadaan bertaqwa yang tak ada standardnya, makanya kita selalu beriktiar atau berusaha.
Usaha dan harapan yang kita berikan setiap waktu dalam kehidupan kita adalah upaya untuk merubah takdir. Siapa tahu dibalik usaha dan harapan (doa) yang kita berikan, ada takdir baik yang ditetapkan Allah. Kita terus berusaha mereka-reka takdir kita sendiri dengan usaha sebaik-baiknya, karena hasilnya tidak ada yang tahu selain Allah.
Kita setiap saat berharap rahasia yang akan diungkapkan oleh Allah adalah takdir baik. Jadi takdir atau ketetapan datangnya Corona juga harus diberikan dengan usaha dan harapan yang sama bahkan lebih besar. Kita harus berusaha dan berharap agar takdir akan datangnya Corona segera berakhir dengan takdir yang lebih baik.
Karena selain tenaga dan ahli kesehatan, tidak ada orang yang benar-benar paham tentang virus ini. Dukun atau guru kampung pun tidak memiliki dowa atau mantra untuk mengobati Corona. Jadi Dengarkan pemerintah dan tenaga kesehatan. Jangan dengarkan da’i dan ahli agama yang tiba-tiba menjadi ahli Corona dalam ceramah-ceramah mereka. Corona tidak ada dalam kitab yang mereka kaji. Jadi Itu di luar kemampuan mereka.
Lalu apa yang harus dilakukan oleh da’i kalau mereka tidak boleh didengar dan tidak boleh berceramah tentang Corona? Ceramahlah dan berilah seruan menurut kemampuan pengetahuan masing-masing.
Pada saat seperti ini, da’i dan ahli agama sangat dibutuhkan untuk menjelaskan tentang indahnya perbuatan saling tolong menolong dan berbagi. Bukankah tolong menolong dan berbagi juga bagian penting dari ajaran Islam? Da’i sudah sangat paham dan dalam sekali ilmunya tentang ini.
Apa yang ditolong dan apa yang dibagi ketika bersentuhan tidak bisa? Minimalnya, serulah masyarakat untuk menolong tenaga kesehatan. Mereka butuh dukungan moral dan asupan gizi agar selalu kuat menjaga pasien yang terinfeksi virus.
Mereka adalah orang yang paling retan terinfeksi dan karenanya paling rentan mati. Mari kita berusaha dan berharap (doa) agar takdir mereka berhadapan dengan Corona berakhir segera dan menjadi lebih baik.
Serulah masyarakat untuk menolong warga sekitar. Jangan menyalahkan pemerintah. Karena semua yang dilakukan pemerintah perlu proses panjang sementara tetangga kita, orang dekat kita dan lainnya perlu pertolongan segera.
Apa yang ditolong? Minimalnya, serulah masyarakat untuk tidak berkumpul. Pengajian ditunda dulu hingga wabah Corona berakhir. Karena bila adalah warga kita atau peserta pengajian yang terjangkit, yang paling kelabakan adalah Rumah Sakit dan para dokter serta perawat. Mereka adalah garda terdepan pemerintah menanggani virus ini.
Serulah masyarakat untuk berbagi. Kalau kita memiliki masker berlebihan, berikanlah secara cuma-cuma untuk tenaga kesehatan. Tanpa mereka, kita tak akan bisa diobati.
Percuma kita menumpuk masker dan alat perlindungan kesehatan, bila tenaga kesehatan semuanya sakit sehingga tak bisa bekerja. Ingat, yang wajib masker hanyalah yang sakit dan orang sehat yang berada di Rumah Sakit dan Puskemas. Antarkan makanan dan buah-buahan atau apa saja yang kita mampu ke rumah sakit, puskemas, tetangga miskin dan lainnya.
Serulah yang kaya untuk menolong yang miskin. Yang mampu untuk menolong yang tak mampu. Ketika beberapa daerah ditutup dan masyarakat mulai enggan keluar, orang-orang miskin dan penjual kaki lima tak bisa mendapatkan rezeki. Akibatnya, mereka tidak bisa memberi makan keluarga. Bila berlebihan, bantulah mereka.
Membantu sesama juga bisa berdampak baik terhadap keadaan sosial kita akibat dari terbatasan distribusi makanan. Ingat, kelaparan adalah sumber kerusuhan dan konflik. Apabila telah terjadi rusuh, maka harta si kaya akan habis dirusak.
Dakwahkanlah bahwa menyendiri adalah kesempatan terbaik untuk berkumpul bersama keluarga, komtemplasi/bertafakur, merenungi kehidupan yang lalu dan membaca buku serta belajar hal-hal baru.
Bukankah Rasul menerima wahyu pertama dengan menyendiri di Gua Hira dan setelahnya Dia mendapatkan pengalaman baru dengan menjadi Rasul Allah? Bukankah para ahli tarekat dan sufi mulai mendapatkan ketenangan dan merasa dekat dengan Allah ketika mulai berkhuluk/menyendiri? Bukankah orang-orang yang kita anggap pintar di kelas dan dunia adalah orang-orang yang tekun dalam menyendiri sehingga mereka berhasil menemukan sesuatu yang bermamfaat untuk manusia?
Berislam itu sebenarnya sederhana. Berpikirlah waras, logis, berbuat hal-hal positif untuk diri sendiri dan orang lain. Tentunya harus selalu shalat dan berdoa. Karena shalat adalah ciri-ciri utama seorang muslim dan berdoa ciri-ciri kita memiliki keyakinan pada Allah.
Kemampuan akal kita dan ukuran positif memang berbeda-beda. Disinilah pentingnya seruan Allah untuk belajar, merenung, dan mengunakan akal agar perbedaan antenna antar manusia tidak terlalu kentara.
Sekali-kali, coba lah mengakui bahwa kita memang tidak tahu. Mengaku tidak tahu, bukan berarti bodoh. Tapi adalah langkah awal untuk mencari pengetahuan. Ilmu pengetahuan di barat berkembang berkat kesadarkan akan diri mereka yang tidak tahu. Karena nya mereka menjelajah untuk mencari tahu. Kemudian mampu menjajah dan menguasai dunia seperti saat ini.
*Dosen Fakultas Ushuluddin, UIN Ar-Raniry.
Alumni Dayah Ruhul Islam Anak Bangsa,
Alumni Jurusan Aqidah dan Filsafat, Studi Islam, Antropologi Hukum Islam.





